tirto.id - Kondisi Sriwijaya Air sedang megap-megap, utang besar, keuangan porak poranda yang menyebabkan operasionalnya tidak berjalan lancar. Manajemen Sriwijaya Air pun merekomendasikan maskapai tersebut untuk berhenti beroperasi sementara waktu.
Direktur Operasi Sriwjaya Air Captain Fadjar Semiarto menjelaskan, saat ini Sriwijaya Air Group menunggak utang senilai Rp800 miliar kepada PT Garuda Maintenance Facilities AeroAsia untuk perawatan pesawat.
Dia menjelaskan, banyaknya utang yang menunggak juga menjadi alasan pemutusan kerja sama dengan anak usaha Garuda Indonesia untuk perawatan pesawat itu.
“Ya karena outstanding, tunggakannya besar, walaupun sudah dicicil juga tidak bisa dimitigasi, jumlahnya Rp800 miliar, berpotensi macet,” katanya, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (30/9/2019), seperti dilansir dari Antara.
Fadjar menambahkan kondisi perusahaan pun sudah berada dalam rapor merah, yaitu dalam Hazard, Identification dan Risk Assessment sudah berstatus merah 4A, di mana tingkat paling parah adalah 5A. Kondisi tersebut, menurut Fadjar, sudah tidak memungkinkan bagi sebuah maskapai untuk meneruskan operasional penerbangan.
Untuk itu pihaknya mengajukan surat rekomendasi untuk menghentikan sementara operasional Sriwijaya Air Group hingga kondisi sudah kembali memungkinkan, terutama kondisi finansial perusahaan.
“Dari kondisi finansial yang saat ini sedang berefek kepada hampir semua aspek, baik dari sisi operasi, sisi komersial, dan sisi teknis, kemudian sumber daya manusia dan paling berat finansial,” katanya.
Karena itu, ia menambahkan operasional terganggu, salah satunya banyaknya keterlambatan penerbangan yang menyebabkan membengkaknya biaya layanan sebagai kompensasi.
“Dana service recovery dalam sehari itu bisa Rp1 miliar untuk penerbangan, selama belum dikatakan cancel sesuai dengan PM 78 kita wajib menyediakan makanan ringan dan lainnya,” katanya.
Dalam kesempatan sama Direktur Teknik Romdani Ardali Adang mengatakan pihaknya juga merasa khawatir sejak putus kontrak dengan GMF karena perawatan pesawat tidak terjamin.
“Saya terus terang sejak putus dengan GMF sampai saat ini khawatir karena status cukup merah. Spare part saja tidak, oli saja, ban pun terseok-seok,” katanya.
Selain kepada GMF, Sriwijaya Air Group juga menunggak utang kepada BUMN lainnya yakni PT Pertamina, Angkasa Pura I, dan II, Airnav Indonesia dan lainnya dengan total Rp 2,46 triliun terhitung pada Oktober 2018.
Secara terpisah, Direktur Quality Safety and Security Sriwijaya Air Toto Soebandoro menyebut bahwa seluruh pesawat Sriwijaya Air tetap melayani penerbangan meski dirinya telah melayangkan surat rekomendasi agar pesawat diberhentikan sementara.
Penerbangan tersebut, kata dia, dilakukan dengan sejumlah catatan, yakni perlunya pengawasan dari Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU) Kementerian Perhubungan. Toto menegaskan bahwa rekomendasi tersebut bersifat internal yang disampaikan kepada seluruh jajaran Top Management Sriwijaya Air dan NAM Air justru untuk menghindari berhentinya operasional.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti