tirto.id - Ribut-ribut usai penggantian direksi dan komisaris di Sriwijaya Air berbuntut pada rekomendasi pemberhentian operasi sejumlah pesawat maskapai tersebut.
Hal tersebut tertuang dalam surat bernomor 096/DV/INT/SJY/IX/2019, tanggal 29 September 2019, yang diperoleh Tirto, Senin(30/9/2019).
Dalam surat itu, Direktur Quality, Safety, dan Security PT Sriwijaya Air Toto Soebandoro menyampaikan bahwa 18 pesawat maskapainya kini tak layak terbang karena kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang diperlukan untuk melakukan perawatan pesawat.
Kini, Sriwijaya Air hanya punya 50 orang teknisi yang bisa mengerjakan line maintenance dengan metode Engineer On Board (EOB). Sebanyak 50 orang tersebut terbagi dalam sejumlah tugas antara lain: 20 orang certifying staff, 25 orang RII dan certifying staff, serta 5 orang management and control yang semuanya terbagi ke dalam 4 grup.
Sriwijaya Air juga memiliki minimum stock consumable part dan rotable part di beberapa bandara yakni CGK (Cengkareng), SUB (Surabaya), KNO (Medan) dan DPS (Denpasar), sebagai penunjang operasi penerbangan.
"Sriwijaya Air hanya memiliki kemampuan untuk mengoperasikan 12 dari 30 pesawat udara yang dikuasai hanya sampai 5 kari ke depan. Terhitung dari 24 September 2019," terang dia dalam surat tersebut.
Toto menjelaskan, untuk mempertahankan safe for flight, Direktur Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU) telah melaksanakan pengawasan dan evaluasi kegiatan operasi penerbangan berdasarkan kemampuan yang dimiliki Sriwijaya Air beberapa wajtu lalu.
Pembahasan dilanjutkan dengan pertemuan dan diskusi bersama Direktur Teknik pada 28 September 2019 untuk mendengar laporan dari pelaksana lapangan, serta laporan dari inspektur DGCA yang terus mengawasi.
Berdasarkan laporan tersebut, diketahui bahwa ketersediaan tools, equipment, minimum spare, dan jumlah qualidied engineer yang ada ternyata tidak sesuai dengan laporan yang tertulis dalam kesepakatan yang dilaporkan pada Dirjen Perhubungan Udara dan Menteri Perhubungan.
Termasuk bukti bahwa Sriwijaya belum berhasil melakukan kerjasama dengan JAS Engineering atau MRO lain terkait dukungan maintenance.
Ini berarti, risk index Sriwijaya masih berada dalam zona merah 4A alias tidak dapat diterima dan Sriwijaya Air dianggap kurang serius terhadap kesempatan yang telah diberikan pemerintah untuk melakukan perbaikan.
"Maka pemerintah sudah memiliki cukup bukti dan alasan untuk menindak Sriwijaya Air untuk stop melakukan operasi karena berbagai alasan yang sudah saya jelaskan," jelas Toto dalam surat tersebut.
Sebaliknya jika Sriwijaya Air dinyatakan stop operasi karena tidak comply terhadap standar dan regulasi yang berlaku, maka akan jauh lebih sulit untuk mendapatkan izin terbang kembali.
"Memang risiko belum tentu terjadi, tetapi menganalisis dari indikasi yang terjadi dan proses yang ditemukan merupakan hazard yang berotensi mengganggu keselamatan penerbangan dan mendatangkan sanski terhadap perusahaan dan personel," tandasnya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana