Menuju konten utama

Skyscraper: Lagi-Lagi The Rock Sulit Mati

Lagi, Dwayne “The Rock” Johnson tampil sebagai hero yang susah semaput dalam film terbarunya. Yang beda, kali ini ia memerankan seorang penyandang disabilitas.

Skyscraper: Lagi-Lagi The Rock Sulit Mati
Cuplikan adegan film box office Skyscraper yang dibintangi Dwayne Johnson. FOTO/Universal

tirto.id - Naskah Skyscraper dirakit cukup rapi. Detail ditanam pelan-pelan dalam plotnya, sehingga semua yang terjadi atau yang akan terjadi berkelindan benang merah menuju ujung cerita. Sutradara sekaligus penulis naskah Rawson Marshall Thurber kelihatan sekali—berusaha keras—jeli menyusun skrip film ini.

Pertama, ia membuat konflik sederhana. Skyscraper, seperti namanya, bercerita tentang sebuah gedung pencakar langit yang didesain Thurber sebagai bangunan manusia tertinggi di dunia. Namanya The Pearl, bentuknya macam belut menggigit sebuah bola tenis ini, berdiri di Hong Kong, dan akan jadi pusat konflik.

Selanjutnya, Thurber menciptakan karakter-karakter secukupnya. Tak terlalu kompleks, yang penting mendukung naskah semakin kokoh.

Rumus yang digunanya sederhana. Ia cuma pakai bingkai hitam-putih, sehingga ini jelas jenis film tentang protagonis lawan antagonis, baik lawan buruk. Bintang laga kita, Dwayne “The Rock” Johnson tentu saja jadi si hero, mantan agen FBI bernama Will Sawyer. Aktor Denmark Roland Møller dirakit sebagai penjahatnya. Keduanya tak bersinggungan secara langsung. Ada Zhao Long Ji, miliuner penggagas The Pearl, yang menyelip di antara mereka dan diperankan oleh Chin Han.

Semua aktor yang dijejalkan Thurber terhitung punya fungsi masing-masing agar plot Skycraper berjalan mulus. Bisa dibilang tak ada karakter mubazir. Bahkan sifat-sifat yang dirakit pada masing-masing tokoh juga punya fungsi kuat. Misalnya, penyakit asma pada Henry Sawyer (Noah Cottrell), anak laki-laki Will, atau latar belakang ahli bedah yang dirakit pada Sarah Sawyer (Neve Campbell), istri Will. Detail-detail kecil itu bukan hadir sekilas belaka. Ia menghidupkan karakter-karakter tersebut, dan pada akhirnya jadi bagian penting dalam plot yang disusun Thurber.

Sayangnya, karena terlalu sederhana, naskah Skyscraper jadi amat mudah tertebak.

Kita selalu tahu Johnson akan menang di ujung cerita dan tak mungkin mati, seburuk apa pun skenario yang siap menerkam nyawanya. Sehingga, ketika ia hampir terpeleset saat memanjat tiang tinggi, atau loncat menyeberang ke lantai 100 The Pearl, kita tahu dia akan baik-baik saja. Namun, buat orang yang takut ketinggian seperti saya, atau Anda yang punya vertigo, beberapa adegan akan sangat mengganggu. Tak bisa mungkir, telapak tangan saya berkeringat karena beberapa adegan itu.

Buat Anda yang menonton film-film laga 90-an dan awal 2000-an, gaya cerita hitam-putih dan ini pasti tak asing. Khusus untuk genre laga, Dwayne “The Rock” Johnson juga tak sekali dua kali main di film semacam itu. Sebelum Skyscraper, tahun ini kita juga melihat betapa susahnya The Rock dibikin mampus tiga monster raksasa dalam Rampage. Tahun lalu ada Jumanji: Welcome to The Jungle dan Baywatch. Daftarnya masih panjang, jika menilik linikala karier The Rock.

Mungkin jika kemampuannya menghindari maut adalah sebuah mukjizat, maka tak salah kalau The Rock adalah nabi film-film genre aksi zaman ini.

Menerobos Logika dan Ilmu Fisika

Meski tak ada karakter yang mubazir, dan planting plot yang cukup rapi, tetap saja ada banyak ihwal yang menerobos logika dan ilmu fisika dalam Skyscraper. Pertama, tentang ketinggian The Pearl yang disebut dua kali lipat dari Burj Khalifa, gedung tertinggi di dunia saat ini yang menjulang ke langit sejauh 828 meter.

Di ketinggian demikian, bukan cuma kecepatan dan tekanan udara yang berbeda, detak waktu juga. Burj Khalifa yang bertengger di Dubai sana bahkan punya tiga waktu buka puasa yang berbeda, meski berdiri di tanah yang sama. Sehingga, melihat The Rock loncat dari sebuah tiang derek raksasa ke lantai 100 The Pearl dan selamat, sebenarnya cukup menggelikan.

Apalagi derek itu diarahkannya dengan sekali putaran saja. Ia juga langsung berhasil menggapai tepi lantai 100 The Pearl dalam percobaan pertama. Jelas-jelas ini mengerdilkan teori probabilitas, karena Will Sawyer dibuat sangat beruntung.

Keberuntungan itu masalahnya tiada habis. Kita tak cuma sekali-dua kali melihat Will terpeleset dan hampir semaput. Berkali-kali. Sampai rasanya teori fisika manapun akan berubah jadi metafisika, ketika berhadapan dengan The Rock. Perhitungannya kelewat akurat, dan simpanan nyawanya terlampau banyak.

Selain menciptakan karakter-karakter yang diperankan manusia,Thurber juga menciptakan karakter lain yang punya peran cukup besar dalam plot yang direkanya. Perhatikan api yang membakar lantai 96 The Pearl. Dalam sejumlah adegan, Sarah dan anak-anaknya terkepung kebakaran, api-api ini juga akan memainkan peran mereka untuk bikin perjuangan keluarga Sawyer makin dramatis: memisahkan si kembar dari ibunya, memisahkan si kembar dari kembarannya sendiri, meledak sana-sini supaya Sarah dan anak-anaknya naik tangga, dan lain-lain.

Peran api dalam naskah film ini memang kelewat besar, dan sama sekali tak terasa seperti kebetulan. Terlalu kasatmata, dan bikin ceritanya jadi konyol. Persis seperti fungsi lakban yang dilebay-lebaykan karakter Will Sawyer.

infografik misbar skyscraper

Karakter Disabilitas yang Tampil Positif

Namun, ada satu hal yang menarik dari karakter Will Sawyer yang diperankan The Rock. Tak seperti kebanyakan peran yang dimainkannya, di mana ia digambarkan tangguh, kuat, tampan, dan macho, Sawyer dirakit Thurber sebagai karakter disabilitas. Ia kehilangan kaki kirinya dalam sebuah operasi penyelamatan saat masih jadi anggota FBI.

Ke mana-mana Sawyer menggunakan kaki palsu, yang beberapa kali menyelamatkannya dalam film ini. Ketika pertama kali melihat trailer Skyscraper, alih-alih tertarik pada The Pearl yang jadi konflik utama film ini, saya justru lebih penasaran ke mana Thurber membawa karakter utama yang menyandang disabilitas ini.

Seperti perlakuannya pada minoritas lain, Hollywood juga punya stereotipe tertentu pada orang-orang disabilitas. Kritikus film Kristen Lopez, yang juga penyandang disabilitas, menyebut Hollywood punya kecenderungan membawa karakter-karakter disabilitas dengan stigma-stigma negatif seperti depresif, emosi rentan, dan keadaan disabilitasnya yang dieksploitasi berlebihan.

Ia mencontohkan The Theory of Everything, Stronger, dan Me Before You, sebagai film paling anyar yang tokoh utamanya adalah penyandang disabilitas.

Namun, menurut Lopez, Skyscraper malah hadir secara berbeda. Disabilitas yang dialami Sawyer digambarkan tak mengurangi semangatnya melanjutkan hidup. Bahkan kita tak akan melihat segmen Sawyer menangisi kondisi kakinya sepintas pun, padahal pada film-film sejenis, adegan-adegan demikian biasanya diberi ruang cukup panjang.

Yang bikin Lopez senang, disabilitas yang dihadapi Sawyer tak dipertontonkan sebagai kerugian atau bahkan mukjizat. “Dia hanya perlu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya,” tulis Lopez dalam ulasannya. “(Film) ini menyajikan manusia yang dapat menaklukkan dunia dengan disabilitasnya, dan saya tak pernah (menonton film sejenis dan) jadi lebih senang dari sekarang.”

Kendati demikian, Lopez tetap kritis pada pemilihan The Rock—yang bukan penyandang disabilitas dalam hidup nyata—sebagai pemeran Will Sawyer. Naskah Skyscraper dianggap Lopez memang sudah lebih maju dari film-flm Hollywood lain yang mengakut isu disabilitas, namun tetap saja masih belum cukup representatif bagi komunitasnya.

Saya yang bukan penyandang disabilitas (dan karenanya tak punya hak politis mewakili kelompok mereka) setuju dengan Lopez. The Rock memang punya lengan dan bagian tubuh superbesar, sehingga lumayan terasa masuk akal, ketika ia dalam beberapa adegan tampak sangat mengandalkan kekuatan tangannya.

Namun, tetap saja Dwayne “The Rock” Johson bukan seorang penyandang disabilitas. Sehingga tetap saja pesan Skyscraper terasa kurang jitu, meski ternyata naskahnya punya niat baik di baliknya—tentang representasi orang-orang disabilitas.

Baca juga artikel terkait FILM HOLLYWOOD atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Windu Jusuf