tirto.id - Ketika trailer pertamanya keluar, Jumanji: Welcome to the Jungle dikritik habis-habisan karena dua hal.
Pertama, karena Jack Black (Shellby Oberon) memerankan avatar Bethany (Madison Iseman), seorang gadis cantik idola di sekolah. Dalam trailer singkat itu, kita memang disuguhkan bocoran cerita tentang Bethany yang tersedot ke dalam sebuah gim, lalu tubuhnya terjebak dalam avatar seorang pria setengah baya. Alur tukar-tukaran tubuh itu sebenarnya ide lawas yang sering digunakan dalam dunia naratif, apalagi film.
Ia biasa disebut body-swap. Tahun lalu, film Your Name karya Makoto Shinkai dan The Swap karya Jack Karas adalah dua film besar yang pakai alur tersebut. Gagasan body-swap ini dikritik cupu dan dianggap tidak perlu, di tengah perdebatan tentang kesetaraan hak perempuan di Hollywood yang masih diperjuangkan. Jumanji dianggap tak ramah pada aktor perempuan karena gagasan body-swap tersebut.
Kedua, karena karakter yang diperankan Karen Gillan (Ruby Roundhouse)—satu-satunya aktor perempuan yang memerankan avatar gim tersebut—digambarkan terlalu sensual: kaus ketat yang cuma menutupi dada, hotpants, dan perut rata. Di saat film itu miskin aktor perempuan, karakter Gillan justru didandani sebagaimana karakter-karakter bombshell alias simbol seks pada zaman 1990-an ke belakang: cantik, seksi, dan kulit putih. Lagi-lagi ini dianggap sebagai sebuah langkah mundur bagi gerakan kesetaraan gender di Hollywood.
Baca juga: Kesenjangan Upah di Hollywood
Belum tayang saja, Jumanji: Welcome to the World sudah dapat cap buruk. Pun mesti dihadapkan bayang-bayang ekspektasi tinggi penggemar Jumanji jilid I yang tayang 22 tahun lalu.
Tapi benarkah film ini memang seburuk itu?
Secara mengejutkan, jawabannya ternyata tak semudah itu untuk ditebak. Kenyataannya, ide tentang body-swap tersebut justru menghadirkan karakter yang lebih kompleks. Jack Black yang memerankan karakter gadis remaja justru menghadirkan dialog-dialog segar tentang seksualitas. Meski dibalut humor, dialog-dialog itu juga hadir sebagai kritik pada sistem patriarki dan seksisme. Misalnya, tentang bagaimana Bethany melempar salam perpisahan pada selangkangan Shellby lalu merangkul rindu payudaranya sendiri.
Gagasan body-swap itu juga merefleksikan bahwa masa depan tak sesuram masa lampau buat perempuan. Dalam gim, proporsi perempuan hanya satu banding tiga. Hal itu yang bikin Bethany mau tak mau terselip di tubuh seorang pria. Sementara di masa depan semua setara, dilambangkan dengan empat karakter utamanya yang adalah dua pria dan dua wanita.
Pakaian ala bombshell milik Gillan ternyata juga hadir bukan tanpa alasan. Lewat karakter itu, Jumanji rupanya ingin mengkritik stereotip-stereotip yang selalu muncul dalam gim. Seperti bagaimana karakter perempuan selalu ditampilkan seksi dengan desain pakaian yang seringkali tak masuk akal, atau eksistensi mereka yang biasanya cuma hadir sebagai pelengkap petualangan.
Baca juga: Dunia Membutuhkan Lebih Banyak Pahlawan Super Perempuan
Sutradara Jake Kasdan bahkan menyiapkan satu adegan khusus untuk mengkritik pakaian Gillan, ketika sang karakter merasa risih dengan pakaiannya dan meminjam jaket dari karakter lainnya. “Pakaian macam apa ini! Di mana logikanya orang pakai baju begini minim di tengah hutan yang banyak sekali nyamuknya.” Kurang-lebih begitulah Gillan mengkritisi pakaian karakternya.
Di luar dua hal itu, Jumanji juga menyelipkan kritikan sosial lainnya. Terutama tentang self-acceptance alias penerimaan diri. Gagasan itu bahkan diselipkan sebagai batang primer cerita. Tak seperti Jumanji (1995) yang hanya punya dua bocah sebagai peran utama, kali ini Kasdan menyiapkan empat orang remaja sekaligus.
Mereka adalah Spencer (Alex Wolff) si kutu buku dan penggila gim, Fridge (Ser’Darius Blain) si atlet sekolah dan cowok keren, Martha (Morgan Turner) cewek cupu yang getir soal hidup, dan Bethany si cewek populer dan wujud dari generasi milenial sejati. Keempatnya bertemu di kelas hukuman, dan tak sengaja menemukan permainan Jumanji yang sudah bertransformasi.
Jika pada film lamanya Jumanji adalah papan permainan, maka di versi baru ini ia berubah jadi gim konsol ala 90-an—yang terlihat seperti gabungan Atari 2600 dan ColecoVision. Mereka kemudian tersedot ke dalam Jumanji setelah memilih avatar masing-masing, yang ternyata sangat berbeda dengan karakter aslinya.
Sebagaimana Bethany terjebak di tubuh Shellby, Spencer juga terjebak di tubuh Bravestone (Dwayne Johnson), Martha di tubuh Ruby Roundhouse, dan Fridge di tubuh Mouse (Kevin Hart). Bethany dan Fridge yang punya tubuh ideal di dunia nyata harus berurusan dengan tubuh baru mereka yang sangat berbeda. Fridge bahkan berkali-kali mengeluh tentang “Separuh badannya yang hilang”, karena Kevin Hart memang bertubuh pendek dan kecil.
Sementara Martha harus berurusan dengan kaki jenjang Gillan yang membuatnya kepayahan untuk jalan seksi, dan Spencer nyaris tak ingin kembali ke dunia nyata karena takut kehilangan lengan raksasa Dwayne Johnson yang bikin dirinya sendiri menceletuk, “Sialan! Aku baru sadar, gimana caranya lengan bisa sebesar ini ya?”
Terlepas dari pesan-pesan sosial kekinian yang diselipkan Kasdan, Welcome to the Jungle juga membuktikan dirinya sebagai sebuah film komedi berbujet besar yang digarap serius—bukan cuma sekadar sekuel receh. Babak per babak dibangun kuat.
Sehingga, meski Spencer yang cupu telah berganti tubuh jadi si raksasa Dwayne Johnson, penonton akan tetap merasakan koneksi yang sama datang dari persona Spencer. Begitu juga dengan karakter Fridge yang diperankan Kevin Hart dan Martha yang dimainkan Karen Gillan.
Tapi bukannya film ini jauh dari kritik. Sebagian besar kritik itu mencatat tentang alur film ini yang mudah tertebak. Sebagian lain membanding-bandingkannya dengan Jumanji jilid I yang dimainkan Robin Williams. Buat saya sendiri, alur tertebak itu masih bisa dimaafkan karena argumen tentang alur yang mudah tertebak selalu subjektif.
Bukankah orang-orang memang sudah tahu kalau Titanic akan tenggelam, sebelum menontonnya? Dan tetap saja ia jadi salah satu film yang paling banyak ditonton. Alur tertebak yang disuguhkan Kasdan saya anggap sebagai kritiknya pada para pembuat gim, yang seringkali memang terjebak dalam alur petualangan yang begitu-begitu saja.
Istilah-istilah gim yang paling standar juga dimasukan Kasdan jadi humor-humor segar sekaligus kritik sosialnya. Misal, bagaimana tiga nyawa yang diberikan pada tiap-tiap pemain dijadikan pelintiran-pelintiran kecil di tengah plot. Sementara tato garis di lengan mereka yang jadi metafora nyawa para pemain, didesain mirip tanda 'sama dengan' (=) yang adalah simbol kesetaraan.
Baca juga: Menikmati dan Membenci Perang Spoiler ala Game of Thrones
Lantas, apakah film sekuel ini berhasil menyaingi kesuksesan Jumanji jilid I? Jawabannya jadi agak lebih sulit, karena keduanya hadir dengan sensasi genre yang berbeda. Jumanji milik Robin Williams, meski dilabeli film keluarga, nyatanya juga menyuguhkan sensasi psycho-thriller dengan konflik antara Alan Parrish (Robin) dan ayahnya. Sarah (Bonnie Hunt), kawan Alan, juga harus mengalami hidup mengerikan setelah jadi satu-satunya saksi yang melihat Jumanji menyedot tubuh bocah itu. Kritikus Roger Ebert adalah salah satu yang paling serius mengkritik label film keluarga tersebut.
Sementara Welcome to the Jungle, meski juga mengeksplorasi cerita yang sama lewat karakter Alex Vreeke (Nick Jonas), namun tak terlalu menggalinya lebih dalam. Keluarga Vreeke memang digambarkan suram selepas kepergian Alex, tapi hanya melalui karakter sang ayah yang sekali lewat, dan dialog-dialog sepintas lalu dari karakter-karakter utamanya. Kasdan justru kentara sekali fokus pada alur komedi yang ditonjolkannya dalam sekuel ini.
Ia tampaknya memang fokus ingin menjawab kritik Ebert ada Jumanji sebelumnya yang dianggap terlalu pahit untuk film musim Natal.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Windu Jusuf