tirto.id - Siobhan Downes dari Emirate Women, mendapat kesempatan mencoba menu baru di salah satu tempat makan di Burj Khalifa, gedung tertinggi di dunia. Februari lalu, ia diundang untuk mencicipi menu The Seven-Course Experience, yang harganya 880 Dirham Uni Emirat Arab, atau setara Rp3,194 juta. Menunya mulai dari kerang selembut sutra dari Jepang, risotto nikmat yang membuat mereka mengorek-ngorek hingga ke dasar mangkok, hingga kombinasi tak biasa antara cokelat lembut dengan es krim ubi.
“Di satu titik, teman makan saya sadar kalau kami hampir mencicipi semua jenis hewan di atas piring kami, mulai dari ikan John Dory, lobster, dan sayap ayam. Tak lupa selembar pipi daging sapi yang hangat dan meleleh dalam mulutmu. Semuanya dimasak sempurna,” tulis Downes.
Selain makanannya yang fantastis, hal lain yang sulit dilupakan adalah suasana resto yang sangat sensasional. Sensasi makan hidangan mewah itu dirasakannya di At.mospher, salah satu tempat makan di Burj Khalifa, Dubai, di lantai 122. Ketinggian itu tentu saja memberikan suasana berbeda, yang jarang dilihat dari gedung lain di seluruh dunia.
“Meski mengesampingkan pemandangannya yang bikin menganga, tempat ini adalah tempat jetset,” ungkap Downes, menggambarkan kemewahan sang restoran.
Empat bulan kemudian, saat Ramadan tiba, Burj Khalifa juga menawarkan sensasi lain yang tak kalah seru: yakni berbuka puasa di gedung tertinggi dunia.
Selama Ramadan, At the Top, dek observasi tertinggi di dunia di lantai 124, 125, dan 148 akan dibuka lebih lama. Dari yang biasanya tutup pukul 11 malam, kini diperpanjang hingga jam 1 pagi. Para pengunjung akan disuguhi sepaket cokelat dan air Masafi gratis untuk berbuka di lantai 125. Tentu dengan tawaran menu berbuka tradisional yang menambah keseruan di sana.
Harganya memang tak murah. Tur khusus Ramadan ini dihargai senilai 125 Dirham Uni Emirat Arab atau setara Rp 453 ribuan. Pemegang tiketnya akan lebih dulu diajak berkeliling lantai 148, dengan sajian makan gratis khas Arab seperti: bookaj, basboosa, dan mammool, serta sajian tradisional Jullab atau kirmizi karkadi. Kemudian diajak ke lantai 125 yang memang didesain sebagai tribut untuk budaya dan seni Arab, lengkap dengan pemandangan 360 derajat yang mencengangkan dengan viewfinders supercanggih.
Tapi di atas itu semua, Burj Khalifa justru menyediakan satu pengalaman unik yang tak bisa dirasakan di tempat lain. Karena tingginya yang mencapai 828 meter, dengan total 160 lantai, Burj Khalifa punya tiga zona puasa yang berbeda.
Zona pertama adalah lantai dasar hingga 80, lama puasanya sama seperti durasi puasa yang umum di wilayah tersebut. Kali ini di Dubai, puasa berdurasi sekitar 14 jam. Zona kedua adalah lantai 81 hingga 150. Lama puasanya bertambah sekitar dua menit dari durasi puasa pada umumnya. Sementara zona ketiga adalah lantai 151 ke atas, lama puasanya bertambah sekitar tiga menit.
Hal ini disebabkan setiap kenaikan 100 meter, waktu magrib rupanya juga bertambah satu menit, karena semakin tinggi sebuah tempat berada, ufuk pun terlihat semakin rendah. Artinya, semakin tinggi lantai Burj Khalifa, semakin panjang waktu puasanya. Ini membuat waktu imsak dan iftar datang lebih lama daripada mereka yang ada di daratan Dubai lain.
Dikutip dari The National, fatwa yang menegaskan hal tersebut keluar 2011 lalu oleh The Grand Mufti of Dubai. Ahmed Al Haddad, kepala Ifta Centre di Departemen Urusan Islam dan Kegiatan Amal, mengatakan, “Terlepas di mana Anda berada, Anda perlu memperhatikan keberadaan matahari. Anda tidak boleh berbuka puasa sampai matahari benar-benar terbenam dan Anda melihat matahari terbenam.”
Mohammed Badr, yang tinggal di lantai 61 Burj Khalifa waktu itu, mengaku kaget ketika tahu ketinggian ternyata berpengaruh pada waktu berpuasa. “Dua menit terakhir sebelum berbuka itu waktu yang cukup menguji,” kata pria asal Mesir itu pada The National. “Jadi aku turut kasihan pada mereka yang tinggal lebih tinggi.”
Tapi bagi mereka yang tak masalah dengan perbedaan dua menit itu, pengalaman berbuka di Burj Khalifa bisa jadi salah satu alternatif pilihan liburan ketika Ramadan.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti