Menuju konten utama

SKCK Memang Sudah Jadul, Saatnya Cek Kelakuan Baik Lewat Digital

SKCK seharusnya lebih difokuskan pada situasi yang relevan dengan pekerjaan yang dilamar.

SKCK Memang Sudah Jadul, Saatnya Cek Kelakuan Baik Lewat Digital
Sejumlah warga antri saat pengurusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) di ruangan Layanan Publik Polresta, Banda Aceh, Aceh, Selasa (12/11/201NTARA FOTO/Ampelsa/hp.

tirto.id - Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) mengusulkan agar surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) dihapus karena dinilai berpotensi menghalangi hak asasi warga negara. Usulan ini disampaikan langsung Menteri HAM, Natalius Pigai, melalui surat yang ditandatanganinya dan dikirim kepada Kapolri Jenderal Polisi, Listyo Sigit Prabowo, pada Jumat (21/4/2025) akhir pekan kemarin.

Direktur Jenderal Instrumen dan Penguatan HAM Kementerian HAM, Nicholay Aprilindo, menjelaskan usulan tersebut muncul setelah Kementerian HAM melakukan pengecekan ke berbagai lembaga pemasyarakatan (lapas) di sejumlah daerah. Dalam kunjungan tersebut, ditemukan narapidana residivis.

Ada mantan narapidana kembali dibui karena kesulitan mencari pekerjaan setelah keluar dari lapas sehingga terpaksa mengulangi perbuatan melanggar hukum. Mantan narapidana tersebut terbebani dengan adanya SKCK yang menjadi syarat pada lowongan kerja.

Menurut Nicholay, sekalipun mantan narapidana mendapatkan SKCK, terdapat keterangan yang menyatakan bahwa mereka pernah dipidana. Oleh sebab itu, sukar perusahaan atau tempat pekerjaan lain mau menerima mantan narapidana.

“Beberapa narapidana ini juga mengeluhkan betapa dengan dibebankannya SKCK itu, masa depan mereka sudah tertutup," kata Nicolas, kepada wartawan di Gedung Kementerian HAM, Jakarta Selatan, Jumat (21/3/2025).

Usulan penghapusan SKCK disebut demi penegakan, pemenuhan, dan penguatan HAM. Sebab, Kementerian HAM berpandangan bahwa setiap manusia, termasuk narapidana, mempunyai hak asasi yang melekat sejak lahir dan tidak dapat dicabut oleh siapa pun.

Upaya tersebut, lanjut Nicolas, juga selaras dengan Asta Cita yang dikedepankan Presiden Prabowo Subianto, khususnya butir yang pertama, yakni memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan HAM.

“Semoga dengan adanya surat ini dapat menggugah hati seluruh pemangku kebijakan dalam bidang penegakan hukum agar mereka meninjau kembali tentang syarat-syarat ini SKCK ini," pungkasnya.

Cek Kelakuan Baik Lewat Digital

Sejak lama, SKCK memang menjadi salah satu syarat administratif yang wajib dipenuhi oleh pencari kerja di Indonesia. Namun, banyak justru mempertanyakan relevansi dan keadilan dari kebijakan ini, khususnya dalam konteks pemberian akses pekerjaan yang adil bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Institute, Heru Sutadi, mengatakan saat ini fungsi SKCK tidak jelas, baik secara manfaat maupun mekanismenya. Dengan perkembangan digital dan AI (Artificial Intelligence), rekam jejak seseorang kini dengan mudah dilihat, sehingga tak perlu lagi ada SKCK.

"Dengan perkembangan digital dan AI, rekam jejak seseorang kini dengan mudah diprofiling. Bahkan, yang tidak tercatat di kepolisian atau aparat penegak hukum lainnya," jelas Heru kepada Tirto, Senin (24/3/2025).

Menurutnya, rekam jejak digital bisa gamblang didapat di ruang digital. Ini bahkan sudah dipakai di banyak perusahaan, lembaga, di mana calon pekerja diminta mencantumkan akun media sosial sebagai salah satu syaratnya.

"Jadi, ke depan harus berhati-hati bermain media sosial. Banjiri dengan hal-hal positif," kata Heru.

Persyaratan SKCK ini justru berpotensi mendiskreditkan mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Dalam beberapa kasus, mereka yang memiliki catatan kepolisian masa lalu—meskipun telah menjalani masa hukuman atau tidak terlibat dalam tindakan kriminal selama bertahun-tahun—masih kesulitan mendapatkan pekerjaan karena ketatnya persyaratan SKCK.

"Kritik terhadap SKCK ini kan sudah lama. Masalah utama yang disorot dari SKCK adalah bentuk ketidakadilannya," ujar Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, kepada Tirto, Senin (24/3/2025)

Maka, seiring dengan berkembangnya dunia kerja dan semakin banyaknya platform digital yang memberikan ruang bagi pencari kerja, sudah sepantasnya kebijakan seperti SKCK dievaluasi kembali. Kebijakan ini dapat dilihat sebagai penghalang bagi mereka yang sedang berusaha memperbaiki hidup, dengan lebih banyak melibatkan pendekatan yang lebih manusiawi dan proporsional.

"Pernyataan Menteri HAM, Natalius Pigai, soal SKCK ini sangat progresif dan tepat. Selain masalah residivis yang kesulitan mencari pekerjaan seperti yang disinggung Pigai," jelas Musfi.

Pengajuan SKCK Jelang tes CPNS

Warga menunjukkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) setelah megajukan di Mapores Jakarta Pusat. tirto.id/Andrey Gromico

Sebagai alternatif, SKCK seharusnya lebih difokuskan pada situasi yang relevan dengan pekerjaan yang dilamar, dan bukan menjadi kewajiban umum yang disyaratkan tanpa pengecualian. Dalam hal ini, perusahaan dapat diberi kebebasan untuk menentukan apakah SKCK memang relevan dengan posisi yang dilamar, serta mempertimbangkan latar belakang calon karyawan secara lebih mendalam, dengan tidak hanya berfokus pada catatan kriminal semata.

Untuk itu, ke depan sudah saatnya untuk menerapkan sistem yang lebih adil dan proporsional, yang memperhitungkan potensi seseorang dan bukan hanya masa lalunya. Kebijakan yang lebih bijak ini tentunya akan memberikan peluang yang lebih besar bagi masyarakat kecil, sekaligus membuka lebih banyak pintu kesempatan untuk mereka yang berusaha bangkit dari keterpurukan.

Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menambahkan penghapusan SKCK itu merupakan usulan bagus dan perlu didukung. Sebab pada praktiknya, SKCK itu birokratis dan biayanya memberatkan masyarakat terutama para pencari kerja dan membebankan para mantan narapidana.

"Jelas menghambat mantan napi, karena jika diurus SKCK-nya akan banyak catatan bekas kejahatannya yang terekam dalam SKCK," kata Fickar kepada Tirto, Senin (24/3/2025).

SKCK, kata Fickar, dulunya dikenal sebagai Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) atau surat keterangan Polri yang berisikan catatan kejahatan seseorang. Dulu waktu masih SKKB, surat ini hanya dapat diberikan pada orang yang tidak/belum pernah tercatat melakukan kejahatan hingga tanggal ditetapkan SKKB.

Sedangkan SKCK saat ini adalah surat keterangan resmi yang diterbitkan oleh Polri melalui Divisi Intelkam kepada seorang pemohon/warga masyarakat untuk memenuhi permohonan dari yang bersangkutan atau suatu keperluan karena adanya aturan yang mensyaratkan, berdasarkan hasil penelitian biodata dan catatan Kepolisian yang ada tentang orang tersebut.

"Dan SKCK itu masa berlaku nya 6 (enam) bulan sejak diterbitkan. Jika telah melewati masa berlaku, SKCK dapat diperpanjang oleh yang bersangkutan," kata dia.

Namun yang menjadi masalah saat ini adalah tergantung dari perusahaan pemberi kerja. Kadang-kadang perusahaan ingin aman mencari pekerja yang tidak pernah punya catatan kejahatan. Tetapi sebaliknya, sikap ini memang tidak adil. Sebab, menjadi penghalang bagi mereka yang sebenarnya baik dan profesional tapi pernah sial tersangkut atau ikut teman-temannya dalam tindak pidana.

Masalah Rumit SKCK

Di sisi lain, masalah persyaratan SKCK ini sebenarnya juga bertolak belakang dengan para wakil rakyat yang duduk di Parlemen, Jakarta. Masyarakat kecil selama ini diwajibkan memiliki SKCK, tapi pekerjaan yang membutuhkan integritas, yakni anggota DPR/DPRD dan kepala daerah justru tidak mensyaratkan SKCK.

Ini seolah menjadi logika yang terbalik. Menjadi anggota dewan atau kepala daerah haruslah orang yang memiliki kejujuran, tingkah baik, moral, dan integritas yang tinggi. Tapi anehnya, mereka yang pernah melakukan korupsi tetap diperbolehkan maju di pemilu.

Dalam aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara sederhana memang menyebutkan bahwa mantan terpidana korupsi diperbolehkan maju sebagai calon anggota legislatif tanpa harus melewati masa jeda waktu lima tahun sepanjang vonis pengadilannya memuat pencabutan hak politik. Celah untuk mantan terpidana korupsi itu tertuang dalam Pasal 11 Ayat (6) PKPU 10/2023 dan Pasal 18 Ayat (2) PKPU 11/2023.

"Ini kan yang disebut dengan logika terbalik," imbuh Musfi Romdoni.

Bagi Musfi, baik SKCK tetap ada ataupun dihapuskan, yang penting pemerintah dan kepolisian dalam hal ini bisa konsisten. Kalau SKCK tetap ada, itu juga harus berlaku di DPR/DPRD dan kepala daerah. Jika logikanya SKCK dibutuhkan untuk mengetahui rekam jejak pelamar kerja, maka calon wakil rakyat juga harus punya karena mereka pelamar suara rakyat.

"Yang kita kritik kan soal konsistensinya. Rakyat kecil ditekan harus punya SKCK, tapi anggota DPR/DPRD dan kepala daerah yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak justru sangat longgar kebijakannya soal SKCK ini," jelas dia.

Kalaupun usulan Menteri HAM ditolak soal penghapusan SKCK, maka Musfi berharap harus ada aturan juga kalau residivis, khususnya kasus korupsi tidak boleh maju di pemilu. Jika perusahaan berhak mendapatkan pelamar yang baik, maka rakyat lebih berhak mendapat wakil yang berintegritas untuk menyuarakan kehidupannya.

Tirto sudah menghubungi Kepala Divisi (Kadiv) Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho, untuk meminta tindak lanjut mengenai usulan penghapusan SKCK tersebut. Namun, hingga artikel ini ditulis, Sandi belum merespons pertanyaan diajukan oleh Tirto.

Baca juga artikel terkait SKCK atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang