tirto.id - Pada 2002, perempuan muda berusia 18 tahun bernama Elizabeth Holmes, mengemukakan ide yang brilian pada profesornya di Stanford University, Phyllis Gardner. Idenya sederhana, soal penciptaan penutup lengan atau sarung tangan yang dapat mengambil darah penggunanya hanya setetes. Fungsinya untuk memeriksa apakah terdapat penyakit menular dan lantas diberi antibiotik secara langsung.
Sang profesor, sebagaimana dilansir Ars Technica, menyebut bahwa ide itu “tidak layak” dan tidak mungkin diwujudkan. Pemeriksaan kesehatan melalui darah perlu alat yang lebih kompleks daripada sarung tangan dan setetes darah, tidak cukup.
Holmes tak patah arang. Sebagai pemuda yang ingin membuat perubahan, ia ingin tetap memperjuangkan idenya. Ia akhirnya mendirikan Theranos pada 2003, dan mempekerjakan Ian Gibbons, ahli biokimia asal Inggris.
Pada 2005, Holmes, Gibbons, dan startup yang didirikannya memperoleh 23 paten teknologi, ide yang ingin merevolusi bagaimana masyarakat mengetahui penyakit yang diderita dengan mudah dan murah.
Salah satu patennya ialah paten berseri US7291497B2 yang berjudul “Medical Device for Analyte Monitoring and Drug Delivery.” Dalam keterangannya, paten tersebut merupakan suatu perangkat medis yang dapat dicerna, ditanamkan, atau dipakai pengguna. Juga ada agen bioaktif yang masuk ke tubuh si pengguna, dan bekerja untuk menganalisis penyakit yang mungkin diderita.
Darah mengandung banyak komponen, seperti sel, trombosit, protein, dan berbagai makromolekul. Dalam pemeriksaan penyakit melalui laboratorium, komponen-komponen yang tidak diperlukan mesti dibuang dalam proses yang rumit nan mahal.
Perangkat itu, dalam keterangan di patennya, menghilangkan kebutuhan yang tidak efisien tersebut. Akibatnya, “kebutuhan untuk kunjungan laboratorium dihilangkan yang pada akhirnya memberikan penghematan, baik dalam waktu maupun biaya.”
Theranos sebagai perangkat medis, menawarkan 240 tes penyakit, dari kolesterol hingga kanker, dengan hanya setetes darah. Lebih hebatnya, analisis penyakit bisa diterima si pengguna hanya dalam waktu 15 menit.
Lalu, untuk membuat perangkat tersebut bisa digunakan secara luas, Theranos sukses melobi aturan di Amerika Serikat untuk memungkinkan masyarakat melakukan tes darah tanpa rekomendasi dokter.
Scott Wood, seorang dokter yang bekerja di California, menyebut bahwa apa yang ditawarkan Holmes melalui startup, “sangat menarik dan sangat berguna terutama dalam kondisi darurat.”
Alat yang ditawarkan Theranos, secara sederhana, merevolusi alat-alat serupa yang ada sebelumnya, seperti Reflotron Boehringer Mannheim dan iStat.
Michelle Lee, Kepala Kantor Paten Amerika Serikat, bahkan menyebut Holmes "seperti Benjamin Franklin. Kala dokter dan peneliti memerlukan darah yang banyak dari pasiennya, Theranos hanya memerlukan setetes".
Alat yang dijual Theranos mirip seperti jarum suntik, tetapi dengan ukuran yang lebih kecil. Jarum suntik itu digunakan sebagai sampel darah pengguna untuk dianalisa. Selepas darah diambil, pengguna tinggal memasukkannya alat pembaca data yang juga dijual oleh Theranos.
Data, lantas dikirim ke komputer Theranos untuk dianalisis. Pada tiap analisa penyakit yang hendak diketahui pengguna, Theranos mematok biaya yang murah. Analisis hemoglobin, misalnya, hanya dihargai $1,63. Analisis kolesterol, hanya dibanderol $2,99.
Lewat kemudahan itu, Theranos diminati. Pada 2014, pendapatan startup tersebut mencapai $100 juta. Theranos kemudian menjelma menjadi startup yang sukses. Investor menyambutnya dengan baik. Data Crunchbase mengungkap startup tersebut melakukan 10 kali pencarian dana, dengan total pendanaan yang diperoleh sebesar $1,4 miliar. Salah satu investor terbesar Theranos ialah Puget Sound Venture Club, yang mengucurkan uang lebih dari $500 juta bagi Theranos.
Theranos lantas menjadi salah satu startup “langka” dan masuk kategori "unicorn". Valuasi startup tersebut diperkirakan mencapai angka $9 miliar. Jika dibandingkan, valuasinya hampir serupa dengan Go-Jek, unicorn asal Indonesia.
Sialnya, peruntungan Theranos kemudian sirna. John Carreyrou, melalui The Wall Street Journal, menulis investigasi tentang startup itu pada 2015. Theranos dianggap menjual produk yang berdiri di atas paten palsu, paten yang sebatas deskripsi saja, tanpa bisa dikonversi menjadi perangkat nyata, yang benar-benar bisa berjalan seperti klaim Holmes.
Dari data yang dikumpulkan, perangkat ciptaan Theranos menghasilkan informasi medis yang keliru, berbeda jauh dengan informasi medis yang dihasilkan rumah sakit atau laboratorium konvensional. Misalnya, dalam tes kalsium dalam tubuh, Theranos memberi nilai 11,8 milligram per enzim liter.
Padahal, rumah sakit umumnya memberikan nilai tes kalsium pada rentang 9,2 milligram per enzim liter. Ini terjadi pada tes protein. Perangkat Theranos rata-rata memberi nilai di rentang 8,4 milligram per enzim per liter. Sementara rumah sakit umumnya memberi nilai 6,8 milligram per enzim per liter.
Hasil yang melenceng jauh itu, selepas diselidiki, tercipta karena Theranos tidak melakukan pengetesan darah penggunanya melalui produk ciptaannya. Theranos mengalihkan pada mesin-mesin tradisional yang telah ada di pasaran. Theranos dianggap telah melakukan penipuan.
David Boies, pengacara Theranos, menyebut bahwa perangkat ciptaan Theranos yang semestinya digunakan menganalisa darah penggunanya "masih dalam perjalanan penciptaan".
Kantor Paten Amerika Serikat dianggap lalai menerbitkan paten. Padahal, sebagaimana dilansir Ars Technica, dalam pengajuan paten, harus ada dua syarat yang terpenuhi: utility dan enablement. Utility mengharuskan paten yang didaftarkan bisa dikonversi menjadi produk jadi. Sementara enablement mengharuskan paten, dengan segala deskripsinya, bisa didaur ulang oleh pihak lain yang ingin membuat produk serupa. Yang diciptakan Holmes, gagal soal dua syarat itu.
Theranos, sang unicorn, akhirnya runtuh. Negara bagian Arizona menuntut Theranos membayar ganti rugi pada 1,5 juta produk yang mereka jual pada masyarakat Arizona. Sementara Holmes, didaulat Fortune sebagai “Pemimpin Startup Paling Mengecewakan di Dunia.”
Editor: Suhendra