tirto.id - Novel Atheis merupakan karya Achdiat Karta Mihardja yang terbit pertama kali pada tahun 1949. Cetakan perdana novel ini dirilis oleh penerbit Balai Pustaka.
Novel Atheis berkisah tentang seorang pemuda desa bernama Hasan yang mengalami pergolakan iman sehingga menanggalkan keyakinannya pada agama. Iman tokoh Hasan semula kokoh, tetapi segera terguncang setelah ia pergi bekerja di Bandung dan bertemu banyak hal yang sebelumnya tidak ia ketahui.
Terbitnya novel Atheis pada 1949 segera memanen pujian. Para kritikus menasbihkannya menjadi salah satu karya sastra terpenting di Indonesia.
Kritikus Ajip Rodisi, misalnya, menilai novel Atheis sebagai gebrakan baru dalam penulisan sastra Indonesia pada zamannya. Sebagaimana ditulis dalam Ichtisar Sedjarah Sastra Indonesia (1969), Ajip menyebut bahwa karakteristik dan isi novel Atheis yang orisinal membawa warna baru dalam khasanah sastra Indonesia.
Kritikus cum penyair, Subagio Sastrowardoyo, dalam Sastra Hindia Belanda dan Kita (1983), juga memuji karya Achdiat K. Mihardja tersebut sebagai "suatu well-made novel" dilihat dari karakter tokoh, plot, dan temanya.
Novel Atheis pun laris di pasaran. Menukil data dari Kemendikbud, hingga tahun 2009, Atheis telah dicetak ulang sebanyak 32 kali sejak penerbitan pertamanya pada 1949.
Atheis dicetak pula di Malaysia oleh penerbit Abbas Bandong. Novel ini pun diterjemahkan oleh R. J. Maguire ke dalam bahasa Inggris. Penerjemahan ke bahasa yang sama dilakukan kembali oleh sang penulis novel pada 1972.
Kepopuleran novel Atheis bahkan membuat kisahnya diadaptasi menjadi cerita film oleh sutradara Sumandjaja pada tahun 1974.
Sinopsis Novel Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja
Kisah novel Atheis bermula dengan tokoh "saya" yang kemudian menjadi narator atas kisah hidup Hasan, salah satu karakter dalam cerita karangan Achdiat Karta Mihardja.
Hasan adalah tokoh utama dalam novel Atheis. Dia merupakan seorang pemuda desa yang puritan dan polos. Anak seorang pensiunan mantri guru penganut Islam tirakat yang kuat.
Ketika menapaki usia matang, Hasan menjadi pemuda yang begitu beriman kepada Islam, agama yang diajarkan oleh bapaknya dan ia yakini sebagai kebenaran mutlak.
Sejak kecil, Hasan belajar ilmu agama secara tekun di bawah bimbingan bapaknya. Pernah sekali waktu, saking getolnya belajar tirakat agama Islam, Hasan mengidap TBC lantaran melaksanakan ritual mandi 40 kali dalam semalam.
Berkat didikan agama dari bapaknya yang keras, Hasan tumbuh menjadi pemuda yang taat ketika ia memutuskan untuk merantau ke kota Bandung. Oleh kawan sejawatnya di Kotapraja Bandung, Hasan sering disebut sebagai kiyai karena kedalaman ilmu agama yang ia miliki.
Namun, Bandung tidak hanya memberikan Hasan pekerjaan. Kota itu ternyata juga memberikan Hasan pergolakan iman.
Ketika sedang bekerja, Hasan dikunjungi oleh Rusli, kawan masa kecilnya. Rusli datang ke tempat kerja Hasan bersama gadis bernama Kartini. Pertemuan nostalgia tersebut ternyata menjadi awal mula kisah Hasan mengalami pergolakan iman.
Rusli tumbuh berlainan arah dengan Hasan. Jika Hasan tumbuh menjadi pemuda yang taat agama, Rusli justru menyelami marxisme.
Meski begitu, mereka tetap berkawan. Justru, perkawanan Hasan dan Rusli kian erat. Rusli dan Hasan sering berdiskusi tentang perbedaan perspektif antara penganut Islam dan marxisme.
Dalam perspektif Hasan, Rusli dan Kartini adalah dua orang murtad, yang sudah kelewat jauh dari agama dan Sang Maha Pencipta.
Hasan kemudian punya akal, ia hendak mengembalikan iman kedua orang itu. Ia, pikir Hasan, akan mengislamkan kembali karibnya dan kawan gadisnya tersebut.
Hasan juga diam-diam jatuh cinta dengan Kartini. Rasa cinta tersebut membuat Hasan semakin berhasrat untuk mengembalikan iman Islam kepada gadis tersebut.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Penjelasan Rusli tentang sains dan marxisme sedikit demi sedikit membuat Hasan mempertanyakan keimanannya sendiri.
Hasan kemudian menjadi seorang peragu. Ia tidak lagi percaya agama dan mengedepankan logika serta sains sebagai dasar kebenaran.
Masalah muncul setelahnya. Pemikiran dan keyakinan baru Hasan bertabrakan dengan budaya dan keyakinan orang-orang di sekelilingnya.
Hasan berkonflik dengan bapaknya, seorang penganut Islam tirakat yang taat. Ia juga berseteru dengan ibunya yang prihatin pada demoralisasi sang anak.
Pergolakan iman Hasan kemudian membuatnya harus menemui sebuah tragedi ketika pendudukan Jepang. Hasan mati tertembak, ketika penderitaan atas pergolakan imannya sedang memuncak.
Penulis: Rizal Amril Yahya
Editor: Addi M Idhom