Menuju konten utama

Sinopsis Novel Di Bawah Lindungan Ka'bah karya Buya Hamka

Berikut ini sinopsis novel klasik Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938) yang ditulis Buya Haji Abdul Karim Abdullah atau Buya Hamka

Sinopsis Novel Di Bawah Lindungan Ka'bah karya Buya Hamka
Ilustrasi Al-Ilmu Nuurun Haji Abdul Malik Karim Amrullah. tirto.id/Sabit

tirto.id - Novel berjudul Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938) merupakan buah karya dari ulama sekaligus sastrawan Haji Abdul Karim Abdullah atau Buya Hamka. Novel klasik ini memberikan kritik terhadap adat masyarat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Berikut ini sinopsis novel Di Bawah Lindungan Ka'bah karya Buya Hamka.

Novel Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938) diterbitkan pertama kali pada 1938 oleh penerbit Balai Pustaka. Novel ini mengandung alur cerita yang kuat mengenai kisah cinta kasih yang gagal akibat terbentur budaya masyarakat Minang.

Sang penulis, Hamka, memiliki nama lengkap Abdul Karim Abdullah yang lahir pada 16 Februari 1908. Ayahnya adalah Dr. Syaikh Abdul Karim Amrullah yang dikenal sebagai pelopor Gerakan Islam "Kaum Muda" di Padang pada 1906 sekembalinya dari Mekkah.

Ayah Hamka mendirikan pondok pesantren Sumatera Thawalib di Sumatera Barat. Berdasarkan didikan ayahnya, Hamka berkenalan langsung dengan ilmu keislaman dan aktivitas dakwah.

Setelah beranjak remaja, Hamka memutuskan untuk belajar pada H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya pada usia 16 tahun. H.O.S. Tjokroaminoto merupakan guru tokoh-tokoh besar Indonesia, seperti Soekarno, Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo, Munawar Musso, dan sebagainya.

Selanjutnya, mengutip laman Ensiklopedia Kemdikbud, Hamka kemudian pergi haji pada 1927 dan melawat ke berbagai negara di kawasan Arab. Saat kembali ke Indonesia, dia berdomisili di Deli, Sumatera Timur.

Kiprah Hamka dalam dakwah Islam cukup luas. Dia pernah bekerja sebagai guru agama di Padang, lalu menjadi pemimpin pergerakan Muhammadiyah. Hamka pernah pula menjadi pemimpin majalah mingguan Pedoman Masjarakat (1936-1942) Gema Islam, dan Pandji Masjarakat.

Buya Hamka turut menggawangi majalah Mimbar Agama milik Departemen Agama (1950-1953). Hamka juga diangkat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia untuk periode 1977-1981.

Bakat seni yang dimiliki Hamka dipengaruhi kesusastraan Arab modern. Novel Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938) merupakan karya sastra pertamanya. Pada novel ini, Hamka menyisipkan pemikiran filsafat, ajaran keislaman, dan kritiknya terhadap adat masyarakat yang berlawanan dengan ajaran Islam.

Novel Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938) telah difilmkan dalam layar lebar yang diproduksi oleh MD Pictures. Film berdurasi 121 menit tersebut rilis pada 25 Agustus 2011 silam. Sinema tersebut menghadirkan akting dari Herjunot Ali dan Laudya Cynthia Bella selaku pemeran utamanya.

Sinopsis Novel Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938)

Novel Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938) mengikuti alur kisah tentang Hamid dan Zainab. Singkat cerita, Hamid sudah menjadi anak yatim di usianya yang masih 4 tahun. Hamid dulunya berasal dari keluarga kaya raya dan dihormati masyarakat.

Di saat ayah Hamid masih hidup, banyak orang yang datang mendekatinya. Namun, nasib berbalik saat sang ayah jatuh miskin. Kehidupan keluarga Hamid menjadi penuh kekurangan.

Kemiskinan itu membuat keluarganya dijauhi banyak orang. Teman, bahkan keluarga, tidak lagi menganggap mereka orang "berada".

Sikap dari lingkungan sekitar yang tidak lagi mendukung, membuat ayah dan ibu Hamid pindah kediaman ke sebuah gubuk kecil yang juga menjadi tempat meninggalnya ayah Hamid.

Dua tahun setelah meninggalnya sang ayah, Hamid ingin membantu ibunya mencari nafkah. Dia meminta ibunya membuat kue, lalu Hamid yang akan menjualkannya. Hal itu dikabulkan sang ibu dan Hamid berjualan setiap pagi di lingkungan sekitarnya.

Saat berjualan, Hamid sering melewati rumah besar di dekat rumahnya. Rumah itu memiliki halaman luas dan pemiliknya kaya raya. Nama pemilik rumah adalah H. Ja'far.

H. Ja'far tinggal bersama istrinya, Mak Asiah, dan anak perempuan bernama Zainab. Mak Zainab adalah pelanggan setia makanan yang dijual Hamid.

Suatu hari Mak Asiah bertanya tentang kehidupan Hamid, termasuk mengenai keluarganya. Hamid lantas bercerita tentang masa lalunya. Setelah itu, Mak Asiah memintanya agar ibunya bersedia bertandang ke rumahnya.

Pertemuan Mak Asiah dan ibu Hamid pun terjadi. Keduanya ternyata cepat akrab, dan Mak Asiah menganggap Hamid beserta ibunya layaknya keluarga sendiri.

Tak terasa satu tahun berlalu dan kini Hamid menginjak usia 7 tahun. Dia disekolahkan oleh H. Ja'far di satu tempat dengan Zainab. Usia Zainab yang lebih muda, menjadikan keduanya serasa kakak-beradik seiring akrabnya mereka berdua.

Usai tamat SD, keduanya juga disekolahkan di satu tempat ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau Mulo. Kemudian, setelah tamat Mulo, keduanya mesti terpisahkan dan mengikuti adat setempat.

Dalam adat Minang, perempuan seusia Zainab sudah harus dipingit, sementara jika laki-laki masih diperbolehkan menempuh pendidikan lebih tinggi.

Akhirnya, hanya Hamid yang kini melanjutkan pendidikannya. Dia menjadi peserta didik di Sekolah Agama di Padang Panjang. H. Ja'far masih bersedia untuk membiayai sekolahnya.

Namun, sekian waktu berjalan, perasaan Hamid mulai gelisah. Setelah cukup lama tidak bercengkrama dengan Zainab, dirinya merasa ada sesuatu yang hilang. Hamid pun harus mengakui bahwa dia telah mencintai Zainab.

Perasaan itu tidak berani diungkapkannya. Hamid menyadari dirinya bukanlah siapa-siapa dan menjadi pribadi yang lebih baik berkat uluran tangan dari H. Ja'far.

Suatu hari, Hamid bertemu Mak Asiah di pesisir. Pada pertemuan itu Mak Asiah berpesan pada Hamid agar datang ke rumah esok hari. Mak Asiah ingin mengobrol dengannya.

Tatkala berada di rumah Mak Asiah, Hamid diminta membujuk Zainab agar mau dinikahkan dengan saudara H. Ja'far.

Ternyata, rencana pernikahan Zainab ditujukan demi melindungi harta H. Ja'far agar tetap berputar di tangan keluarganya. Sontak, perasaan Hamid remuk redam.

Hamid tidak berani menolak permintaan Mak Asiah. Saat disampaikan pada Zainab, dia berterus terang bahwa yang dicintainya hanyalah Hamid.

Hamid serba bimbang dengan keadaannya kini dan memutuskan pergi dari Padang menuju Medan, lalu berlanjut ke Mekkah.

Sebelum pergi ke Mekkah, Hamid berkirim surat pada Zainab. Dia berpesan untuk mematuhi perintah ibunya untuk menikah dengan pilihan orang tuanya itu. Lalu, surat itu menjadi teman Zainab dalam kekosongan hatinya.

Dua tahun telah berlalu dan Hamid tinggal di Mekkah. Suatu hari, Hamid bertemu dengan sahabat lamanya, Saleh. Saleh lalu bercerita mengenai keadaan Zainab.

Dalam tuturnya, Saleh mengatakan jika Zainab masih menunggu dan tetap mencintai Hamid. Senang sekali perasaan Hamid mendengar kabar itu. Sayangnya, belum sempat pulang ke Indonesia, Hamid dikabari bahwa Zainab telah meninggal.

Hati Hamid langsung hancur sejadi-jadinya. Dia pun sakit dan memutuskan untuk melakukan tawaf di Ka'bah. Kuasa Ilahi telah berkehendak, pada tawaf ke-7, Hamid mendapatkan sakaratul maut lalu meninggal setelah memanjatkan doa terakhirnya.

Baca juga artikel terkait HIBURAN atau tulisan lainnya dari Ilham Choirul Anwar

Kontributor: Ilham Choirul Anwar
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Abdul Hadi