tirto.id - Pemerintah kini mengkaji rencana revisi UU Ketenagakerjaan yang akan mengakomodir kebutuhan fleksibilitas sistem tenaga kerja di era ekonomi digital. Namun, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) menolak rencana itu.
"Narasi fleksibilitas yang disampaikan pemerintah dan pengusaha sebenarnya adalah upaya untuk menekan pekerja dan upaya terstruktur memiskinkan kaum pekerja," kata Ketua Sindikasi Ellena Ekarahendy di LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat pada Rabu (10/6/2019).
Menurut dia, jika revisi UU itu melegalkan sistem pengupahan menjadi per jam, menghapus batas jam kerja dan mengubah atau meringankan ketentuan soal pesangon, hal itu bertolak belakang dengan aspirasi pekerja.
Ellena menyebut, hal itu bukanlah fleksibilitas yang diinginkan pekerja. Dia menjelaskan fleksibilitas dalam konteks ekonomi digital harus dimaknai dengan menyediakan pilihan-pilihan kepada pekerja, sekaligus menyiapkan jaring pengaman, seperti upah minimum, pesangon dan relasi setara antara buruh dan pengusaha.
Dia khawatir revisi UU Ketenagakerjaan berkebalikan dengan kebutuhan buruh dan membuat sistem perekrutan maupun pemecatan pekerja lebih fleksibel sehingga menguntungkan pengusaha saja.
Apabila hal itu terjadi, Ellena menilai, revisi UU Ketenagakerjaan hanya melegalkan sesuatu yang merupakan pelanggaran hukum perburuhan yang berlaku saat ini.
"Ketika pengusaha jarang memenuhi hak-hak normatif pekerja, pemerintah bukannya memberi kartu merah kepada mereka, tapi malah memberikan karpet merah kepada mereka," ujar Ellena.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Addi M Idhom