tirto.id - Pemerintah dan pengusaha berencana merevisi undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Hal ini sontak menuai penolakan dari buruh, salah satunya dari konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI).
"Kami menolak dengan tegas revisi UU Ketenagakerjaan dan mendorong undang-undang yang pro kaum buruh," kata Ketua Umum KASBI Mining Elitis di LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat pada Rabu (10/7/2019).
Mining mengatakan, revisi undang-undang yang diusulkan oleh kalangan pengusaha itu sangat kental dengan aroma kepentingan pengusaha.
Ia menjelaskan, revisi UU yang mendorong fleksibilitas dalam hal jam kerja, dan pengupahan, bahkan ada wacana pengurangan kewajiban pesangon bagi karyawan yang mengalami PHK.
"Artinya pekerja makin fleksibel, makin mudah didapat kemudian makin mudah di PHK dan bisa diperlakukan semena-mena," ucapnya.
Nining pun memprotes pemerintah yang terkesan hanya mengajak pengusaha untuk berdialog untuk urusan UU Ketenagakerjaan. Ia menilai, seharusnya buruh menjadi pihak yang paling dilibatkan dalam hal ini.
Ia menjelaskan, saat ini masih banyak pekerjaan rumah soal perburuhan, dari sisi regulasi Nining menyebut aturan soal kontrak alih daya dan pemagangan yang malah merugikan buruh. Selain itu, masih banyak pelanggaran yang dilakukan pengusaha yang tidak jelas penegakan hukumnya.
Ia mengutip data dari Laporan Tren Sosial Ketenagakerjaan di Indonesia dari ILO selama 2014-2015 yang mengungkap 60 persen buruh dibayar di bawah upah minimum.
"Justru posisi saat ini sangat tidak memberikan perlindungan, ditambah lagi rencana pemerintah melakukan revisi pengurangan atas hak pesangon dan pembatasan terhadap hak mogok, itu menunjukkan bahwa rakyat semakin dibiarkan penghisapan dan pembodohan," jelasnya.
Karenanya, ia menyatakan menolak revisi UU Ketenagakerjaan dan ia pun menyerukan kepada seluruh elemen buruh lainnya untuk turut menolak revisi uu tersebut.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Dhita Koesno