Menuju konten utama

Sidney Sheldon, Jawara Novel Thriller di Usia Senja

Sidney Sheldon kelak menjadi salah satu penulis fiksi dengan karya paling banyak diterjemahkan dari bahasa asli, bahasa Inggris.

Sidney Sheldon, Jawara Novel Thriller di Usia Senja
Sidney Sheldon. AP Photo/Susan Goldman

tirto.id - Ide cerita tentang psikiater yang coba dibunuh seseorang terus menghantui Sidney Sheldon. Namun, ia merasa kisah itu tak bisa dituangkan menjadi drama.

“Aku harus masuk ke kepala psikiater untuk melihat bagaimana dia menyelesaikan masalah…hal itu mustahil dikerjakan dalam bentuk drama. Bentuknya harus novel, dengan pikiran-pikirannya bisa dijelaskan kepada pembaca. Namun, aku tahu, aku tidak mampu menulis novel. Jadi kubuang gagasan itu,” kenang Sheldon dalam memoarnya, The Other Side of Me.

Sebagai penulis naskah drama dan skenario film/televisi, ia punya jam terbang tinggi dan nama besar. Novelis? Ia belum punya karya.

Pada kenyataannya Sheldon gagal membuang gagasan yang menggenangi benak. Ia mulai mendiktekan kisah tersebut kepada sekretarisnya. Novel tersebut pun kelar dengan judul The Naked Face.

Sheldon mengirim naskah itu ke lima penerbit. Namun nama besar di Hollywood dan Broadway ternyata tak otomatis menjual. Lima penerbit itu menampik.

Ia tak menyerah. Penerbit keenam, William Morrow, bersedia menerbitkan The Naked Face. Ketika itu, usia Sheldon beranjak senja, 53 tahun. Ia lahir pada 11 Februari 1917 di Chicago.

Beberapa pekan kemudian, sepucuk kabar mampir. The Naked Face telah terjual 17 ribu eksemplar. Toh pria yang pernah menjadi pilot Angkatan Udara AS pada Perang Dunia ke-2 ini dirundung gundah.

“Aku punya acara TV yang ditonton 20 juta orang. Aku sungguh tak gembira mendengar kabar bahwa hanya berhasil menjual, apa pun itu, sebanyak 17 ribu eksemplar,” kata Sheldon ke pihak penerbit.

Kebebasan Kreatif

Di sisi lain, Sheldon semringah membaca sejumlah ulasan di koran dan majalah. Penulis di TheNew York Times, misalnya, menyebut The Naked Face sebagai kisah thriller dari seorang pendatang baru terbaik pada tahun tersebut. Novel itu pun dinominasikan sebagai peraih Edgar Allan Poe Award, ajang perhargaan untuk karya-karya bergenre misteri/thriller.

Sheldon semakin keranjingan bikin novel. Pada 1973, The Other Side of Midnight terbit. Sambutan publik kian dahsyat. Novel ini bertahan sebagai best seller versi The New York Times selama 53 minggu – rekor tertinggi pada masanya.

Sebagai novelis, Sheldon mengaku diliputi perasaaan senang yang baru. Ada kebebasan kreatif yang tak diperolehnya sebagai penulis naskah drama atau skenario.

“Menulis skenario, acara televisi, atau drama selalu merupakan upaya kolaboratif…penulis selalu bekerja dengan para pemain, sutradara, produser, dan musisi,” kata Sheldon.

Novelis adalah pemain, sutradara, dan produser sekaligus. Ia memiliki ruang kreativitas yang jauh lebih luas. Entah mengapa Sheldon tak mengungkit peran penerbit yang dalam banyak kasus lain bisa sangat mengatur. Mungkin lantaran ia tak mengalaminya.

Sebagai penulis naskah drama, film layar lebar, dan televisi; nama Sheldon berkibar. Dia menulis enam drama untuk Broadway. Karya terbesarnya adalah drama musikal Redhead, yang dibintangi Gwen Verdon, dipanggungkan dari 1959 hingga 1960 dan memberinya Tony Award.

Dari panggung drama, Sheldon menjajaki Hollywood. Ia meraih Academy Award pada 1948 untuk penulisan skenario The Bachelor and the Bobby-Soxer.

Setelah mengerjakan lebih dari 20 skenario film, dia beralih ke televisi. Di antaranya menulis untuk komedi situasi terkenal, The Patty Duke Show (ABC, 1963-1966) dan I Dream of Jeannie (NBC, 1965- 1970). Ketika mengerjakan “I Dream of Jeannie” itulah ide untuk The Naked Face muncul.

Ia juga menciptakan serial Hart to Hart yang dibintangi Robert Wagner dan Stefanie Powers, ditayangkan di ABC dari 1979 hingga 1984.

Penulis Paling Laris

Jalan kesuksesan sebagai novelis kian terbentang. Sheldon kelak menjadi salah satu penulis fiksi dengan karya paling banyak diterjemahkan dari bahasa asli, bahasa Inggris. Buku-bukunya dicetak dalam 51 bahasa – termasuk bahasa Indonesia.

Total sekitar 300 juta eksemplar bukunya beredar di 108 negara. Setengah dari 18 novelnya diadaptasi menjadi film televisi atau miniseri. CBS dilaporkan membayar USD1 juta kepada Sheldon untuk hak membuat miniseri dari If Tomorrow Comes pada 1985, bahkan sebelum novel itu terbit.

Pada kenyataannya, para kritikus memandang karya-karya Sheldon dengan sebelah mata. Dianggap dangkal dan tak bernilai sastra. Hanya dianggap sebagai bacaan hiburan di waktu luang, bukan sesuatu yang “memperkaya batin atau menyumbangkan format literer baru.”

Memang menghibur. Dalam novel-novelnya, Sheldon mengajak pembaca melanglang buana ke sejumlah tempat di dunia: New York, Paris, Roma, Istanbul, Buenos Aires, Madrid, dan kota-kota lain.

Tak sekadar penyebutan nama kota, tapi ada pula deskripsi jalan, bangunan-bangunan tersohor, hotel dan restoran tertentu, juga kuliner setempat.

Untuk itu semua, Sheldon banyak bepergian. Sebelum menulis Windmills of the Gods, ia pergi ke Rumania dan datang ke Kedutaan Besar AS di sana.

“Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan sebagai riset untuk novel saya,” ujar pria yang dilahirkan sebagai Sidney Schechtel tersebut.

“Ikutlah dengan saya,” kata Sang Duta Besar. Mereka berjalan menyusuri koridor. Sang Duta Besar tak ingin percakapan mereka disadap.

“Bukan hanya di rumah duta besar. Kalau ke kelab malam, Anda pun bakal disadap,” lanjut Sang Duta Besar.

Ia juga menuju Afrika Selatan untuk riset novel Master of the Game (1982). Sheldon diizinkan masuk ke tambang milik DeBeers, produsen intan terbesar dunia. Di sana imajinasinya bekerja: bagaimana cara membobol tambang yang dijaga super-ketat tersebut.

Hal unik, tak seperti penulis lain yang bekerja menggunakan mesin tik atau komputer, pria yang tiga kali menikah itu mendiktekan 50 halaman sehari kepada sekretaris atau bicara ke alat perekam.

Satu catatan penting lain, para protagonis novel-novelnya adalah perempuan. Dalam Windmills of the Gods (1987), misalnya, dihadirkan seorang profesor Ilmu Politik, Mary Ashley, yang ditugaskan menjadi duta besar Amerika Serikat di Rumania.

Cerita berlangsung di masa perang dingin. Rumania masuk blok Timur yang memusuhi AS. Ashley punya misi mendekatkan kedua negara. Alur konflik segera tercipta. Ibu Duta Besar pun harus menghadapi ancaman pembunuhan.

Dalam The Best Laid Plans (1997), Sheldon menciptakan karakter Leslie Stewart, perempuan yang dikecewakan politikus Oliver Russel. Stewart menyusun rencana untuk membuat pria yang lagi mengincar kursi Gedung Putih itu menyesal pernah dilahirkan ke dunia.

Novel itu menggambarkan lika-liku kekuasaan di Amerika Serikat, yang bisa sangat licin dan keji. Juga bagaimana media massa dipakai untuk menghancurkan kehidupan seseorang.

Kehidupannya juga sempat terancam. Ia pernah menderita gangguan manik depresif selama bertahun-tahun. Suasana hati bisa sangat berubah, dari sangat gembira menjadi putus asa level dewa. Bahkan melakukan percobaan bunuh diri pada usia 17. Saat itu, ia ditemukan dengan beberapa botol wiski dan pil tidur.

Usia panjang dijalaninya. Ia meninggal dunia pada 30 Januari 2007, beberapa hari menjelang ulang tahun ke-90.

Dalam obituari, The New York Times mengutipnya, "Saya mencoba menulis sedemikian rupa sehingga pembaca tidak dapat meletakkan buku…ketika mencapai akhir bab, pembaca akan tergoda masuk ke bab berikutnya. Ini adalah teknik lama serial Sabtu sore: biarkan pria itu tergantung di tepi tebing pada akhir bab."

Banyak tokoh utama novel adalah perempuan, tak mengherankan jika kaum perempuan juga menggemari. Ia berujar, "Saya suka menulis tentang para perempuan berbakat dan berdaya, tetapi yang paling penting, mempertahankan keperempuanan mereka. Perempuan memiliki kekuatan luar biasa – feminitas mereka."

Baca juga artikel terkait NOVEL atau tulisan lainnya dari Yus Ariyanto

tirto.id - Mild report
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Nuran Wibisono