tirto.id - “Super ya mbak, Rp25 ribu,” ucap Agus Sofiyan (35 tahun) yang berdiri di samping motor berwarna oranye ketika seorang petugas tengah meraih selang pengisian bahan bakar minyak (BBM).
Motor jenis Jupiter MX King 150 itu terparkir di tempat pengisian bahan bakar No. 15 dengan nuansa putih, kuning, dan oranye, ciri khas SPBU Shell Indonesia, di kawasan Sunter, Jakarta Utara, Selasa (18/12/2018).
Di sekitar motor milik Agus itu juga terdapat tiga motor lainnya yang tengah mengantre bersama dua mobil yang sedang mengisi bahan bakar.
BBM jenis “Super” yang digunakan Agus memiliki kadar oktan yang sama dengan Pertamax milik Pertamina, yaitu RON 92. Namun, Agus lebih memilih merek Super lantaran oktannya sama, meski harga keduanya terpaut selisih Rp400 per liter.
Alasannya, kata Agus, BBM jenis Super milik Shell Indonesia dinilai memiliki kualitas yang lebih baik dibanding Pertamax.
“Sebenarnya lebih mahal ya daripada Pertamax. Oktannya sama, ya mendingan Super,” kata Agus kepada reporter Tirto.
Berdasarkan observasi reporter Tirto di sejumlah SBPU di Jakarta, harga BBM jenis Super di SPBU Shell Indonesia adalah Rp10.800, sementara harga Pertamax adalah Rp10.400 per liter. Namun, konsumen seperti Agus lebih memilih BBM jenis Super.
Selisih harga yang tidak jauh beda itu juga menjadi alasan Prahitno (39 tahun). Pria yang sehari-hari menjadi pengemudi Grab-bike ini mengaku telah 6 bulan menggunakan bahan bakar jenis Super lantaran harga Pertamax sudah mengalami kenaikan.
“Ya asalnya saya biasa Pertamax. Harga keduanya, kan, beda Rp500 perak saja. Kalau harganya [Pertamax] sesuai, ya mungkin beralih lagi. Saya nyarinya lebih ke irit dan murah,” kata Prahitno.
Hingga Selasa (18/12) siang, Pertamina memang menjadi satu-satunya perusahaan penyalur BBM yang belum menurunkan harga sejak rapat yang digelar di Kementerian ESDM, pada 28 November 2018. Sementara perusahaan asing yang memiliki SPBU di Jakarta, rata-rata sudah menurunkan harga.
ExxonMobil misalnya, per 12 Desember 2018 telah menurunkan harga BBM dengan RON 92 dari Rp1.100 menjadi Rp9800 per liter. Kebijakan ini disusul Shell Indonesia yang menurunkan BBM jenis regular (Oktan 90) per 13 Desember 2018. Sebelumnya, Total, AKR, Vivo, Garuda Mas juga telah menurunkan harga BBM Jenis Performance 92 dengan besaran selisih per liter masing-masing Rp750, Rp100, Rp25, dan Rp1.000.
VP Corporate Communication Pertamina Adiatma Sardjito sejauh ini belum dapat berkomentar terkait kapan Pertamina akan menurunkan harga BBM non-subsidi. Ia hanya mengatakan perusahaan pelat merah itu masih melakukan evaluasi harga.
Aditama menjelaskan penurunan-penaikan harga BBM tidak bisa dilakukan secara serta-merta. Perubahan harga, kata dia, diusulkan oleh badan usaha dan mendapat persetujuan pemerintah.
Belum lagi, kata Adiatma, perhitungannya pun melibatkan aspek permintaan-penawaran, nilai tukar rupiah, dan stok crude oil yang datang setiap tiga bulan.
“Pertamina, kan, enggak kaget-kagetan. Begitu harga minyak tinggi kami tidak serta-merta menaikkan, begitu juga saat turun. Harga dan faktornya itu, ya kami evaluasi dan ini perlu waktu ya,” kata Aditama.
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kementerian ESDM Agung Pribadi pun mengaku belum mendapat informasi lebih lanjut terkait Pertamina yang tidak juga menurunkan harga BBM non-subsidi seperti yang dibahas sejumlah perusahaan dengan pemerintah.
Namun demikian, terkait koordinasi antara Pertamina dengan pemerintah, Agung mengatakan hal itu hanya sebatas pemberitahuan. Badan usaha, kata Agung, cukup melaporkan penaikan dan penurunan harga sesuai harga minyak dunia.
Menurutnya, pemerintah hanya memastikan margin keuntungan tidak lebih melampaui 10 persen dari biaya operasi. “Koordinasinya hanya pemberitahuan saja. Biasanya pararel. Surat berjalan (ke kementerian/lembaga) dan penurunan harga juga berjalan,” kata Agung.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa tidak heran bila Pertamina belum menurunkan harga BBM non-subsidi.
Ia menilai dibanding perusahaan lainnya, keadaan Pertamina memang berbeda lantaran memiliki tanggung jawab penyaluran BBM penugasan di seluruh Indonesia.
“Dia [Pertamina], kan, operasi seluruh Indonesia. Itu [belum menurunkan harga] wajar dilakukan Pertamina. Adjustment butuh waktu beberapa hari,” kata Fabby.
Selain itu, kata Fabby, faktor lain yang mesti dipertimbangkan adalah peran Pertamina yang harus menanggung biaya BBM penugasan yang tidak memperoleh subsidi, seperti BBM jenis Premium.
Pertamina, kata Fabby, tentu mempertimbangkan faktor itu karena margin penjualan BBM non-subsidi dapat digunakan untuk menutup biaya tersebut.
“Biar enggak terlalu tipis amat untungnya. Kan, kalau dia bisa mendapat untung dengan menahan harga beberapa hari. Lumayan, kan,” kata Fabby.
Namun, Fabby mengingatkan bahwa penurunan harga BBM non-subsidi itu tentu harus tetap dilakukan perusahaan pelat merah itu. Apalagi harga minyak dunia trennya turun dan rupiah menguat.
Sebab, jika tidak cepat-cepat mengambil keputusan, kata Fabby, maka konsumen dapat beralih ke kompetitor Pertamina.
Selain itu, keberadaan pemerintah sebagai regulator juga dapat mempercepat proses itu lantaran memiliki hak untuk menurunkan harga tersebut. Karena itu, Fabby yakin tidak lama lagi Pertamina akan menurunkan harga BBM non-subsidi seperti yang dilakukan kompetitornya.
“Saya kira enggak perlu waktu lama. Awal minggu depan atau akhir minggu depan,” ucap Fabby
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz