tirto.id - Pemerintah bakal melakukan holding terhadap beberapa perusahaan pelat merah yang bergerak dalam bisnis penerbangan. Untuk memuluskan rencana itu, Kementerian BUMN telah menunjuk PricewaterhouseCoopers Consulting Indonesia (PwC) untuk melakukan kajian awal: mulai dari prospek, hambatan bisnis, hingga model operasi yang sesuai untuk diterapkan.
Anggota holding mencakup enam BUMN yang beroperasi di sepanjang rantai sektor perhubungan udara, antara lain: AirNav, Garuda Indonesia, Angkasa Pura I, Angkasa Pura II, Pelita Air, serta Survai Udara Penas.
Dalam dunia korporasi, pembentukan holding adalah hal biasa dalam rangka ekspansi bisnis dan pasar. Hal serupa juga pernah dilakukan pemerintah terhadap beberapa perusahaan negara pada sektor pupuk, semen, tambang, dan migas.
Namun, dalam kajian PwC, tujuan pembentukan holding itu tak semata ekspansi bisnis, melainkan juga peningkatan layanan operasional, katalis pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, serta peningkatan konektivitas nasional dan global.
Karena itu, dalam lima tahun pertama setelah terbentuk, holding harus mengejar sejumlah target seperti pertumbuhan penumpang sebesar 6,4 persen, pertumbuhan kargo 14,7 persen, hingga kontribusi sebesar 2,3 persen terhadap PDB.
Meski demikian, hal yang harus diwaspadai dari rencana pembentukan holding tersebut adalah persaingan usaha yang tidak sehat.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Syahputra Saragih mengatakan penggabungan perusahaan-perusahaan itu dapat menimbulkan kecemasan pasar (market anxiety).
Sebab, kata Guntur, potensi pasar yang sangat besar membuat perusahaan induk (holding) rentan memonopoli penguasaan yang dapat dilihat sebagai perilaku anti-kompetisi.
"Kalau itu jadi satu kepemilikan, maka posisi dia akan jadi dominan," kata Guntur saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (11/4/2019).
Salah satunya potensi abuse of domination position antara Angkasa Pura sebagai regulator sekaligus operator bandara dengan Garuda Indonesia sebagai maskapai penerbangan yang menjadi salah satu user-nya.
"Ini yang masih terus kami cermati, dan melihatnya dari perspektif Angkasa Pura dengan maskapai-maskapai penerbangan lain yang ada di Indonesia," kata Guntur menambahkan.
Garuda Bisa Tekan Ongkos Operasional
Terlepas dari potensi persaingan tak sehat, pembentukan holding diyakini dapat memberi untung bagi para perusahaan di dalamnya. Salah satunya, dalam hal efisiensi. Dalam kajian PwC yang diterima reporter Tirto, misalnya, holding dapat melakukan penghematan biaya hingga Rp7 triliun dalam kurun lima tahun.
Ini tentu bisa menguntungkan bagi Garuda Indonesia, yang belakangan susah payah mencari untung. Maskapai yang berdiri sejak 1949 itu hanya bisa meraup untung 5,01 juta dolar AS pada 2018, dan tahun sebelumnya tekor hingga 213 juta dolar AS.
Selain karena meningkatnya biaya avtur, biaya bandara, hingga risiko kurs, kesulitan keuangan yang diderita disebabkan tidak efisiennya maskapai tersebut dalam operasional bisnis.
Mantan Dirut Garuda Pahala N. Mansury pernah mengungkapkan inefisiensi itu disebabkan kondisi rute Garuda yang tekor lantaran biaya operasional yang keluar sangat jomplang dengan pendapatan. Tahun lalu, misalnya, 11 rute Garuda justru bikin tekor dan membebani biaya operasional.
Dalam kajian PwC, holding penerbangan dapat membentuk sistem pendukung travel-retail secara terintegrasi agar biaya operasional dapat ditekan.
Vice President Corporate Secretary Garuda Indonesia, M Ikhsan Rosan mengatakan, saat ini operasional yang tak efisien masih jadi kendala yang dihadapi perseroannya. Namun, Ikhsan enggan berkomentar terkait rencana pembentukan holding tersebut, termasuk soal apakah rencana itu bakal menguntungkan bagi Garuda atau tidak.
"Kalau itu kami belum bisa statement karena, kan, kami juga masih ada beberapa pertemuan sama BUMN, nanti baru di situ kami lihat bagaimana nanti prospeknya termasuk untuk efisiensi," kata Ikhsan saat dikonfirmasi reporter Tirto.
Sementara itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mendukung usulan perusahaan induk atau holding penerbangan. Namun dengan syarat dari sisi industri juga diberdayakan.
"Basically, satu sisi saya mendukung, tapi sisi lain bahwa industri-industri itu harus diperhatikan keberdayaannya," kata Budi usai membuka diskusi 'Peran Kartini Perhubungan untuk Keselamatan Transportasi, Keluarga dan Lingkungan' di Kementerian Perhubungan, Jakarta, seperti dikutip Antara, Kamis (11/4/2019).
Budi mengimbau jangan sampai satu perusahaan tidak memiliki kinerja dengan baik karena bergantung pada induk. Justru, lanjut dia, dengan digabungkan harus memiliki upaya untuk memajukan industri bersama.
"Jangan juga bergantung dengan yang lain karena dia tidak bisa melakukan effort jadi harus digabungkan," kata Budi Karya.
Menhub mengatakan kementeriannya akan membahas usulan holding untuk mempelajari secara rinci. "Prinsipnya, saya dukung tapi nanti saya akan liat detail-detailnya, dan saya akan menyampaikan catatan-catatan apabila digabung apa-apa saja,” kata Budi.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz