tirto.id - “Rasanya kayak dicubit dikit, tapi nggak papa kok.”
Kalimat di atas disampaikan dengan polos oleh boneka monster berbulu merah, Elmo, setelah menerima vaksin Covid-19 akhir Juni silam. Karakter yang selalu berusia tiga tahun dari Sesame Street, serial edukasi untuk anak prasekolah usia 3-5 asal Amerika Serikat, diceritakan mengikuti rekomendasi otoritas kesehatan yang baru saja mengizinkan pemberian vaksin Pfizer dan Moderna untuk anak di bawah lima tahun.
Dalam video berdurasi satu menit tersebut tampil juga Louie, ayah Elmo. Ia punya banyak pertanyaan tentang keamanan vaksin untuk balita dan baru yakin bahwa anaknya memang harus disuntik setelah berkonsultasi dengan dokter.
Program vaksinasi Covid-19 yang dicanangkan pemerintah, termasuk anjuran banyak pihak untuk mengikutinya, kerap diserang oleh politikus konservatif. Bahkan Sesame Street pun tak luput dari kritik.
Salah satu yang melakukan hal tersebut adalah Ted Cruz, senator Partai Republik dari Texas. Ia berkicau di Twitter bahwa Elmo sudah “mengadvokasikan vaksinasi secara agresif untuk balita... tanpa menyertakan bukti ilmiah.” Cruz bahkan sempat menyebarkan tautan berita tentang kematian Elmo karena miokarditis (efek sangat langka dari vaksin Pfizer yang menimbulkan inflamasi pada jantung).
November tahun lalu, protes juga dilayangkan pada karakter burung kuning berusia enam tahun, Big Bird, yang mempromosikan vaksinasi bagi anak usia 5-11. Dalam siaran CNN, Big Bird bertanya tentang cara mengatasi rasa takut terhadap jarum suntik pada pakar kesehatan sampai akhirnya merasa percaya diri untuk divaksin. Langkah Big Bird diapresiasi oleh Presiden Joe Biden namun, lagi-lagi, dicecar oleh Cruz sebagai “propaganda pemerintah.”
Senator republikan lain dari Arizona, Wendy Rogers, bahkan menuding Big Bird sebagai “komunis”—entah bagaimana logikanya.
Serangan juga datang dari komentator politik Fox News Lisa Boothe.Ia menyebut siaran Sesame Street telah “mencuci otak anak-anak," kelompok yang menurutnya “tidak berisiko” terpapar Covid-19. Pernyataan ini jelas tidak ilmiah. Riset menunjukkan bahwa risiko tetap ada meskipun tingkat keparahannya relatif lebih rendah daripada orang dewasa. Anak-anak yang pernah terinfeksi Covid-19 juga berpeluang terpapar efek jangka panjangnya.
Mungkin para pengkritik lupa—atau tidak peduli—bahwa Big Bird sudah jadi duta vaksin sejak setengah abad lalu. Sebuah episode yang tayang pada 1972, misalnya, mengisahkan Big Bird antre divaksin campak lalu dapat hadiah balon.
Alat Propaganda Pemerintah?
Isu tentang vaksin covid-19 bukanlah hal pertama yang membuat orang-orang dewasa, terutama mereka yang konservatif, gusar terhadap Sesame Street.
Pada 2009 lalu, giliran tokoh monster yang sehari-hari tinggal di tong sampah, Oscar the Grouch, yang dihujat. Penyebabnya adalah karakter yang suka bersungut-sungut tersebut memelesetkan nama kantor berita konservatif Fox News jadi Pox News danmenyebutnya “acara berita sampah.”
Spekulasi pun muncul setelah episode tersebut: bahwa PBS, jaringan televisi edukasi nonprofit yang menyiarkan Sesame Street dan disokong dengan uang pajak, sudah berpihak pada Gedung Putih. Kala itu Fox News memang sedang sering berseteru dengan Barack Obama. Sang presiden kerap jadi olok-olokan di berbagai siaran. Ia disebut komunis, sosialis, marxis, sampai dibandingkan dengan Nazi gara-gara kebijakan terkait reformasi kesehatan dan pertanian.
Aktivis kiri dituding jadi dalang di balik para muppet. “Saya tidak bisa mempertontonkan Sesame Street untuk anak-anak saya tanpa merasa khawatir kelompok kiri berusaha menggerus otoritas saya,” kata Larry O’Connor dari media sayap kanan Breitbart. Selain itu menurutnya PBS juga tidak berhak mengajarkan anak-anak menilai pilihan berita orang tua mereka.
Ada pula yang menganggap sindiran Sesame Street biasa saja mengingat Fox News sendiri kerap mengejek. Apa yang dilakukan Sesame Street sekadar serangan balasan. Tommy Christopher dari Mediaite mengatakan Fox News pernah menyebut versi DVD Sesame Street bukan “untuk anak-anak”; menuding karakter tamu Mister Rogers “kejam”; menyinggung gerakan boneka Cookie Monster “erotik”; sampai berspekulasi Oscar the Grouch pernah dianiaya.
Ombudsman PBS kemudian turun tangan dan menilai para produser memang tidak sepatutnya menyisipkan sindiran tentang Fox News dalam siaran yang menyasar audiens anak. Namun toh agenda Washington muncul lagi.
Pada 2011, Michelle Obama dan Jill Biden mengajak Elmo dan monster biru-hijau Rosita agar peduli pada tetangga yang punya keluarga tentara. Video diakhiri dengan slide berisi iklan Joining Forces—inisiatif Gedung Putih untuk mendukung keluarga para tentara, veteran, perawat, dan para penyintas perang. Segmen tersebut rilis tak lama setelah Obama mengerahkan militer AS-NATO ke Libia, suatu langkah yang menimbulkan kritik dari orang-orang yang sudah jengah dengan perang.
Lingkaran kepresidenan AS—baik Demokrat maupun Republik—memang menjalin hubungan baik dengan Sesame Street. Barbara Bush jadi ibu negara pertama yang datang membacakan buku cerita di studio. Menantunya, Laura, juga ikut jejaknya pada 2003, lantas mengundang boneka-boneka Muppet tersebut ke Gedung Putih untuk merayakan Natal.
Hillary Clinton, tak lama setelah suaminya terpilih sebagai presiden pada 1993, juga hadir ke studio untuk mengajarkan Big Bird dan Rosita pentingnya mengonsumsi sayur. Michelle Obama beberapa kali jadi bintang tamu, sementara suaminya, saat memberikan pidato ucapan ulang tahun Sesame Street ke-40, memuji mereka karena telah memberikan “pelajaran tentang kasih sayang, kebaikan dan rasa hormat terhadap perbedaan di antara kita.”
Tentu saja tak hanya para elite politik yang sempat muncul dalam acara ini. Aktor Morgan Freeman pernah jadi bintang tamu dan berhitung serta mengeja dengan Big Bird; komedian Robin Williams berusaha menjelaskan arti “konflik” pada Two-headed Monster; Elmo diajari kata “gigih” oleh pesepak bola David Beckham dan dininabobokan oleh suara merdu penyanyi opera Andrea Bocelli.
Idola Gen Z Billie Eilish juga mendendangkan ballad tentang hitung-menghitung bersama boneka vampir The Count. Bahkan, Elmo pernah menegur karakter adik kakak Tyrion dan Cersei Lannister dari serial dewasa Game of Thrones karena mereka gemar bertengkar.
Mengangkat Tema Sulit dan Sensitif
Selama ini Sesame Street didapuk sukses membawakan topik-topik sulit dan sensitif sehingga jadi mudah dicerna oleh pemirsa kanak-kanak.
Salah satu tema sulit yang pernah diangkat adalah kematian. Kru studio menjelaskan kepada Big Bird tentang hal tersebut saat pemeran karakter manusia Mr. Hooper meninggal dunia pada 1983.
Sekitar lima tahun silam, tema sulit lain yang dibahas adalah soal autisme. Ini dilakukan dengan memperkenalkan Julia, karakter dengan autisme yang “melakukan hal-hal dengan cara sedikit berbeda saat main bersama teman-temannya.”
Rasisme juga diungkit dalam sebuah episode yang tayang pada 1993. Saat itu Telly Monster kebingungan kenapa ada orang kulit putih yang dimarahi gara-gara berteman dengan orang kulit hitam. Tema ini kembali muncul dua tahun silam seiring demonstrasi Black Lives Matter berlangsung di banyak tempat. Karakter ayah Elmo hadir untuk memberi pengertian tentang rasisme.
“Di penjuru negeri, masyarakat kulit berwarna, terutama komunitas kulit hitam, diperlakukan tidak adil oleh sebab tampilan, budaya, ras dan siapa diri mereka sesungguhnya,” ujarnya.
Pada 2002, karakter boneka pengidap HIV bernama Kami yang berasal dari Sesame Street produksi Afrika Selatan berbincang dengan Bill Clinton tentang pentingnya edukasi terkait HIV/AIDS.
Sesame Street pernah pula mengangkat tema tentang kemelaratan. Dalam episode yang tayang pada Oktober 2011, karakter boneka Lily bercerita pada Elmo tentang pengalamannya menjadi sukarelawan di dapur umum dan bagaimana ia mendapatkan makan dari sana. Lily merepresentasikan belasan juta anak Amerika yang tidak selalu bisa makan tiga kali sehari sekaligus keluarga yang terdampak resesi ekonomi.
Para produser juga tidak tinggal diam setelah Al-Qaeda menyerang Menara Kembar di New York. Peristiwa yang menorehkan luka batin dan trauma publik Amerika ini dihaluskan melalui metafora insiden kebakaran di dapur toko. Alkisah, Elmo—kebetulan tokoh paling muda dan cenderung rapuh—diajari untuk mengatasi trauma karena teringat pada kebakaran dan penampilan sangar pemadam kebakaran.
Mirisnya, pesan dalam cerita itu tidak disambut hangat oleh Ben Shapiro, penulis sayap kanan. Dilansir dari The Independent, dalam buku Primetime Propaganda (2011) Shapiro menjabarkan kekeliruan produser Sesame Street, Mike Dann, adalah bahwa ia lebih menonjolkan pesan tentang perdamaian alih-alih ketakutan, kegetiran, dan perang setelah serangan 9/11.
Shapiro secara umum menganggap Sesame Street adalah alat propaganda kaum kiri.
“Televisi bukan sekadar hiburan—tapi upaya untuk meyakinkan khalayak Amerika bahwa kebijakan sosial, ekonomi dan luar negeri sudah dibentuk oleh pandangan kekirian yang secara moral benar,” papar Shapiro, yang juga mengkritik pesan anti-Perang Vietnam dalam serial sitkom Happy Days (1974-1984), agenda pasifisme dalam M*A*S*H (1972-1983) dan tergerusnya nilai-nilai tradisional keluarga dalam serial Friends (1994-2004).
Berbagai gerutu dari kubu konservatif toh tidak menghentikan Sesame Street memproduksi konten yang kritis dengan fenomena sosiopolitik di dalam negeri. Dann memang mengatakan Sesame Street tidak terlalu menyasar kalangan yang “canggih atau kelas menengah” melainkan untuk dan dari perspektif kelompok termarjinalkan.
Itulah mengapa muncul berbagai episode di atas, juga episode yang bercerita tentang karakter Grover membagikan rotinya dengan orang hippie, atau bahkan dimunculkannya karakter Oscar the Grouch untuk mengangkat hal-hal tentang “konflik akibat keragaman etnis dan ras” (yang diterjemahkan oleh Shapiro sebagai inspirasi agar etnis minoritas melakukan pembangkangan sipil).
Lahir untuk Mengkritik Ketimpangan
Sikap Sesame Street yang kritis terhadap isu-isu sosial telah muncul sejak ia pertama kali tayang pada 1969. Kelahirannya tidak bisa dipisahkan dari karut-marut akibat ketimpangan sosioekonomi dan diskriminasi rasial yang menyeruak di AS sejak dekade 1960-an. Hari-hari itu tidaklah menenangkan bagi khalayak Amerika. Aksi protes terkait hak sipil (civil rights movement) menyeruak, pun dengan seruan antiperang sampai kampanye perlindungan lingkungan.
Kala itu Presiden Lyndon Johnson merilis Great Society, serangkaian program yang di antaranya bertujuan mendukung misi-misi pendidikan dan memberantas kemiskinan, terutama pada kalangan minoritas—biasanya berkulit hitam—di ghetto atau kawasan miskin dan terbengkalai. Johnson juga mengesahkan UU untuk mendukung operasional industri penyiaran publik.
Menanggapi kebijakan Johnson, produser-penulis naskah Joan Ganz Cooney, yang menggandeng psikolog Lloyd Morrisett, menawarkan ide tentang siaran edukasi anak ke stasiun televisi PBS. Mereka menyetujuinya.
Dari sanalah lahir Sesame Street yang diisi beragam karakter boneka monster warna-warni yang berinteraksi di jalanan yang desainnya terinspirasi dari kawasan Harlem di New York, daerah kumuh tempat tinggal minoritas kulit hitam dan Hispanik.
“Warna” Sesame Street tentu tak bisa dilepaskan dari orang-orang yang ada di baliknya. Mereka memang dekat dengan aktivisme, atau setidaknya peduli terhadap masalah di sekitar. Produser Cooney, misalnya, dikabarkan terlibat secara “intelektual dan spiritual” dalam gerakan hak sipil, sementara psikolog Morriset prihatin dengan ketimpangan pendidikan pada anak-anak Amerika keturunan Afrika.
Tim kreatif pun tidak main-main: pakar di bidang pendidikan, perkembangan anak, psikologi, kedokteran, ilmu sosial, sampai kesenian.
Michael Davis dalam Street Gang: The Complete History of Sesame Street (2008) menyampaikan bahwa siaran tersebut memang “diciptakan untuk anak-anak yang tidak dibacakan buku cerita [oleh orang tua] pada malam hari, tidak punya teknologi pemutar video di rumah dan tidak mendengarkan musik... untuk anak-anak yang tidak punya segala persiapan di rumah sebagaimana dimiliki anak-anak lain di situasi berbeda.” Anak-anak seperti ini terutama berasal dari keluarga kulit hitam. Mereka menghabiskan waktu lebih lama di depan TV karena orang tuanya banting tulang bekerja di luar.
Dengan latar belakang tersebut, dilansir dari Smithsonian Magazine, tidak heran perspektif orang kulit hitam begitu kuat. Sesame Street bahkan merekrut kru studio dan staf seniman berkulit hitam, juga mengundang bintang tamu kulit hitam terkenal: aktor James Earl Jones, penyanyi gospel Mahalia Jackson, dan penyanyi-aktivis Nina Simone (yang menyanyikan lagu berani berjudul Muda, Berbakat, dan Hitam dengan empat anak kulit hitam dalam episode tahun 1972).
Chester Pierce, psikiater kulit hitam yang juga profesor Harvard, ikut mendesain “kurikulum tersembunyi” tersebut. Tujuannya tidak lain untuk membangun kepercayaan diri anak-anak kulit hitam. Di mata Pierce, penting bagi Sesame Street untuk “menampilkan komunitas harmonis dan terintegrasi dalam rangka melawan marginalisasi orang Amerika keturunan Afrika yang kerap dilihat anak-anak di TV serta lingkungan sekitarnya.”
Perspektif yang kuat tersebut, serta tentu saja konsistensi, membuat Sesame Street menjadi acara yang sangat populer. Awal tahun ini survei YouGov mengungkap 98 persen responden di AS setidaknya pernah mendengar nama Sesame Street dan 67 persen di antaranya menyukainya. Sampai sekarang, Sesame Street masuk dalam sepuluh besar acara televisi paling populer sepanjang masa.
Selain di Amerika, Sesame Street juga telah disiarkan di 120 negara dan memiliki lebih dari 30 versi atau adaptasi. Adaptasi di Indonesia diberi judul Jalan Sesama, ditayangkan di Trans TV pada 2008 lalu. Isinya memperkenalkan keberagaman budaya sampai perlindungan lingkungan—dengan salah satu karakter tambahan seekor orang utan bernama Tantan. Sesame Street juga dikembangkan di Palestina, Israel, dan Yordania dengan karakter orisinal masing-masing.
Tak heran pula jika siaran ini menjadi langganan penghargaan. Atas kontribusi di ranah pendidikan anak usia prasekolah, Sesame Street telah menerima 180 Daytime Emmy Awards. Sebuah penelitian bahkan menunjukkan kecenderungan korelasi positif antara balita yang menyaksikan Sesame Street dan prestasi mereka saat SD.
Editor: Rio Apinino