Menuju konten utama

Agar Fantasi Terbelenggu di Pikiran dan Tak Berbuah Kriminal

Fantasi manusia, terutama yang bersinggungan dengan seksualitas, sering kali terlampau liar. Tanpa kontrol, perihal itu bisa berbuah tindak kriminal.

Agar Fantasi Terbelenggu di Pikiran dan Tak Berbuah Kriminal
Ilustrasi Fantasi Seksual. foto/istockphoto

tirto.id - 18 Maret 2025, seorang perempuan yang sedang menunggu proses transfusi darah untuk kerabatnya di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, justru menjadi korban pemerkosaan. Pelakunya Priguna Anugrah Pratama, dokter residen spesialis anestesi Universitas Padjadjaran. Ia membius korban terlebih dahulu menggunakan midazolam, lalu memerkosanya saat sudah tak sadarkan diri.

Tak hanya satu. Polisi menduga Priguna telah melakukan pemerkosaan dengan modus serupa terhadap dua perempuan lain. Ia kini telah ditahan dan dijerat pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Yang membuat publik lebih terkejut: polisi menyebut Priguna memiliki fantasi seksual menyimpang. Ia merasa terangsang melihat orang pingsan. “Dari hasil pemeriksaan terungkap, ia memiliki fantasi seksual suka melihat korbannya pingsan,” kata Dirreskrimum Polda Jabar, Kombes Surawan, dikutip dari Kompas.

Kasus ini menimbulkan pertanyaan serius: bagaimana fantasi seksual yang menyimpang bisa berkembang menjadi kejahatan? Dan, yang lebih penting: bisakah hal itu dicegah sebelum terjadi?

Saat Fantasi yang Menyimpang Mewujud Kekerasan

Dalam dunia psikologi, fantasi seksual bukan hal yang abnormal. Sebagian besar orang punya fantasi dan banyak di antaranya tidak pernah diwujudkan dalam kenyataan. Namun, ketika fantasi seksual melibatkan ketidakberdayaan, pemaksaan, atau kekerasan terhadap orang lain, terutama ketika diwujudkan tanpa persetujuan, itu menjadi masalah serius, baik secara etis, medis, maupun hukum.

Dalam kasus Priguna, fantasi melihat korban pingsan tergolong dalam kategori parafilia, khususnya yang disebut somnofilia. Itu merupakan dorongan seksual terhadap orang yang sedang tertidur atau tidak sadar. Kondisi tersebut tergolong sebagai parafilia langka yang belum banyak dipahami, tetapi telah didokumentasikan dalam studi klinis.

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), parafilia baru dikategorikan sebagai “gangguan” (paraphilic disorder) ketika menyebabkan penderitaan pada individu atau membahayakan orang lain. Artinya, tidak semua fantasi menyimpang otomatis tergolong gangguan. Namun, ketika seseorang seperti Priguna bertindak atas fantasinya dengan membius orang lain dan melakukan kekerasan seksual, hal itu jelas bukan lagi urusan pribadi, melainkan kejahatan.

Nalini Muhdi, psikiater dari Universitas Airlangga, menyebut gangguan parafilia bisa dipicu banyak faktor: kerusakan otak, konsumsi zat tertentu, pengalaman kekerasan seksual masa kecil, atau pola asuh penuh kekerasan.

“Pola asuh yang penuh dengan kekerasan juga bisa memunculkan permusuhan dari pikiran bawah sadarnya. Saat dewasa, mereka ingin melampiaskan dendamnya,” ujar Nalini juga kepada Kompas.

Psikolog dari Universitas Indonesia, Adityawarman Menaldi, menambahkan bahwa ketidakseimbangan hormon atau konsumsi alkohol dan narkoba juga bisa memicu perilaku menyimpang seksual. Namun, belum ada satu jawaban pasti yang bisa menjelaskan secara tuntas asal-muasal parafilia.

Mengelola Fantasi, Membangun Barrier

Langkah awal untuk mencegah fantasi menyimpang berkembang menjadi kejahatan, kata Fadjri Kirana Anggarani, S.Psi., M.A., dosen Psikologi Universitas Negeri Sebelas Maret, adalah dengan mengalihkan energi ke kegiatan lain. Banyak misalnya, mulai dari mencari hobi baru, menekuni kembali aktivitas yang dulu disukai, atau menemukan kesenangan yang tidak berbahaya secara sosial.

Selain itu, dalam relasi yang sehat, seseorang bisa membicarakan fantasi seksualnya dengan pasangan. Tentu saja ini tak mudah. Maka itu, ketika fantasi sudah mulai mengganggu atau mendorong ke arah tindakan kriminal, penting untuk berbicara dengan profesional seperti psikolog atau psikiater. Terapi perilaku, konseling pernikahan, atau bahkan farmakoterapi (terapi dengan obat), bisa membantu menjaga fantasi agar tetap berada dalam batas aman dan tidak menyakiti siapa pun.

Namun, pengelolaan bukan hanya soal individu. Dalam prosesnya, penting membangun barrier—baik secara psikologis maupun struktural.

“Rasa malu, kontrol diri, dan rasa bersalah itu penting,” ujar Fadjri kala dihubungi Tirto, Kamis (10/4).

Barrier psikologis seperti itu bisa menjadi rem alami agar seseorang tak mengubah pikiran menjadi tindakan. Barrier struktural, misalnya soal akses terhadap ruang atau alat, juga perlu diperhatikan. Dalam konteks kasus Priguna, statusnya sebagai dokter PPDS Jurusan Anestesi memberinya akses luas untuk melakukan kejahatan. Persoalan ini tentu memaksa institusi kesehatan untuk terus memperketat protokol.

Dari pengamatannya sebagai akademisi, Fadjri juga melihat bahwa akar dari banyak penyimpangan seksual sering bermula dari minimnya edukasi seksual sejak kecil. “Pendidikan seks masih jadi hal yang sangat tabu di Indonesia."

Akibatnya, banyak anak muda tumbuh tanpa pengetahuan yang cukup dan mencoba-coba sendiri. “Itu bisa jadi awal mula dari ketertarikan atau perilaku yang menyimpang,” tambahnya.

Akan tetapi, edukasi formal saja tidak cukup. Menurut Fadjri, peran orang tua tetap yang paling penting. Menjalin hubungan sehat yang bertimbal balik dengan anak sangat penting, misalnya dengan saling berpikiran terbuka, bercerita tentang kondisinya, serta bertanya—orang tua menjawab tanpa menghakimi.

“Situasi ini bisa membentuk barrier psikologis sejak dini dan mengajarkan anak untuk menghormati tubuh sendiri maupun tubuh orang lain,” demikian Fadjri menggarisbawahi pentingnya hubungan sehat di keluarga.

Etika Profesi dan Kewaspadaan Institusional

Profesi seperti dokter menuntut tanggung jawab moral dan hukum yang tinggi. Seorang dokter anestesi memegang kendali penuh atas kesadaran orang lain (pasien). Ketika kuasa medis disalahgunakan untuk memenuhi fantasi seksual, kejahatan yang terjadi menjadi lebih keji. Hal itu dikarenakan kejahatannya dilakukan dengan melibatkan relasi kuasa.

Menurut Michel Foucault dalamDiscipline and Punish: The Birth of the Prison(1975), relasi kuasa tidak hanya terpusat pada negara, tetapi juga menjangkit kehidupan sehari-hari. Salah satu contohnya adalah relasi antara dokter dan pasien atau keluarganya, sebagaimana terjadi dalam kasus Priguna.

Lebih spesifik lagi, penyalahgunaan kuasa yang dilakukan oleh Priguna disebut oleh Foucault sebagai anatomo-politics of human body, yakni pengendalian tubuh individu melalui teknik-teknik disiplin ilmu. Dalam buku The History of Sexyality Vol. 1 (1976: 139), Foucault menjelaskan bahwa hal itu termasuk sebagai relasi kuasa yang banyak terjadi dalam kehidupan modern.

Masalahnya, belum semua institusi punya sistem respons cepat dan transparan terhadap kasus penyalahgunaan wewenang dan kuasa, terutama yang bermuara pada tindak kejahatan seperti itu. Banyak kasus pelecehan atau kekerasan seksual di dunia kampus dan rumah sakit berakhir dengan mediasi diam-diam, bukan proses hukum atau etik yang jelas. Padahal, pembiaran seperti ini justru memungkinkan pelaku mengulangi perbuatannya serta memunculkan penjahat-penjahat baru.

Kasus Priguna harus menjadi titik refleksi. Bukan untuk menggeneralisasi atau mencurigai semua orang dengan preferensi seksual berbeda, melainkan untuk melihat bahwa: tanpa kontrol diri terhadap fantasi seksual, dan tanpa sistem institusional yang peduli pada etika dan kesehatan mental, fantasi yang mulanya hanya di kepala sangat mungkin mewujud tindak kejahatan.

Sebagaimana sistem kesehatan punya mekanisme skrining dini terhadap penyakit kronis, mestinya sistem pendidikan dan profesi juga bisa membangun mekanisme deteksi dini terhadap potensi bahaya perilaku menyimpang.

Mencegah bukan berarti mengintervensi urusan pribadi seseorang, melainkan memastikan bahwa siapa pun yang punya kuasa atas tubuh dan kehidupan orang lain—seperti dokter, guru, atau pemimpin—punya akuntabilitas, integritas, dan ruang, untuk memahami dirinya sendiri.

Jika tidak, kasus seperti ini bukan yang terakhir.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Mild report
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin