tirto.id - Kata "kafir" tak hanya kerap disematkan kepada non-Islam, tapi juga mereka yang beragama Islam tapi punya pemahaman yang berbeda dari mayoritas. Tahu banyak ruginya, Nahdlatul Ulama (NU), lewat Musyawarah Nasional, kemudian menyarankan kata "kafir" tak lagi digunakan.
Menurut Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, Abdul Muqsith Ghozali, para kiai NU bersepakat untuk mengganti "kafir" dengan istilah muwathinun atau warga negara.
Menurut Muqsith, alasan utama seruan ini adalah sampai sekarang kata kafir punya konotasi kasar. "Kata kafir menyakiti sebagian kelompok non-Muslim," ujar Muqsith di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Kamis (28/2/2019).
Kesepakatan menggunakan muwathinun, kata Muqsith, digunakan sebagai jalan tengah lantaran setiap pemeluk agama punya status setara sebagai warga negara.
Usulan menghapus kata 'kafir", menurut Muqsith, dilatarbelakangi fenomena sosial zaman kiwari yang terjadi di Indonesia. Muqsith menyebut, tak sedikit kelompok yang mempersoalkan status agama seseorang meski ia sama-sama warga negara Indonesia. Akibatnya yang terjadi adalah diskriminasi, dan bahkan persekusi.
"[Kelompok tersebut] memberikan atribusi teologis yang diskriminatif kepada sekelompok warga negara lain. Dengan begitu [menggunakan istilah muwathinun], maka status mereka setara dengan warga negara yang lain," ucap dia.
Apa yang disampaikan Muqsith bukan isapan jempol. Banyak kasus pelabelan kafir yang bikin masalah.
Persekusi terhadap jemaat Ahmadiyah di Parung, Bogor, pembakaran klenteng di Tanjung Balai, pemotongan nisan salib di Yogyakarta, hingga penolakan menyalatkan jenazah di DKI Jakarta adalah beberapa kasus terkini yang dilatari karena kebencian terhadap si "kafir".
Diapresiasi
Apa yang dilakukan para kiai NU ini diapresiasi Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Gomar Gultom. Ia sepakat dengan keputusan itu. Menurut dia, setiap warga negara memang harus mendapat hak yang sama tanpa melihat agama apa yang mereka anut.
"Sistem perundang-undangan kita tidak mengenal soal banyak sedikitnya umat. Nomenklatur kita adalah warga negara," ujarnya kepada reporter Tirto, Jumat (1/3/2019).
Merujuk pada konstitusi, Gultom menyebut, negara punya kewajiban melindungi hak warganya dan memfasilitasi hak konstitusional mereka.
Ia pun menyebut, munculnya pabrikasi label kafir ini tak lepas dari dorongan fanatisme, padahal fanatisme ini seharusnya digunakan untuk mempertahankan dan memelihara keimanan umat terhadap agama yang mereka peluk.
"[Bukan] dibarengi dengan penegasian, apalagi pelecehan terhadap iman orang lain yang berbeda," ujarnya.
Gultom tak memungkiri, penganut Kristen pernah pula ada dalam periode kerap memandang umat non-Kristen sebagai kafir, sehingga kemudian memicu kristenisasi. Namun, Gultom menyebut, itu sudah ditinggalkan seiring dengan lahirnya perspektif yang lebih humanis dalam menafsirkan Alkitab.
"Sekalipun dalam Alkitab ada istilah kafir, untuk membedakan umat Kristen dan non-Kristen, ungkapan itu tidak dalam rangka melecehkan, apalagi menegasikan keberadaan mereka [umat agama lain]," kata Gultom.
Apresiasi juga disampaikan Budi Tan, pengurus Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi). Budi menyebut, Buddha tak mengenal istilah kafir lantaran Buddha menganggap diri sendiri lebih baik dari orang lain adalah kekeliruan.
"Ajaran Buddha tidak boleh mengatakan diri lebih baik. Umat diharapkan belajar dan melatih setiap hari hal-hal yang baik yang dilakukan orang lain," ujarnya kepada reporter Tirto.
Ia juga mengungkapkan betapa pentingnya manusia melatih pikirannya agar mampu menjalankan kehidupan dengan baik dan tidak menyakiti orang lain. Dan saran NU agar tak lagi menggunakan kata "kafir" bisa membantu menjalani kehidupan yang seperti itu.
"Sehingga memperoleh karma baik. Untuk mencapai penerangan sempurna," pungkasnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Mufti Sholih