Menuju konten utama

Sepertiga Anak di Jakarta Hanya Tamat SMP, Baik atau Buruk?

Sepertiga anak di Jakarta hanya mampu sekolah sampai jenjang SMP. Mereka tak mampu melanjutkan ke sekolah atas karena berbagai faktor. Sedemikian burukkah angka tersebut? Nyatanya, secara nasional, angka putus sekolah di DKI Jakarta masih di atas rata-rata.

Sepertiga Anak di Jakarta Hanya Tamat SMP, Baik atau Buruk?
Ilustrasi pelajar SMP. Antara foto/muhammad iqbal

tirto.id - Tiga anak perempuan sekitar umur 15-an tahun tertawa cekikikan melihat seorang teman laki-laki sebayanya lewat menjunjung karung plastik dan masih menggunakan sendal jepit yang belepotan lumpur.

“Mandi dulu, sana! Nanti yang ngajar kabur kebauan,” teriak salah seorang anak perempuan.

Yang diteriaki hanya nyengir kecut, mengelap kaki seadanya dengan tangan, meletakkan karung plastik yang berisi botol di tepian saung lalu bergegas naik dan mengambil angklung miliknya. Saat itu jam menunjukkan pukul 13.00 WIB dan sebagian anak-anak itu baru pulang dari kerja paruh waktunya. Ada yang membantu orang tuanya dengan berjualan asongan, menyemir, atau sekadar memulung barang bekas. Pekerjaan si anak laki-laki, termasuk yang terakhir, memulung botol di sekitaran Sanggabuana dan Cinnere.

Sementara ia bersiap, anak-anak sepantarannya telah berkumpul di sebuah saung dekat Taman Kota Sanggabuana dan memulai latihan angklung untuk pentas pada bulan depan. Waktu-waktu yang seharusnya dihabiskan untuk menjajal bangku sekolah, mereka bagi antara bekerja paruh waktu dan main musik. Setidaknya, main musik dan pentas sana sini dapat menambah recehan untuk tambahan membeli lauk. Walau sangat ingin bisa memakai seragam putih abu-abu seperti yang lain, agaknya keinginan itu harus dikubur dalam-dalam.

“Sekolah itu jamnya seharian, nanti kita nggak dapet uang untuk makan.”

Mereka adalah gambaran dari sekian banyak anak-anak di Jakarta yang tak bisa menuntaskan pendidikan wajib hingga ke bangku menengah ke atas karena berbagai alasan. Membantu orang tua bekerja yang paling sering disebut sebagai musababnya, selain memang tak ada biaya untuk itu.

Pemprov DKI sebenarnya sudah menginisiasi Kartu Jakarta Pintar (KJP) sejak 4 tahun lalu. Namun, program ini ternyata tetap tak bisa menjangkau seluruh anak-anak di Jakarta. Celah inilah yang dikritik oleh mantan Menteri Pendidikan sekaligus calon Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Anies, mempertanyakan program KJP yang dilaksanakan oleh rivalnya yang juga gubernur petahana, Ahok hanya menyentuh dua per tiga anak di Jakarta untuk melanjutkan ke pendidikan menengah atas.

“Satu per tiganya tidak lanjut, padahal ini di Ibukota,” kritik Anies.

Sebelumnya, ia menyinggung Angka Partisipasi Murni (APM) pendidikan anak usia 16-18 tahun di Jakarta yang hanya berjumlah 65 persen. APM, merupakan persentase anak pada usia sekolah tertentu yang sedang bersekolah pada jenjang pendidikan sesuai dengan usianya terhadap jumlah seluruh anak pada kelompok usia sekolah yang bersangkutan. APM berfungsi mengukur proporsi anak yang bersekolah tepat waktu.

Data Kementerian Pendidikan memang menunjukkan total APM di Jakarta tepatnya hanya 69,71 persen. Rinciannya, sebanyak 24,03 persen berada di SMA, 38,17 persen di SMK , dan sebesar 4,49 persen di MA. Jika berdasar data Kementerian Pendidikan, jumlah penduduk Jakarta pada periode 2015/2016 di usia 16-18 tahun adalah 423.900 jiwa, artinya hanya sekitar 287.870 anak yang meneruskan pendidikan ke jenjang atas.

Sebanyak 136.029 anak lainnya memang tidak jelas nasibnya. Mereka sebagian menjadi pekerja informal ataupun formal, dan sebagian lagi menjadi penghuni lembaga pemasyarakat. Sumber Direktorat Jendral Permasyarakatan per Oktober 2016 menyatakan sekitar 34 anak yang menghuni lembaga permasyarakatan. Sisanya menjadi bagian dari 1,55 juta pekerja informal yang terdata oleh BPS DKI Jakarta.

Menanggapi kritik halus dari rivalnya, Ahok menyatakan program KJP yang saat ini berjalan dirasa sudah cukup. Penambahan dana tunai dan penggabungan KIP ke KJP akan membuat warga menerima bantuan yang sangat besar. Ia menilai, lebih baik KJP diberikan secukupnya sehingga sisa dananya dapat dialokasikan ke tempat lain.

“Kalau sudah cukup jangan serakah, lebih baik dorong KIP karena di jumlah anak putus sekolah di Jakarta masih 40 persen, kita hanya 0,4 persen,” katanya.

Infografik Nasib Siswa di jakarta

Angka Putus Sekolah Nasional

Data APM pendidikan menengah di Jakarta memang masih menyisakan sekitar 30 persen anak putus sekolah. Meski demikian, jika dilihat dari trennya sudah menunjukkan perbaikan. Data Kemendikbud menunjukkan APM di Jakarta bergerak positif dari tahun ke tahun, di mana pada periode 2013/2014 APM total menunjukkan angka 63,53 persen, lalu naik di periode berikutnya 2014/2015 sebesar 64,32 persen.

Fakta lainnya, target pemerintah APM untuk partisipasi pendidikan menengah atas adalah 58,03 persen. Secara nasional, rata-rata APM pendidikan Indonesia yakni 59,71 persen, sehingga Jakarta sudah lolos target dan rata-rata nasional jika didasarkan indikator tersebut.

Sementara tahun 2016 ini masih menasbihkan 10 provinsi lain yang berada di bawah target APM pada jenjang pendidikan menengah atas. Berdasar Indikator Kesejahteraan Rakyat 2016 yang dikeluarkan BPS, Papua menjadi daerah yang paling jauh memenuhi target, APM-nya pada pendidikan menengah atas hanya sebesar 43,22 persen. Disusul Kalimantan Barat dengan APM 50,32 persen, dan berturut-turut adalah Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, dan Gorontalo. Lalu Jawa Barat, Sulawesi Barat, Bangka Belitung, dan Banten.

Berdasarkan data APM, hanya sekitar 60 persen anak-anak di Indonesia yang bisa melanjutkan ke pendidikan jenjang atas. Di Jakarta, angkanya memang sudah lebih baik dari rata-rata secara nasional. Namun, tetap tak dipungkiri masih terdapat anak-anak usia sekolah menegah atas yang harus rela tak merasakan bagaimana menikmati masa putih abu-abu. Inilah pekerjaan rumah yang seharusnya menjadi perhatian tak hanya para calon gubernur, tetapi juga menteri pendidikan — sebuah jabatan yang pernah dipangku Anies Baswedan hampir 2 tahun lamanya.

Baca juga artikel terkait SEKOLAH atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti