tirto.id - Sebelum dicekal masuk ke Indonesia, indonesianis Benedict Anderson punya kenangan tentang mobil Volkswagen (VW) milik Mayor Jenderal Siswondo Parman yang hendak diwawancarainya. Parman saat itu adalah Asisten Intelijen Menteri Panglima Angkatan Darat, sebelum akhirnya jadi korban G30S 1965.
“Ia tiba mengendarai VW tua berkaca gelap dan mengantar saya ke tempat yang nantinya saya tahu adalah rumah persembunyian intelijen di bilangan Tanah Abang,” ingat Ben dalam memoarnya, Hidup di Luar Tempurung (2016: 75).
Ben yang bule ini sempat dikira agen CIA anti-komunis, karena itu Parman berani mengklaim di hadapannya. “[Parman] sesumbar punya mata-mata hebat dalam tubuh PKI sehingga dalam hitungan jam ia bisa tahu keputusan-keputusan politbiro [PKI].”
Di negeri asalnya, Jerman, mobil Volkswagen sebenarnya diperuntukkan untuk rakyat banyak pada zaman Adolf Hitler. Istilah "volkswagen" memang berarti "mobil rakyat". Perusahaan mobil ini didirikan pada 28 Mei 1937, tepat hari ini 82 tahun lalu, oleh Front Buruh Jerman, organisasi buruh Partai Nazi.
Sementara itu di Indonesia, hanya pejabat dan orang kaya yang bisa punya mobil, termasuk VW, dan Parman bukan satu-satunya pengendara mobil itu. Orang nomor satu di Indonesia pada 1965, Presiden Sukarno, juga pengguna mobil VW.
Dari Apel ke Rumah Heldy hingga Lari ke Halim
Dengan mobil VW, seperti dicatat Ully Hermono dan Peter Kasenda dalam Heldy: Cinta Terakhir Bung Karno (2011), Sukarno pernah bertandang ke rumah Heldy Djafar, yang kemudian jadi salah satu istrinya. Mobil VW memang tidak terkesan seperti mobil dinas resmi kebanyakan pejabat, sehingga cocok untuk perjalanan rahasia. Dengan VW kodok, Sukarno pernah diam-diam pergi ke Kawasan Tanjung Priok (hlm. 65).
Di hari yang genting sesudah terbunuhnya Mayor Jenderal Suwondo Parman, Letnan Jenderal Ahmad Yani, dan beberapa jenderal lainnya, Sukarno juga naik mobil ini.
Pada malam 30 September 1965 Sukarno datang ke rumah Ratna Sari Dewi di Wisma Yaso (kini Museum Satria Mandala) di selatan Jakarta. Paginya, 1 Oktober 1965, dia bergerak ke rumah istrinya yang lain. Sukarno kemudian pergi secara diam-diam ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah.
“Mobil Bapak yang semula Chrysler hitam bernomor B 4747 diganti dengan mobil VW bernomor B 75177 berwarna biru laut. Sopirnya tetap sopir kepercayaan,” aku Hariyatie, salah satu istri Sukarno, dalam Hariyatie Soekarno: The Hidden Story (2001: 42).
Dalam perjalanan rahasia itu, supirnya pun bukan prajurit biasa, tapi seorang perwira menengah bernama Letnan Kolonel Soeparto.
“Sopir mobil Bung Karno dalam perjalanan incognito (rahasia) dulunya Anwar Ilyas, kemudian Soeparto yang juga menjabat kepala kendaraan Istana dengan wakil, Soenarko dari anggota DKP,” sebut Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian tentang Bung Karno, 1945-1967 (1999: 489).
Situasi nasional setelah 30 September 1965 sangatlah kacau dan tak menentu. Jangankan nasib rakyat yang tak pernah dikawal, nasib kepala negara yang dikawal ratusan prajurit pilihan saja tidak jelas.
“Agar tidak menyolok, maka perjalanan Presiden Sukarno ke Halim menggunakan mobil Volkswagen (VW) Beetle, yang di Indonesia populer dengan sebutan VW Kodok,” tulis James Luhulima dalam Kisah Istimewa Bung Karno (2010: 234).
VW Kodok itu tidak sendiri, ada jeep yang mengawal di belakangnya. Sementara Chrysler ditinggal di rumah Hariyatie.
Sekitar pukul 08.30 pada 1 Oktober, rombongan presiden dengan VW Kodok dan jeep itu memasuki halaman depan Markas Komando Operasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah. Setelah Kolonel Maulwi Saelan dan AKBP Mangil turun dari jeep, maka Sukarno pun turun dari mobil.
Kala itu, seperti dicatat Benedicta Soerodjo dan J.M.V. Soeparno dalam biografi Omar Dani, Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku (2001), “sesuai standard operating procedure (SOP) Resimen (pengawal presiden) Tjakrabirawa, salah satu cara untuk menyelamatkan kepala negara jika terjadi sesuatu dan situasi keamanan sangat mendesak adalah membawa ke Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusumah” (hlm. 69).
Keluar Istana sebagai Rakyat dengan "Mobil Rakyat"
Di Halim, Sukarno berada di rumah Komodor Soesanto, Direktur Operasi AURI. Sukarno dianggap aman di tempat yang kemudian membuatnya dianggap bersalah dalam tragedi 1965. Dia pergi dari Halim sekitar pukul 23.00 ke arah Bogor dengan mobil lainnya.
Di malam itu pula D.N. Aidit diterbangkan ke Solo dengan pesawat AURI—sesuatu yang lalu menjadi bahan untuk memojokkan AURI. Tentunya ini diperparah dengan lokasi penyekapan dan pembunuhan para pimpinan Angkatan Darat yang berada di Lubang Buaya, tidak jauh dari pangkalan udara Halim.
Para pejabat yang berada di Halim pada 1 Oktober itu kebanyakan bernasib malang di masa Orde Baru. Tak terkecuali Sukarno.
Di hari-hari terakhirnya di istana negara, VW kodok lagi-lagi jadi saksi kemalangan Sukarno, yang dilengserkan dan dipojokkan setelah 1965. “Bapak meninggalkan Istana Merdeka Jakarta sebelum tanggal 16 Agustus 1967,” aku AIP Sogol Djauhari seperti dikutip dalam buku Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66 (hlm. 266-267).
Kala itu Sukarno memakai celana piyama warna krem serta kaus oblong cap Lombok. Sementara bajunya disampirkan ke pundak dan di kakinya memakai sandal Bata yang sudah usang. Dalam kondisi tersebut, Sukarno keluar dari istana dan menuju mobil.
“Bung Karno berjalan di depan saya. Sesampainya di mobil merek VW model kodok milik pribadinya, saya bukakan pintu dan duduk di belakang,” aku Sogol.
Mobil itu masih dikemudikan Soeparto. Setelah pintu untuk presiden tertutup, Sogol masuk mobil VW kodok itu dan duduk di samping supir. Menurut Sogol, setelah itu Sukarno tak pernah menginjak istana lagi hingga dirinya meninggal dunia.
Kebesarannya sebagai negarawan tak dia tampilkan ketika keluar dari istana. Sogol dan Soeparto menjadi saksi bahwa Sukarno keluar istana dengan pakaian ala rakyat yang bersahaja dan dengan mobil yang memang dirancang sebagai mobil rakyat.
Editor: Ivan Aulia Ahsan