Menuju konten utama

Sejarah Musik di GOR Saparua Akan Jadi Film Dokumenter

Pada 1963, Aneka Nada manggung bersama band asal Jakarta, Eka Sapta. Itu konser pertama di GOR Saparua.

Sejarah Musik di GOR Saparua Akan Jadi Film Dokumenter
Gelora Magnumentary. FOTO/Gelora Magnumentary

tirto.id - Suatu hari di pertengahan dekade 1990, Arian Arifin mengajak seorang kawannya, promotor musik asal Inggris, untuk menonton konser di GOR Saparua, Bandung. Kawannya, yang tumbuh besar di negara kiblat musik, mungkin mengira akan melihat konser dengan ratusan penonton saja. Hal biasa di kampung halamannya.

Sampai di Saparua, dia terbelalak. Ada ribuan orang di dalam gedung, dan ribuan lebih banyak lagi berkumpul di luar.

"Waktu itu kan, kalau ada konser, penontonnya bisa 4.000 sampai 5.000. Di luar lebih banyak lagi yang gak bisa masuk," kata Arian, yang dikenal dengan nama panggung Arian 13 dan populer sebagai vokalis band rock oktan tinggi, Seringai. "Teman gue itu kaget ngeliat sebegitu banyak orang, dan dia bilang: ini sih udah mirip seperti festival di negaraku."

Kancah musik Bandung sejak era 1970 hingga 1990 memang banyak berpusat di satu tempat: GOR Saparua. Bahkan, tapal sejarah GOR Saparua bisa ditarik ke belakang, ketika pada 1963 Sam Bimbo bersama Aneka Nada --yang dibentuknya bersama Atjil Bimbo dan Guruh Soekarnoputra-- manggung bersama band asal Jakarta, Eka Sapta.

"Itu adalah konser pertama di Saparua," kenang Sam.

Rocker Benny Soebardja, yang jadi ujung tombak grup rock Bandung, Giant Step, menyebut Saparua ini sebagai kawah candradimuka band-band tenar. Pada Kompas (8 Maret 2015), Benny menyebut, "...sebuah band bisa disebut hebat kalau sukses pentas di sana."

Puncak popularitas Saparua terjadi di era 1990-an. Saat itu kancah musik Bandung memang sedang memasuki masa paling bergairah. Banyak band-band lahir dan kelak jadi besar. Mulai dari Koil, Pure Saturday, Puppen, hingga Burgerkill. Hampir semua band, lintas genre pula, pernah manggung di Saparua.

Adib Hidayat, jurnalis musik, mengingat gigs pertama yang dia tonton di Saparua adalah Koil. "Saya yang saat itu baru datang dari daerah, takjub sekali melihat konser di Saparua itu. Penontonnya banyak banget. Terus Otong, vokalis Koil, lempar gitar ke penonton," ujar Adib.

Sebagai tempat dengan rekam sejarah yang panjang, sayang sekali nihil dokumenter dan pengarsipan tentang tempat ini. Hal ini yang mendorong rumah produksi Cerahati ingin membuat film dokumenter tentang Saparua. Awalnya adalah proyek Membakar Batas yang sudah dimulai Cerahati sejak 2011, dan ingin membuat dokumenter kejadian-kejadian penting dalam sejarah musik rock dan metal di Indonesia.

Seiring waktu, ide untuk membuat film dokumenter tentang Saparua pun terus bergulir. Gayung bersambut, Rich Musik, sebuah platform digital musik, bersedia bekerjasama dan turut serta jadi penggagas. Maka hadirlah proyek film dokumenter yang diberi judul Gelora Magnumentary: Saparua.

"Proyek ini inisiatif dari pihak Cerahati, Arian13 dan Roni Pramaditia. Kami sama-sama berasal dari Bandung, dan turut merasakan pertumbuhan budaya di Bandung era 90-an saat gerakan independen mulai membesar di sini. Dan kami menyadari ternyata selama ini belum banyak dokumentasi dari momen sejarah tersebut," ujar Edy Khemod, Creative Director Cerahati.

Menurut Khemod, yang juga dikenal sebagai drummer Seringai, dokumenter ini penting, selain sebagai arsip, juga untuk menjadi pelajaran bagi generasi ke depan. "Bahwa pergerakan independen saat itu dimulai tidak berdasar pertimbangan ekonomi, tapi passion."

Alvin Yunata, gitaris Teenage Death Star yang juga lama berkecimpung di dunia jurnalisme dan pengarsipan musik, duduk sebagai sutradara. Film ini menghadirkan banyak pelaku pergerakan musik dari Bandung. Mulai dari Sam Bimbo, Arian13, Dadan Ketu (manajer Burgerkill), Eben (gitaris Burgerkill), hingga Suar (mantan vokalis Pure Saturday).

GOR Saparua bisa dibilang menghela sisa napas jelang milenium baru. Ada banyak faktor yang membuat tempat di tengah kota Bandung ini tak lagi jadi jujugan utama pembuat konser. Menurut Arian, harga sewa yang terus naik membuat banyak organizer kecil mencari tempat alternatif. Perlahan, tempat-tempat alternatif ini yang kemudian menggantikan semua keramaian di Saparua.

Sejak awal 2000, GOR Saparua resmi ditutup untuk konser musik. Meski begitu, banyak orang tak ingin sejarah tempat ini terkubur begitu saja. Gelora Magnumentary: Saparua adalah sebuah upaya melawan lupa, mengingat sejarah, serta diharapkan bisa menjadi pemantik bagi bibit-bibit baru musik rock dan metal untuk terus bergerak.

Baca juga artikel terkait GOR SAPARUA atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nuran Wibisono