tirto.id - Salah satu organ paramiliter yang didirikan ketika Jepang menduduki Indonesia adalah Pembela Tanah Air (PETA). Tentara sukarela ini dibentuk setelah dikeluarkannya peraturan Osamu Seirei No. 44 pada 3 Oktober 1943 oleh Gunseikan, pemimpin tertinggi pemerintahan militer Jepang yang berkedudukan di Jakarta.
PETA berisikan para pemuda Indonesia yang mendapatkan pendidikan militer modern. PETA dibentuk untuk membela tanah air dari serangan Sekutu yang juga merupakan lawan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
PETA dalam perkembangannya setelah kemerdekaan nantinya akan menjadi salah satu pilar utama dalam pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). TKR merupakan cikal bakal dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Latar Belakang PETA
Setelah berhasil menyerang pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawai pada tanggal 8 Desember 1941, Jepang sukses menguasai wilayah-wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang waktu itu dijajah Belanda.
Jepang mendarat di Indonesia pada 11 Januari 1942 melalui Tarakan, pulau di timur laut Kalimantan. Sehari setelah pendaratannya, Jepang dengan ribuan pasukannya yang berada di bawah komando Shinzuo Sakaguchi berhasil merebut Tarakan dan Balikpapan usai memukul mundur pasukan Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL).
Pasukan Jepang kemudian terus melakukan penekanan kepada Belanda di Sumatera dan Jawa. Akhirnya tentara dan pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 di Kalijati, Subang, Jawa Barat.
Perjanjian ini diwakili oleh Letnan Jendral H. Ter Poorten (Belanda) dan Letnan Jendral Hitoshi Imamura (Jepang). Perjanjian ini menandai berakhirnya kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia.
Dilansir dari tulisan Suhartono dalam Sejarah Pergerakan Nasional: 1908-1945 (2001), Perundingan di Kalijati pada 8 Maret 1942 menyepakati bahwa angkatan perang Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang.
Alasan Pembentukan PETA
Pada saat Jepang menduduki Indonesia, Perang Asia Timur Raya masih terus berlangsung. Keadaan ini tentunya memaksa Jepang untuk mencari bala bantuan dalam berperang terutama melawan Sekutu. Kondisi ini kemudian menyasar diperlukannya penduduk Indonesia, terutama para pemuda sebagai pasukan tambahan Jepang.
Dikutip dari Kepemimpinan ABRI dalam Perspektif Sejarah karya Suyatno Kartodirdjo (1997), mobilitas penduduk oleh pemerintah Jepang mempercepat proses penyerapan dan pengetahuan tentang kemiliteran yang dimiliki Jepang.
Alasan pembentukan PETA bagi kedua belah pihak secara mendasar ini berbeda. Indonesia telah mendambakan adanya pelatihan militer bagi penduduknya sejak zaman penjajahan Belanda. Berbeda dengan Jepang, Belanda merasa takut apabila rakyat Indonesia dilatih militer justru akan membuat keberadaannya sewaktu-waktu dapat dihancurkan.
Jepang membentuk PETA didasarkan dengan adanya kebutuhan akan tambahan pasukan terlatih dalam bidang militer sebagai tindakan antisipasi untuk menghadapi Sekutu apabila menyerang wilayah Indonesia.
Terbentuknya PETA
Pada saat menjelang pelatihan kemiliteran Jepang kedua, keluarlah perintah surat pembentukan PETA (Kyodo Boei Giyugun). Dikutip dari modulStop, Kami Tak Mau Dijajah Lagi oleh Im Sodiawati (2018:9), Letjen Kamakici Harada memutuskan agar pembentukan PETA bukan inisiatif pemerintah Jepang, melainkan inisiatif bangsa Indonesia.
Pemerintah tentara Jepang kemudian mengutus Gatot Mangunpraja untuk menulis sebuah surat yang berisikan permohonan pembentukan tentara PETA. Surat ini nantinya akan dikirim ke Gunseikan, pemimpin tertinggi pemerintahan militer Jepang yang berkedudukan di Jakarta pada tanggal 7 September 1943.
Dilansir dari buku Api Sejarah Jilid II oleh Ahmad Mansyur Suryanegara (2006), bahwa keinginan untuk membentuk PETA dari pihak Indonesia kemudian dikuatkan dengan surat dari Gatot Mangkoepradja kepada Gunseikan.
Surat Gatot Mangkoepradja berisikan permintaan supaya Jepang memberikan perintah untuk membentuk barisan pemuda Indonesia yang berguna dalam membela tanah air dari ancaman Sekutu selama terjadinya Perang Asia Timur Raya.
“... bangsa Indonesia bukan saja tinggal di belakang dan memperkuat garis belakang, akan tetapi juga turut terjun ke medan perang, ikut melawan dan meruntuhkan kekuasaan Inggris, Amerika, dan sekutunya,” tulisnya dikutip dari Surat Gatot Mangkoepradja Dipersembahkan ke Hadapan Padoeka Jang Moelja Tuan Gunseikan di Djakarta (1943).
Menurut Nugroho Notosusanto dalam Tentara PETA pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia (1979), bahwa prakarsa untuk membentuk pasukan tambahan yang terdiri dari orang-orang lokal memang harus datang dari seorang pemimpin Indonesia.
Surat permohonan yang telah dikirim oleh Gatot Mangunpraja kemudian dikabulkan oleh Gunseikan melalui dikeluarkannya peraturan Osamu Seirei No. 44.
Dikutip dari laman Universitas Malahayati, PETA sendiri dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 di Blitar yang diumumkan oleh Panglima Tentara ke-16, Letnan Jendral Kumakivhi Harada.
Tujuan Pembentukan PETA
Tujuan pembentukan PETA dapat dilihat melalui dua sudut pandang. Pembentukan PETA bagi pemerintah Jepang tentu membawa angin segar, yakni adanya bantuan pasukan dari rakyat Indonesia dalam Perang Asia Timur Raya.
Kemudian, PETA sesuai dengan namanya adalah pasukan yang memiliki tugas untuk membela tanah air dari ancaman pasukan Sekutu.
Sementara bagi bangsa Indonesia, terbentuknya PETA adalah suatu usaha dalam membangkitkan semangat juang para pemuda supaya dapat terlatih dalam bidang militer.
Selain itu, PETA juga dipersiapkan sebagai bentuk kekuatan militer apabila Indonesia sewaktu-waktu memproklamirkan kemerdekaan.
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Dipna Videlia Putsanra