Menuju konten utama

Sebelum ke RDF, Tata Kelola Sampah Mesti Diintensifkan dari Hulu

Kendati canggih, operasional RDF Rorotan harus diselaraskan dengan karakter sampah yang diproduksi oleh warga Jakarta.

Sebelum ke RDF, Tata Kelola Sampah Mesti Diintensifkan dari Hulu
Sejumlah pekerja mengoperasikan mesin pengolahan sampah di Refuse Derived Fuel (RDF) Plant Rorotan, Jakarta, Selasa (25/2/2025). ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/Spt.

tirto.id - Seiring dengan dimulainya uji coba Refuse Derived Fuel (RDF) Plant Rorotan di Jakarta Utara sejak awal tahun ini, polemik terkait operasionalnya pun bermunculan. Paling anyar, warga sekitar melaporkan adanya bau tak sedap yang ditimbulkan RDF Plant Rorotan.

Ratusan warga Perumahan Jakarta Garden City (JGC), Jakarta Timur, bahkan memilih mengungsi usai puluhan anak mengalami gangguan kesehatan yang diduga dipicu polusi udara dari uji coba operasional pabrik pengolahan sampah itu.

Padahal, teknologi ini dibangun untuk mengurangi ketergantungan terhadap Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang sekaligus mendorong sistem pengelolaan sampah yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Dengan klaim itu, RDF Plant Rorotan semestinya menjadi solusi, alih-alih memunculkan masalah-masalah baru. Apalagi, megaproyek pengelolaan sampah ini menghabiskan dana yang tak tanggung-tanggung, yaitu Rp1,28 triliun, yang bersumber dari APBD DKI Jakarta 2024.

Menurut Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Yuke Yurike, hasil penelusuran sementara menunjukkan bahwa sumber bau tak sedap yang sempat dikeluhkan warga kemungkinan besar bukan berasal dari proses pengolahan di dalam RDF Plant. Alih-alih, bau tersebut diduga timbul dari armada pengangkut sampah yang masih menggunakan konvektor lama.

"Sebagian kendaraan pengangkut kondisinya belum prima. Saat hujan dan sampah tercampur air, terjadi kebocoran yang menimbulkan bau di sepanjang jalur pengangkutan," ujarnya di Jakarta, dilansir Antara, Selasa (11/11/2025).

Perumahan terdampak pencemaran akibat RDF Rorotan

Warga menunjukkan hasil pemeriksaan kesehatan anaknya yang terdampak polusi udara yang diduga berasal dari fasilitas pengolahan sampah Refuse Derived Fuel (RDF) Rorotan di perumahan Shinano di kawasan JGC, Cakung, Jakarta Timur, Selasa (4/11/2025).ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/YU

Yuke pun mendorong Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jakarta untuk mengevaluasi kembali operasional RDF Plant Rorotan. Dia menekankan bahwa RDF Plant Rorotan bukan hanya soal teknologi pengolahan sampah, tetapi juga tentang edukasi publik.

Menurut dia, evaluasi menyeluruh terhadap operasional RDF Plant Rorotan penting untuk memastikan fasilitas pengolahan sampah modern tersebut berjalan optimal tanpa menimbulkan dampak lingkungan bagi warga sekitar.

Buntut berbagai keluhan masyarakat ini, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, memutuskan untuk menurunkan kembali kapasitas sampah yang diolah RDF Plant Rorotan. Dari semula 2.000-2.500 ton sampah per hari, menjadi 1.000 ton per hari.

"Masalahnya apa? Yang pertama, sampahnya sendiri kena hujan sehingga prosesnya menjadi sempat ada bakteri. Yang kedua, yang paling penting ini, ketika transportasi menggunakan truk compacted, yang compact itu, yang digunakan sebagian truknya itu truk lama sehingga air lindinya jatuh-jatuh, menimbulkan bau, dan sebagainya," kata Pramono di Balai Kota, Jakarta Pusat, dilaporkan CNN Indonesia Kamis (6/11/2025).

Pelibatan Warga Menjadi Penting

RDF Plant Rorotan merupakan fasilitas untuk mengolah sampah menjadi energi. Proyek bikinan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) ini memiliki kapasitas pengolahan sampah hingga mencapai 2.500 ton per hari. Ia pun diklaim lebih agung ketimbang fasilitas RDF terbesar di dunia saat ini yang berada di Tel Aviv, Israel.

Meski demikian, menurut pengamat tata kota Universitas Indonesia, M. Azis Muslim, fasilitas penanganan sampah idealnya berada jauh dari permukiman. Namun apa boleh buat, lahan di Jakarta memang terbatas.

“Mungkin salah satu faktornya dengan pertimbangan kedekatan dengan sumber sampah. Kita tahu Rorotan ini sangat dekat dengan sumber sampah domestik di 16 kecamatan di Jakarta. Sehingga, akses untuk memudahkan pengolahan sampah itu bisa jadi menjadi pilihan utama,” ujar Azis ketika dihubungi Tirto, Rabu (12/11/2025).

Agar tak menimbulkan konflik, Azis mendorong Pemprov Jakarta untuk mencermati dan melakukan edukasi kepada masyarakat terkait penanganan sampah. Selain itu, konsultasi publik atau dialog dengan warga sekitar juga harus diprioritaskan demi memastikan ketuntasan penanganan masalah.

“Yang pertama harus dilakukan adalah edukasi secara komprehensif dan terpadu—bagaimana sebenarnya kita—manusia—sebagai sumber sampah itu bisa memahami dan bisa mengelola sampah yang kita hasilkan sendiri dengan lebih baik,” sambung Azis.

Gubernur DKI Jakarta hentikan sementara uji coba operasional RDF Rorotan

Foto udara kondisi fasilitas pengolahan sampah Refuse Derived Fuel (RDF) Rorotan di Jakarta Utara, Selasa (4/11/2025). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/YU

Kendati diklaim berteknologi sangat canggih, operasional RDF Plant Rorotan pun harus diselaraskan dengan karakter sampah yang diproduksi oleh warga Jakarta. Sistem pengolahan sampah yang komprehensif, termasuk pengolahan sampah organik dan anorganik menjadi cikal bakal bagaimana pengolahan sampah bisa dilakukan dengan baik.

“Edukasi dan partisipasi warga itu menjadi salah satu syarat untuk bisa meminimalisir masalah dari hulunya. Dari hulunya itu adalah masalah sampah yang dibawa secara individu atau sampah-sampah yang memang ada di keluarga. Ini saya rasa menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dalam konteks bagaimana menghasilkan tata kelola sampah yang ideal,” ujar Azis.

Dimulai dari Perbaikan Tata Kelola

Masalahnya, karakter sampah di Jakarta memang didominasi oleh sampah organik atau basah, yang artinya tidak sesuai dengan teknologi RDF. Juru Kampanye Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) Jakarta, Muhammad Aminullah, menjelaskan bahwa RDF umumnya mengolah sampah kering.

“PLTSA [Pembangkit Listrik Tenaga Sampah] dan RDF ini memang ditujukan untuk jenis sampah tertentu saja gitu, enggak semua jenis sampah bisa dikelola. Sayangnya, dominasi sampah kita itu organik yang tidak cocok untuk RDF maupun untuk PLTSA karena nilai kalornya,” kata Aminullah di ujung telepon, Rabu (12/11/2025).

Jika dipaksakan, bakal timbul bebauan seperti yang dikeluhkan masyarakat. Sebab, sampah-sampah basah yang dikirim ke RDF Plant tak langsung dikelola dan membutuhkan treatment tertentu sebelum diproses.

Pre-treatment-nya adalah dia harus dipilah lalu dikeringkan. Dari pemilahan saja sudah membutuhkan berapa hari, kemudian pengeringan juga membutuhkan waktu berapa hari. Jadi, akan menimbulkan antrian sampah. Antrian sampah ini akhirnya menjadi tumpukan sampah, inilah yang kemudian bikin bau,” ujar Aminullah.

RDF Plant Rorotan

Operator eskavator memindahkan sampah ke mesin pengolahan sampah di Refuse Derived Fuel (RDF) Plant Rorotan, Jakarta, Selasa (25/2/2025). ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/Spt

Apalagi, proses pengeringan sampah di RDF Plant Rorotan menggunakan metode thermal yang menyebabkan adanya proses pembakaran dan menghasilkan emisi. Aminullah menerangkan, dalam hierarki pengolahan sampah, penggunaan metode thermal semestinya berada di level paling bawah.

Artinya, opsi ini sebaiknya dihindari dan menjadi pilihan terakhir ketika sudah tidak ada jawaban atas pengolahan sampah. Menurut Aminullah, pemerintah justru melompati hierarki itu. Saat ini, Indonesia belum selesai dengan pemilahan atau daur ulang dengan metode reduce,reuse, recyle, lantas tiba-tiba loncat ke level paling bawah.

“Itu yang sangat disayangkan karena dampaknya itu besar. Kenapa dia [RDF] diakhirkan gitu ya prosesnya, padahal dia punya dampak lingkungan yang serius. Kemudian, ini barang mahal. Makanya pengolahan sampahnya itu akan jadi sangat mahal. Terlebih, sampahnya sendiri tidak sesuai gitu dengan karakteristik yang dibutuhkan,” kata Aminullah.

Seiring berlanjutnya operasional RDF, dampaknya tidak hanya akan menyentuh aspek lingkungan dan masyarakat, tapi juga tata kelola sampah. Keberadaan RDF, menurut Aminullah, kontraproduktif dengan cita-cita pengelolaan sampah di level yang paling dekat dengan sumber, yakni di level RW, pasar, maupun kawasan. Pasalnya, dengan adanya RDF, sampah berubah menjadi komoditas.

“Sampah ini dijadikan komoditas oleh pemerintah. Karena, supaya PLTSA ini bisa berjalan optimal, harus ada pasokan sampah, harus ada feedstock. Kalau feedstock sampahnya tidak terjaga, otomatis akan rugi. Dia gak bisa bekerja secara optimal. Ini yang jadi masalah kemudian. Kami melihat akan ada konflik, sampah ini akan diperebutkan,” ujar Aminullah.

Oleh karena itu, solusinya tidak bisa sekadar membatasi sampah yang dikelola. Pemprov Jakarta harus terlebih dahulu memperbaiki tata kelola sampah di wilayahnya.

"Di level hulu, benahi dulu sistem pemilahannya, pengumpulannya, pengangkutannya. Itu semua dibenahi dulu. Ketika di bawah sudah betul, baru sudah tidak ada pilihan, baru ke RDF,” kata Aminullah.

Baca juga artikel terkait PENGELOLAAN SAMPAH atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi