tirto.id - Managing Director Political Economy dan Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, dihadirkan sebagai ahli ekonomi dan kebijakan di sidang praperadilan mantan Menteri Perdagangan 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.
Dalam sidang tersebut, Anthony mengatakan tak ada kerugian negara Rp400 miliar dalam kasus impor gula kristal mentah (GKM) yang menjadikan Tom Lembong sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung.
"Kerugian keuangan negara sebesar 400 miliar dalam pemberian izin impor GKM pada tahun 2015 dapat dipastikan tidak benar," kata Anthony dalam ruang sidang pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (21/11/2024).
Dia tidak melihat ada pengeluaran uang negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam impor GKM sehingga ditemukan potensi mark up anggaran.
Dia menyebut, pemberian izin impor GKM tidak dipungut biaya alias gratis sehingga tidak ada potensi penerimaan negara yang lebih rendah dari seharusnya.
"Ada kesalahan logika apabila keuangan negara sebesar 400 miliar disebut terjadi akibat pemberian izin impor GKM kepada delapan perusahaan gula rafinasi untuk diolah menjadi GKP (Gula Kristal Putih), bukan kepada BUMN," ujarnya.
Dia juga menyebut bahwa perusahaan BUMN tidak mempunyai pabrik gula, sehingga tidak ada pengolahan gula kristal mentah (GKM) menjadi GKP, dan tak ada keuntungan.
Dia mengatakan, penambahan pasokan GKP dari dalam negeri lebih murah dibandingkan menambah pasokan GKP dari impor.
"Sehingga margin keuntungan BUMN perdagangan dari produksi GKP di dalam negeri, di perusahaan gula rafinasi swasta, lebih besar dari impor," ujarnya.
Anthony menambahkan, dana dan modal kerja untuk impor GKP jauh lebih besar dan lebih lama dibandingkan jika BUMN menjalin kerja sama produksi dengan perusahaan dalam negeri.
Selain Anthony, ahli pidana, Mudzakkir, juga dihadirkan dalam sidang dan mengatakan bahwa penetapan Tom Lembong sebagai tersangka tidak sah.
Pasalnya, kata Mudzakkir, penetapan tersangka terhadap Tom Lembong yang dilakukan Kejaksaan Agung pada 29 Oktober 2024 tidak disertai dengan hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Hal tersebut disampaikan oleh Mudzakkir saat menemui awak media usai menyampaikan pendapatnya dalam sidang praperadilan sebagai ahli dari Tom Lembong sebagai pemohon.
"Kalau tidak ada itu (audit BPK) gak usah diproses. Jadi memastikan, namanya kepastian hukumnya adil itu ada di situ. Tapi kalau itu tiba-tiba tersangka dulu itu salah prosedur," kata Mudzakkir.
Oleh karena itu, dia menyebut penetapan Tom Lembong sebagai tersangka telah menyalahi prosedur.
Dia juga mengatakan, Kejaksaan Agung sebagai termohon tak akan bisa menghadirkan hasil audit BPK.
“Dia (Kejagung) tidak mungkin menghadirkan bukti BPK, karena sudah ada buktinya BPK. Hasil audit yang tahun 2015-2017 sudah ada (tidak ada kerugian negara). Kalau mau besok itu nggak mungkin juga, perkara ditutup,” pungkasnya.
Saat ini Tom Lembong masih ditahan di rumah tahanan Salemba setelah ditetapkan sebagai tersangka impor gula pada 29 Oktober 2024 lalu.
Selain Tom Lembong, Kejagung juga menetapkan Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI berinisial CS sebagai tersangka.
Dalam kasus ini, Kejagung menyebut Tom Lembong dan CS telah mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp400 miliar akibat korupsi pada impor gula kristal.
Kejaksaan Agung juga menilai Tom Lembong dijadikan sebagai tersangka karena pada periode 2014 Indonesia mengalami surplus ketersediaan gula. Kemudian, Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan melakukan koordinasi lintas sektoral untuk mengatasi surplus tersebut.
Lalu, diputuskan bahwa Indonesia tidak perlu melakukan importasi gula. Namun, pada 2015, Tom Lembong menyetujui surat keputusan untuk mengimpor gula.
Tom Lembong dijerat pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 Jo pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat 1 KUHP.
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Irfan Teguh Pribadi