Menuju konten utama
Horizon

Safari Ramadhan di Masjid Gede Mataram

Masjid Gede Mataram selalu jadi jujugan safari Ramadhan bagi para pelancong yang datang ke Yogyakarta. Itu tak lepas dari jejak sejarah dan akulturasinya.

Safari Ramadhan di Masjid Gede Mataram
Wisatawan berswafoto di halaman Masjid Gede Mataram Kotagede dengan menggunakan baju adat. (FOTO/Siti Fatimah)

tirto.id - Menjelang datangnya bulan suci Ramadhan, Masjid Gede Mataram kembali bersolek, bersiap menyambut para jemaah. Saban tahun, masjid bersejarah yang terletak di Kotagede, Yogyakarta, ini selalu ramai pengunjung.

Masjid yang berdiri megah sejak era Panembahan Senopati tersebut bukan hanya rumah ibadah, tetapi juga saksi bisu masuknya Islam di tanah Jawa. Tak heran jika di masa kemudian banyak pelancong yang datang.

Tradisi yang berpadu dengan suasana spiritual menjadikan masjid ini bukan hanya tempat beribadah bagi warga sekitar. Sudah bertahun-tahun ia menjadi jujugan para peziarah dan wisatawan dari berbagai daerah.

Persiapan menyambut bulan puasa telah dilakukan sejak jauh-jauh hari. Itu wajar sebab sejak hari pertama siam, masjid tertua di bumi Mataram tersebut sudah ramai orang beribadah.

Ramadhan di Masjid Gede Mataram

Bendahara sekaligus takmir Masjid Gede Mataram, Riyadi, mengatakan bahwa para pengelola telah melakukan berbagai persiapan guna menyambut Ramadhan 1446 Hijriah. Agenda utamanya adalah buka bersama dan salat Tarawih.

"[Rencana] kesehariannya sudah [ada] persiapan. Untuk takjil atau buka puasa bersama, kami sediakan 300 porsi nasi," ujar Uri, sapaan akrabnya, diwawancarai di kantornya, Selasa (25/2/2025).

Persiapan lain yang telah dilakukan oleh pengelola Masjid Gede Mataram adalah organisasi ulama. Selama 30 hari, ulama yang akan mengisi kajian selalu berbeda. Hal itu termasuk untuk kajian subuh, sore, dan selepas Tarawih.

"Satu utama, satu cadangan. Biasanya, kalau [urusan] kehadiran [penceramah], bisa dibilang 98 persen hadir," paparnya.

Masjid Gede Mataram selalu menggelar dua kali salat Tarawih. Tarawih pertama diselenggarakan selepas salat Isya. Sementara itu, salat Tarawih kedua dilaksanakan pada dini hari, mulai pukul 02.00 WIB.

"Jadi nanti jam 01.00 sudah penuh di sini. Ada yang salat malam dan lain-lain. [Lalu] jam 02.00 itu Tarawih kedua, berlangsung selama satu jam," terang Uri, merinci jadwal Tarawih di Masjid Gede Mataram selama Ramadhan.

Uri membeberkan, masjid turut menyediakan makan sahur bagi jemaah yang melaksanakan salat Tarawih malam pada pukul 02.00 WIB.

"Setelah Isya, Tarawih. Itu tahap [Tarawih pertama] sore. Kalau malam, ada jam 02.00 malam, kami adakan salat malam. Kami sediakan menu untuk sahur [untuk jemaah yang hadir]," beber Uri.

Uri memperkirakan, selama sepuluh hari pertama Ramadhan, jumlah jemaah yang hadir ke Masjid Gede Mataram untuk salat Tarawih masih sedikit. Oleh sebab itu, pengelola masjid hanya akan menyediakan sekitar 50-75 porsi nasi.

"Kalau [Ramadhan] sudah [berjalan] 10 sampai 20 hari, mulai banyak. [Selama] 10 hari terakhir biasanya lebih banyak lagi [yang datang]," kata dia.

Jumlah jemaah yang hadir untuk mengikuti salat Tarawih malam pada 10 hari terakhir, kata Uri, jumlahnya bisa mencapai lebih dari seratus orang.

PENJAGAAN MASJID YOGYAKARTA

Anggota TNI dan Polisi melakukan penjagaan saat ibadah salat Tarawih di Masjid Gede Kauman, Yogyakarta, Rabu (16/5/2018). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

Dalam rangka menjaga kekondusifan, Masjid Gede Mataram menyiagakan serangkaian tata keamanan selama 24 jam. Salah satunya dengan meminta penambahan personel aparat di sekitar masjid.

Selain itu, para pengurus masjid pun mengecek secara berkala 15 titik CCTV di area rumah ibadah tersebut dan memastikannya berfungsi dengan baik.

"Saya juga kurang yakin [bahwa] setiap orang yang masuk ke masjid pasti bersih 100 persen. Kenyataannya ada jemaah yang dompetnya hilang, HP hilang. Jadi, semua dipantau CCTV, dapat dilihat dan aktif 24 jam," tegas Uri.

Peningkatan aspek keamanan di Masjid Gede berkaitan erat dengan membludaknya jumlah pengunjung selama Ramadhan. Terlebih, pihak masjid juga mengakomodasi musafir yang singgah. Orang-orang yang sedang melakukan perjalanan dapat tinggal dan menginap selama tiga sampai tujuh hari.

"Setelah itu [lebih dari tujuh hari], kami anjurkan [mereka] berpindah," Uri menerangkan.

Batasan waktu menginap bagi musafir itu merupakan hasil kesepakatan pengelola, yang tentu saja didasarkan pada kewaspadaan. "Karena kalau terlalu lama juga nggak enak. Kan [kami] tidak tahu [risiko yang kemungkinan datang]. Kami susah membedakan orang yang ini betulan baik atau endak," tukasnya.

Selain musafir, Masjid Gede Mataram pun mempersilakan peziarah makam Raja-Raja Mataram untuk menginap. Namun, seperti halnya para musafir, mereka diharapkan untuk meminta izin terlebih dahulu kepada pihak pengelola.

"Semua kami lakukan untuk menjaga keamanan dan kebersihan masjid," jelas Uri.

Masjid Gede Mataram merupakan situs sejarah sehingga kerap didatangi oleh warga dari berbagai penjuru Nusantara.

"Warga luar DIY banyak [yang berkunjung]. Kalau malam, pasti bukan hanya orang lingkungan sini, tapi juga dari luar. Kebanyakan [orang] yang dari luar kota [berkunjung selama] satu sampai dua hari," ujarnya.

Safari Ramadan Masjid Gede Mataram

Riyadi alias Uri diwawancarai di kantornya, Kompleks Masjid Gede Mataram Kotagede, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). (FOTO/Siti Fatimah)

Alternatif Wisata Selain Malioboro

Jejak sejarah di Masjid Gede Mataram menarik Rita Yuniar untuk berkunjung. Wisatawan asal Bandung, Jawa Barat, itu mengaku sengaja menyelipkan sedikit waktu di agendanya agar dapat bertandang ke masjid tersebut, sebelum jadwal pulang ke daerah asal.

"[Yang membuat saya berkunjung ke sini adalah] rasa ingin tahu, karena baru pertama kali mengunjungi situs bersejarah [Masjid Gede Mataram]," sebutnya, saat diwawancarai di sekitar kompleks Masjid Gede Mataram, Selasa (25/2/2025).

Kunjungan tersebut memang ia niatkan untuk napak tilas Ramadhan. "Ini pertama kali [saya] kunjungan ke masjid [Gede Mataram]. Saya selama ini hanya mainnya ke kota, Malioboro."

Rita ingin punya pengalaman berbeda setelah kesekian kali berpelesir ke Jogja. Karena itulah pilihannya jatuh pada Masjid Gede Mataram.

"Ingin sesuatu yang berbeda, terus googling ternyata ke arah Bantul ada tempat wisata yang sepertinya layak kita [kami] kunjungi dan ketahui," tambahnya.

Ia merasa senang dengan kunjungannya ke Masjid Gede Mataram. Dia dan suaminya berkunjung pada saat pagi hari.

Pelataran masjid masih terbilang sepi meskipun tetap ada wisatawan lain. Selain itu, suasana terasa sejuk berkat keberadaan pohon-pohon besar yang rindang di area sekitar masjid.

"Jarang mungkin orang [berkunjung ke masjid]. Kalau di seusia kami begini lebih senang wisata ke tempat yang seperti ini," ucapnya.

Sejarah Masjid Gede Mataram

Menukil dari laman web resmi Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Masjid Gede Mataram mulai dibangun pada 1578 dan memakan waktu sekitar sembilan tahun.

Masjid tersebut dibangun pada era Panembahan Senopati. Pengerjaannya tidak hanya melibatkan masyarakat muslim, tetapi juga penganut agama Hindu dan Buddha. Wujud akulturasi budaya Islam-Hindu-Buddha tampak pada arsitektur masjid.

Ciri khas Masjid Gede salah satunya tampak dari pagar bercorak Hindu yang mengelilinginya. Adapun ruang utama masjid memiliki atap berbentuk tajug (piramida) bertingkat dua, yang terbuat dari kayu dan ditutupi oleh genteng. Di puncaknya, tersemat mahkota yang disebut pataka.

Sementara itu, serambi masjid dibangun dengan atap berbentuk limas atau perisai. Ada juga hiasan kluwih yang terpajang di mustaka masjid. Kluwih adalah singkatan dari kataka-luwih-anyang yang artinya 'berlipat ganda'.

Masjid Gede Mataram

Masjid Gede Mataram. tirto.id/Irfan Teguh Pribadi

Jika dilihat dari atas, Masjid Gede berbentuk bujur sangkar, sama halnya dengan arsitektur Jawa lain. Hal ini dikarenakan pandangan estetika Jawa yang menggunakan konsep klebat papat limo pancer, yakni simbol kemantapan dan sekaligus keselarasan yang merupakan lambang empat mata angin dengan pusat di tengahnya.

Masjid Gede Mataram berada dalam satu komplek dengan Pesaren Agung (pemakaman besar) Kotagede. Semuanya dikelilingi oleh pagar setinggi 2,5 meter dalam struktur tata ruang pusat kerajaan Islam di Jawa.

Masjid ini merepresentasikan salah satu dari konsep catur gatra tunggal yang meliputi empat elemen pembentuk identitas kota, yakni keraton sebagai pusat pemerintahan, alun-alun sebagai pusat kegiatan sosial budaya, masjid sebagai pusat kegiatan spiritual, dan pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN 2025 atau tulisan lainnya dari Siti Fatimah

tirto.id - News
Kontributor: Siti Fatimah
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Fadli Nasrudin