Menuju konten utama
Mozaik

Nyorog Betawi Sambut Ramadhan, Warisan Masa Penyebaran Islam

Tradisi nyorog di Betawi mula-mula digunakan untuk menyebarkan agama Islam. Ia lalu bertransformasi salah satunya untuk menyambut bulan Ramadhan. 

Nyorog Betawi Sambut Ramadhan, Warisan Masa Penyebaran Islam
Header Mozaik Tradisi Nyorog di Betawi. tirto.id/Tino

tirto.id - Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki berbagai tradisi yang dilakukan menjelang bulan suci Ramadhan, mulai dari ziarah kubur, membersihkan diri dan lingkungan, pawai obor, hingga gelaran makan bareng di hari-hari terakhir bulan Sya’ban.

Tradisi-tradisi tersebut tidak hanya memperkaya budaya lokal, tetapi juga menciptakan suasana gembira dan simbol menyiapkan diri menyambut bulan penuh berkah.

Salah satunya adalah tradisi nyorog di Betawi. Kegiatan ini adalah membagikan bingkisan atau makanan kepada anggota keluarga, tetangga, atau kerabat yang lebih tua. Tradisi ini merupakan simbol penghormatan, kebersamaan, dan silaturahmi yang dijaga turun-temurun.

Nyorog dalam Penyebaran Islam

Tradisi nyorog memiliki akar sejarah yang erat dengan proses penyebaran Islam di Sunda Kelapa (Jakarta) pada awal abad ke-19. Pada masa itu, dakwah berlangsung secara bertahap, dimulai dari interaksi dengan para pedagang muslim, termasuk peran aktif tokoh-tokoh Islam seperti Fatahillah dan Pangeran Jayakarta.

Kehadiran para ulama seperti Habib Husein Alaydrus, Syaeikh Junaid al-Betawi, hingga Guru Mansyur, membuat Islam kian diterima di berbagai penjuru Sunda Kelapa. Meski demikian, ada beberapa kepercayaan lama yang masih menjadi tradisi masyarakat.

Nyorog, yang secara harfiah berarti “mengantarkan” atau “memberikan sesuatu”, awalnya digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran Islam. Menurut budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra, nyorog terinspirasi dari ritual baritan, yakni tradisi memberikan sesajen kepada Dewi Sri, simbol kemakmuran dan kesuburan dalam mitologi Hindu.

Perlahan, baritan dinarasikan sebagai “barokah” atau penuh berkah. Para ulama dan tokoh masyarakat menggunakan tradisi nyorog untuk mendekati masyarakat lokal dengan cara yang santun dan tidak menimbulkan penolakan.

Pemberian bingkisan atau hadiah dalam nyorog biasanya berupa makanan atau barang kebutuhan sehari-hari yang disertai dengan pesan-pesan dakwah. Tradisi ini menjadi cara efektif untuk membangun hubungan baik antara pendakwah dan masyarakat, sekaligus memperkenalkan nilai-nilai Islam secara halus.

Melalui nyorog, ajaran Islam diterima dengan lebih mudah karena diintegrasikan dalam kebiasaan lokal yang sudah ada. Ia mencerminkan kekayaan nilai-nilai sosial dan spiritual yang telah mengakar sejak berabad-abad lalu.

Nyorog sebagai Perekat Silaturahmi

Seiring waktu, fungsi nyorog mengalami transformasi. Jika dahulu tradisi ini lebih dikhususkan pada penyebaran agama, kini nyorog lebih banyak digunakan sebagai sarana untuk mempererat hubungan sosial antarkeluarga, tetangga, dan masyarakat secara umum.

Menurut Abdul Qodir Zaelani dalam makalahnya “Nyorog Tradition of Betawi Community in The Perspective of Islamic Family Law (A Case in The Betawi Community in Bekasi, West Java)”, nyorog mencerminkan interaksi antara ajaran Islam dan praktik budaya Betawi.

Dalam konteks modern, nyorog sering dilakukan pada momen-momen tertentu, seperti menjelang bulan Ramadhan, Idulfitri, atau acara-acara keluarga seperti pernikahan dan kelahiran anak.

Pada momen nyorog, seseorang akan mempersiapkan bingkisan dengan cermat. Bingkisan tersebut biasanya berisi bahan makanan pokok seperti beras, gula, minyak goreng, atau makanan khas Betawi seperti gabus pucung, asinan, soto, ketupat, opor ayam, atau kue-kue tradisional seperti dodol.

Selain itu, tak jarang bingkisan dilengkapi dengan buah-buahan segar atau camilan yang disukai oleh penerima. Persiapan ini dilakukan dengan penuh perhatian, karena nyorog bukan hanya tentang memberi, tetapi juga tentang menunjukkan rasa hormat dan kasih sayang.

Ketika seseorang hendak mengantar makanan ke sanak saudara yang lebih tua, ia akan mempersiapkan diri agar suasana tercipta penuh dengan kehangatan. Si pengantar akan berpakaian rapi, sering kali menggunakan pakaian adat Betawi seperti baju koko atau kebaya. Mereka membawa bingkisan dengan rantang dan bakul.

Sesampainya di rumah sanak saudara yang lebih tua, si pengantar akan menyerahkan bingkisan sambil mengucapkan salam dan doa. Penerima bingkisan biasanya akan menyambut dengan senyuman hangat, mengajak duduk, dan berbincang sejenak.

Ucapan seperti “Mohon maaf lahir dan batin” kerap disampaikan sebagai bentuk permohonan maaf sebelum memasuki bulan Ramadhan. Momen ini menjadi ajang untuk mempererat hubungan keluarga, bertukar cerita, dan saling mengingatkan tentang makna Ramadhan.

“[...] dibarengi dengan permintaan maaf dengan tujuan menjadi fitri menjelang datangnya bulan suci. Biasanya Nyorog ini dilakukan H-3 menjelang waktu puasa di mulai,” tutup Masykur Isnan seperti dikutip Voice of Indonesia.

Penyebaran dan Pelestarian Nyorog

“Ada, tapi enggak banget keliatan,” tutur Ahmad Sofiyan, seorang guru sejarah saat ditanya tradisi nyorog di daerah Condet, Jakarta Timur.

Sofiyan menambahkan jika di Condet tradisi nyorog sudah langka, Menurutnya, tradisi ini mungkin masih bisa ditemukan di daerah yang budaya Betawi-nya kuat atau di wilayah-wilayah pinggiran Jakarta.

Jurnal terbitan Universitas Negeri Jakarta tentang mobilitas sosial dan identitas etnis Betawi menyebutkan bahwa wilayah budaya Betawi dibagi menjadi dua bagian, yaitu Betawi Tengah atau Betawi Kota dan Betawi Pinggiran.

Betawi Tengah atau Betawi Kota meliputi wilayah yang pada zaman akhir pemerintahan jajahan Belanda, seperti: Gambir, Sawah Besar, Kemayoran, Senen, Cempaka Putih, Menteng, Tanah Abang, Cilincing, dan Petamburan.

Sementara Betawi Pinggiran yang pada masa-masa yang lalu oleh orang Betawi Tengah sering disebut “Betawi Ora” menjangkau hingga ke wilayah Jawa Barat, sehingga budaya Sunda memengaruhi bahasa dan logat yang digunakan. Wilayah Betawi Pinggir antara lain Kebon Jeruk, Cengkareng, Pulo Gadung, Cakung, Jatinegara, Kramat Jati, Pasar Rebo, Pasar Minggu, Pancoran, Mampang Prapatan, Tebet, dan Kebayoran Baru.

Di daerah-daerah tersebut, nyorog masih terlihat sebagai bagian dari warisan budaya, meskipun dengan beberapa penyesuaian sesuai dengan konteks lokal.

“Nyorog kalau di daerah mertua saya (Kalibata, Pancoran) sih masih ada,” imbuh Sofiyan.

Meskipun identik dengan masyarakat Betawi di Jakarta, tradisi Nyorog juga ditemukan di beberapa wilayah di Jawa Barat, seperti Bekasi, Depok, dan Tangerang. Penyebaran ini tidak lepas dari migrasi dan interaksi budaya antara masyarakat Betawi dengan penduduk di wilayah sekitarnya.

Di Jawa Barat, nyorog sering diintegrasikan dengan tradisi lain yang sudah ada, seperti kegiatan syukuran atau selamatan yang terikat dalam tradisi munggahan.

Kini, tradisi nyorog menghadapi sejumlah tantangan. Perubahan gaya hidup, urbanisasi, dan pengaruh budaya global telah mengurangi minat generasi muda terhadap tradisi ini. Kesibukan dan tuntutan ekonomi kerap membuat masyarakat kurang memiliki waktu untuk melaksanakan nyorog secara rutin.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN 2025 atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - News
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi