tirto.id - “Goesti Kanjeng Nabi Rasul itu minum ciu A.V.H. dan minum opium....”
Gelombang kemarahan pun dengan cepat menjalar karena kalimat di atas. Kalimat itu dianggap sebagai tindakan penistaan agama, persisnya menghina Nabi Muhammad. Rentetan demonstrasi, mobilisasi massa, kecaman dan serangan melalui surat kabar pun bermunculan.
Bukan, ini bukan di Jakarta. Tidak juga mencuat di seputar Pilkada DKI. Penistaan agama dalam sejarah Indonesia modern dimulai di Surakarta. Kalimat yang menyebut Sang Nabi mengkonsumsi minuman keras dan opium itu muncul dalam sebuah artikel di surat kabar Djawi Hiswara yang bermarkas di Surakarta. Artikel yang muncul dalam edisi 11 Januari 1918 itu berjudul “Pertjakapan Marto dan Djojo”.
Sehari setelah artikel itu dimuat, Surakarta masih adem ayem, aman tenteram. Demikian pula dengan daerah-daerah lain seantero Hindia Belanda, tlatah yang yang kini bernama Indonesia. Artikel itu mulanya tidak menjadi percakapan yang menghebohkan, kalah ramai dari pemberitaan tentang rencana Dewan Rakyat, Volksraad, yang hendak memilih anggota-anggota baru dari kalangan bumiputera pada 17 Januari 1918. Sejumlah pentolan-pentolan politik dari berbagai organisasi fokus pada isu tersebut, mereka banyak yang pergi ke Batavia, tempat Dewan Rakyat berada.
Akhirnya pada hari yang ditentukan, 17 Januari 1918, sidang Dewan Rakyat memilih anggota baru. Tim pemilih terdiri dari Walikota Betawi M.G.J. Bisschop dengan didampingi M. van Helidingen, Wesselins, wakil dari Tionghoa Li Tjan Tjoeh, dan wakil bumiputera Dr. Hoesein Djajadiningrat.
Laporan Djawi Hiswara (21/1/1918) menyebutkan sejumlah nama duduk sebagai anggota Dewan Rakyat yang baru: A.L. Woworoentoe dari Perserikatan Minahasa, Abdoel Moies dari CSI (Centraal Sarekat Islam), Abdoel Rivai dari Insulinde, Aboekasan Atmodirono dari BO (Boedi Oetomo), R. Kamil dari BO (Boedi Oetomo), R. Sastrowidjono dari BO (Boedi Oetomo), R.A.A. Achmad Djajadiningrat dari Regententbond, R.M. Koesoemo Oetojo dari BO (Boedi Oetomo), R.M.T.A. Koesoemo Joedo dari Regentenbond, dan Radjiman Wediodipoera dari BO (Boedi Oetomo).
Pendek kata, anggota Dewan Rakyat terbaru didominasi orang-orang Boedi Utomo. Sementara Sarekat Islam (SI), organisasi massa yang terbesar di Hindia Belanda, hanya diberi satu kursi, itu pun bukan untuk sang ketua, Cokroaminoto.
Kontestasi politik itulah yang akhirnya membuat artikel "Pertjakapan Marto dan Djojo" muncul menjadi bahan perbincangan, menjadi isu publik yang luas. Abikusno Tjokrosujoso, adik Cokroaminoto, menggunakan koran milik SI Surabaya, Oetoesan Hindia, untuk mengkampanyekan hukuman kepada Marthodarsono selaku hoofdredacteur (pemimpin redaksi) koran Djawi Hiswara. Dalam tulisan yang terbit pada 30 Januari 1918, 19 hari dari pemuatan artikel kontroversial itu, Abikusno menuntut Susuhunan Pakubuwono X selaku Raja Surakarta dan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Batavia menindak Marthodarsono karena dianggap telah menghina Nabi Muhammad dan melecehkan agama Islam.
Selain itu, SI Surabaya meminta kepada seluruh suratkabar yang terbit di Hindia Belanda untuk memuat seruan Abikusno tersebut, sekaligus mengecam tindakan Martodharsono dan suratkabar Djawi Hisworo yang dipimpinnya. Namun sasaran tembak tuntutan itu, Gubernur Jendral Hindia Belanda, Graaf van Limburg Stirum, belum bereaksi. Gubernur justru mengeluhkan jumlah anggota Dewan Rakyat yang dinilainya terlalu sedikit.
“Jumlah anggota yang terlalu sedikit menyebabkan van Limburg Stirum tidak dapat berbuat banyak agar semua kelompok penduduk yang berhak dapat terwakili dalam Dewan Rakyat,” sebut Parakitri T Simbolon dalam Menjadi Indonesia (2000).
Sementara itu, sasaran tembak utama dari Abikusno, si Martodharsono, langsung bereaksi. Di Djawi Hiswara (4/2/1918) ia membantah tuduhan bahwa artikel yang dimaksud itu dimaksudkan untuk melecehkan Nabi Muhammad SAW. “...Dalam percakapan itu, bukan nabi kita S.A.W., Kandjeng Nabi Mohammad Rasul Allah, tetapi rasulnja orang masing-masing. Jadi, siapa yang bercakap, ialah yang mempercayainya....” bantah Martodharsono.
Ia menjelaskan pula bahwa artikel itu hanya sebagai contoh sebuah artikel yang tidak layak dimuat di surat kabar. Tapi bantahan Martodharsono tak berpengaruh apapun. Alasan itu terasa anakronis karena memuat artikel yang tidak layak muat. Ia tetap dituding sebagai penghina Nabi Muhammad dan melecehkan ajaran Islam.
Untuk selanjutnya, Cokroaminoto menggelar sebuah pertemuan akbar di Surabaya pada 6 Februari 1918. Sehari setelahnya, Oetoesan Hindia (7/2/1918) melaporkan bahwa pertemuan itu dihadiri ribuan umat muslim Surabaya dan berhasil menggalang dana sebesar 3.000 gulden. Dari pertemuan akbar umat muslim Surabaya itu juga lahir Tentara Kandjeng Nabi Muhammad (TKNM).
Tujuan TKNM adalah untuk “mempertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan kaum Muslimin,” demikian lapor Oetoesan Hindia.
Menurut sejarawan Jepang Takhasi Shiraisi dalam Zaman Bergerak (1997) gelombang protes merambah ke Surakarta tiga hari kemudian. Sejumlah tokoh Islam seperti Hadji Mohammad Misbach, Hadji Hisamzaijnie, serta Raden Ng. Poerwodihadjo ikut mendukung aksi TKNM di Surabaya.
Tapi hal sebaliknya terjadi di Semarang. Sejumlah elit SI Semarang, seperti Semaoen dan Mohammad Jusuf, justru tidak terlalu mempedulikan isu itu. Mereka menganggap lebih penting menggelorakan buruh untuk melakukan aksi mogok kerja.
Melalui koran SI Semarang, Sinar Djawa (13/4/1918) Mohammad Joesoef menulis, “....kurang perlu diadakan sub-Comite (TKNM), sebab SI di sini (Semarang) saja sudah cukup guna turut melawan anti Islam propaganda. (Apalagi) sub-Comite akan mengeluarkan uang lagi dari sakunya lid-lid [pemimpin].”
Sepanjang Februari 1918 itu pro dan kontra tentang dugaan penistaan agama di Djawi Hiswara mulai memanas. Para pejabat pemerintah kolonial pun akhirnya mulai memandang serius persoalan ini. Komisaris Negara untuk Urusan Bumiputera dan bangsa Arab, B.J.O. Schrieke, melaporkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johan Paul Graaf van Limburg Stirum.
Kepada Gubernur Jendral, Schrieke melaporkan analisisnya bahwa kontroversi artikel itu memberikan kesempatan emas bagi Cokroaminoto untuk melakukan tiga hal, yaitu (1) memerlihatkan bahwa pemerintah tidak memerdulikan Islam, (2) menghimpun saudagar-saudagar Arab, dan (3) serta mengumpulkan uang dan menggerakkan cabang-cabang SI yang terbengkalai di bawah kepemimpinannya demi membela Islam. Schrieke melanjutkan analisisnya: kekuatan besar itu akan digunakan Cokroaminoto untuk menyerang musuh-musuh lamanya yang ada di Surakarta, yakni mereka yang dulu pernah duduk di kepemimpinan elit SI seperti Samanhoedi, Martodharsono, dan Sosro Koornio.
Analisa Schrieke tak sepenuhnya jitu. Laporan Medan Moeslimin, koran milik Haji Misbach, menyebutkan bahwa pada 17 Februari, TKNM Surabaya mengadakan pertemuan lagi dengan dihadiri sekitar 35 ribu orang. Pertemuan tersebut berbuah mosi kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, van Limburg Stirum di Buitenzorg (Bogor), Sri Susuhunan Pakubuwono X di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, serta Residen Surakarta. Mosi itu berisi kemarahan dan kekesalan kaum muslim di Surabaya atas tindakan pelecehan agama dan penghinaan terhadap Nabi Muhammad yang dimuat dalam suratkabar Djawi Hisworo.
Tindakan yang diambil oleh pemerintah kolonial bukannya membawa Marthodarsono ke pengadilan. Jalan keluar yang diambil oleh pemerintah adalah meletakkan isu itu ke dalam konteks politik di kalangan bumiputera: menjadikan Cokroaminoto sebagai anggota Dewan Rakyat. Keputusan itu tertuang dalam surat keputusan No. 2 tertanggal 23 Februari 1918 yang ditandatangani oleh Gubernur Jenderal.
Terpilihnya Cokroaminoto dalam Dewan Rakyat justru membuat Haji Misbach kecewa. Misbach yang sebelumnya membayangkan TKNM menjadi satu kekuatan Islam yang militan ternyata tak lebih dari alat untuk menaikkan nama Cokro. Ia kemudian justru berbalik menyerang Cokro yang dinilainya lembek menghadapi kolonial.
Maka pada 26 Februari 1918, di surat kabar Medan Moeslimin, ia berbalik mendukung Comite JN (Javaansche Nationalisme), organ yang justru berseberangan dengan TKNM. Comite JN menganggap TKNM sebagai gerakan yang bisa memecah-belah bangsa.
Sementara Semaun , di Sinar Djawa (4/3/19180, memberikan penilaian berbeda. Menurutnya pembentukan dan pemilihan anggota Dewan Rakyat tidak lebih daripada sekadar “omong kosong”, “komedi “, juga “kipas pendingin”. Semaoen memandang pembentukan Volksraad tidak akan mampu menyentuh kepentingan rakyat secara langsung.
Sementara itu SI Surabaya tak acuh dengan kritikan itu. Oetoesan Hindia edisi 6 Maret 1918 mengabarkan pengangkatan Cokroaminoto, Ketua Umum CSI, menjadi anggota Dewan Rakyat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Menurut laporan Oetoesan Hindia, Cokroaminoto tak begitu saja menerima penunjukkan Gubernur Jenderal. Ia akan menyerahkan segala wewenang dan keputusan melalui suara terbanyak kepada segenap anggota dan pengurus SI di Jawa dan Madura. Cokroaminoto melakukan tindakan tersebut karena ada beberapa pihak, terutama SI Semarang, yang menolak keikutsertaan SI ke Dewan Rakyat buatan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Akhirnya pada 20 Maret 1918 Oetoesan Hindia mengumumkan hasil pemufakatan internal SI mengenai pengangkatan Cokroaminoto di Dewan Rakyat. Dari 58 cabang SI yang diakui CSI, 28 cabang di antaranya menyetujui masuknya Cokroaminoto sebagai wakil SI , sedangkan 26 cabang lainnya menyatakan tidak setuju, dan 1 blangko kosong serta 3 suara tidak sah. Hasil itu membuat Cokro melenggang ke Dewan Rakyat.
Lalu bagaimana dengan nasib TKNM? Memasuki April 1918, isu TKNM menguap dari perdebatan publik. Tidak ada lagi mobilisasi massa, juga kemarahan yang meluap-luap. Marthodarsono dan Djawi Hiswara tidak pernah dibawa ke pengadilan, dan Cokroaminoto pun tidak ngotot dan gigih menggunakan posisinya di Dewan Rakyat untuk merealisasikan tuntutan TKNM.