tirto.id - Parlemen Israel tengah membahas Rancangan Undang-undang yang membatasi volume suara dari tempat-tempat ibadah, salah satunya volume azan di masjid. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebelumnya telah mendukung rancangan undang-undang tersebut, yang jika disetujui akan berlaku di seluruh Israel dan juga wilayah yang dicaplok, Jerusalem Timur, tempat lebih dari 300.000 warga Palestina tinggal.
Bagi Turki, RUU tersebut "tidak bisa diterima" dan merupakan bentuk "penghinaan." Wakil Perdana Menteri Turki Numan Kurtulmus mengatakan bahwa selama berabad-abad suara azan, lonceng gereja dan doa umat Yahudi berbaur di Yerusalem yang dihuni beragam agama.
"Ini sesuatu yang tidak bisa dikompromikan," kata Kurtulmus, yang merupakan kepala juru bicara pemerintah, setelah rapat kabinet.
"Ini benar-benar tidak dapat diterima."
"Ini penghinaan terhadap budaya, masa lalu dan sejarah Yerusalem. Tidak masuk akal dan bertentangan dengan kebebasan beragama," katanya seperti diwartakan Antara dari AFP, Selasa (22/11/2016).
Oposisi Yahudi Ortodoks sebelumnya sempat mencemaskan RUU tersebut, namun pemerintahan Israel berhasil meredam kecemasan tersebut.
Hubungan antara Israel dan Turki terperosok ke titik terendah sepanjang sejarah pada 2010 setelah serangan Israel ke kapal Turki menewaskan 10 aktivis Turki yang menuju ke Gaza.
Namun kedua belah pihak berusaha memulihkan kerja sama ke tingkat semula dan mengadakan pembicaraan mengenai pembangunan proyek jaringan pipa ambisius untuk memompa gas Israel ke Turki dan Eropa.
Awal tahun ini Israel dan Turki akhirnya memperbaiki hubungan yang selama satu tahun mengalami krisis dengan menunjuk duta besar, tapi potensi ketegangan antara kedua negara masih cukup besar.