tirto.id - Pro dan kontra seputar Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), terus berlanjut. Sejumlah pasal mendapat sorotan bahkan penolakan dari masyarakat.
Salah satu klausul yang menuai polemik ada di Pasal 16 dalam draf naskah yang tersebar ke publik. Ketentuan dalam aturan tersebut menyebut penyelidikan dapat dilakukan dengan cara-cara yang bersinggungan dengan norma, seperti pembuntutan, penyamaran, dan pembelian terselubung.
“Penyelidikan dapat dilakukan dengan cara:
- pengolahan tempat kejadian perkara;
- pengamatan;
- wawancara;
- pembuntutan;
- penyamaran;
- pembelian terselubung;
- penyerahan di bawah pengawasan;
- pelacakan;
- penelitian dan analisis dokumen.
- mendatangi atau mengundang seseorang untuk memperoleh keterangan; dan/ atau
- kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan,” Begitu bunyi Pasal 16 ayat (1) RUU tersebut.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menilai penambahan cara penyelidikan, ini bernuansa eksesif atau melampaui kebiasaan, dan melanggar hukum. Dia menerangkan tujuan penyelidikan adalah untuk mencari dan menilai peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.
"Oleh karenanya, PBHI merekomendasikan penghapusan penambahan cara-cara baru serupa upaya paksa tersebut dalam penyelidikan," Kata Julius saat dihubungi Tirto, Rabu (16/7/2025).
Upaya paksa didefinisikan sebagai segala bentuk tindakan yang dapat dipaksakan oleh aparat penegak hukum pidana terhadap kebebasan bergerak seseorang atau untuk memiliki dan menguasai suatu barang, atau terhadap kemerdekaan pribadinya untuk tidak mendapat gangguan terhadap siapapun.
Menurut Julius, dengan adanya Pasal 16 dalam RUU KUHAP, aparat penegak hukum akan semakin sewenang-wenang dalam melakukan proses penyelidikan.

Di dalam produk hukum yang sama, Pasal 5, para penyelidik diberi kewenangan untuk, "mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”. Julius menjelaskan bahwa klausul pasal tersebut menjadi jalan terbukanya tindakan yang luas dan dapat dimanfaatkan untuk melakukan tindakan apapun kepada orang-orang yang dianggap mencurigakan, yang belum tentu melakukan tindak pidana.
"Pasal ini membuka ruang terhadap tindakan yang luas yang dapat dimanfaatkan penyelidik untuk dapat melakukan berbagai tindakan apapun kepada seseorang yang dicurigai dan dianggap melakukan tindak pidana," kata dia.
Julius berharap DPR dan pemerintah menghapus kewenangan bermasalah dari pasal-pasal di RUU KUHAP.
"Menghapus ketentuan pasal berkaitan pemberian kewenangan terhadap penyelidik yang bersifat luas dan subyektif serta cara-cara penyelidikan serupa upaya paksa dan berpotensi melanggar HAM," katanya.
Potensi Melanggar HAM
Dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, berpendapat sama dengan Julius. Dia menekankan Pasal 16 dalam RUU KUHAP berpotensi melanggar HAM.
Menurutnya, sebagai aparat penegak hukum di negara yang menjunjung tinggi peradaban, tindakan membuntuti yang menyerupai aksi spionase tak perlu dilakukan hanya demi penyelidikan.
"Penyelidikan itu bagian dari penyidikan, hanya saja tugasnya memastikan ada atau tidak peristiwa pidana yang dilaporkan atau yang diadukan," kata dia.
Dia mengungkapkan bahwa kepolisian cukup memanggil para terduga pelaku ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Fickar meyakini selama proses penyelidikan dilakukan dengan baik dan sesuai aturan, saksi maupun pelaku bakal hadir saat dipanggil.
"Undang saja pihak-pihak yang dibutuhkan keterangannya, pasti mereka datang kok. Masyarakat segan dan menghormati kepolisian, mereka pasti membantu, asalkan kepolisian tidak mengecewakan masyarakat dengan tindakan-tindakan yang merugikan," katanya.
Kewenangan sebagai Upaya Membongkar Kasus Pidana
Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, membantah bila Pasal 16 dalam RUU KUHAP berpotensi membuat aparat penegak hukum menyelewengkan kewenangan mereka. Rudianto menegaskan selama kasus masih dalam proses penyelidikan, aparat penegak hukum tidak memiliki daya paksa untuk memanggil atau meminta keterangan.
Rudianto berpendapat cara-cara seperti pembuntutan, penyamaran, pembelian terselubung, hingga penyerahan di bawah pengawasan, lazim digunakan sebagai bentuk upaya untuk membongkar hingga mengungkap suatu kasus pidana.
"Sehingga ada langkah-langkah, cara-cara tersendiri untuk membongkar atau mengungkap peristiwa pidana," katanya.
Meski demikian, Politisi Nasdem tersebut kembali menegaskan bahwa selama proses penyelidikan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pemaksaan. Oleh karenanya, dia meminta masyarakat untuk tidak berspekulasi terhadap proses RUU KUHAP yang hingga saat ini masih dalam proses pembahasan.
"Jadi tidak perlu –apa namanya– kita menduga-duga. Artinya belum demi hukum, sehingga belum bisa melakukan langkah-langkah yang sifatnya upaya paksa tadi," jelasnya.
Dia juga membantah bila ada yang ditutup dalam proses pembahasan RUU KUHAP. Dia meminta seluruh elemen masyarakat untuk ikut serta memantau jalannya pembahasan yang dipantau dalam siaran langsung di YouTube Komisi III.
"Khusus pembahasan KUHAP ini terbuka untuk umum, live streaming, teman-teman bisa buka disitu," kata dia.

Rudianto juga menambahkan bahwa klausul daftar inventarisasi masalah (DIM) yang saat ini sedang dibahas di DPR merupakan usulan dari pemerintah. Usulan tersebut sebelumnya juga sudah dibahas secara mendalam di internal pemerintah yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga, salah satunya dari polisi sebagai aparat penegak hukum (APH).
"Sehingga mungkin dengan DPR, pada saat pembahasannya sepaham, seirama. Ya, karena norma-normanya sudah ada keseimbangan antara negara dan warga negara," kata dia.
Dirinya menambahkan dengan keberadaan RUU KUHAP yang kini sedang dibahas, diharapkan kinerja aparat penegak hukum semakin mudah untuk dikontrol. Sehingga ada upaya untuk saling mengawasi antara pemerintah dengan warganya.
"KUHAP ini kan bagaimana mengontrol, mengawasi, supaya tidak ada kekuasaan yang diberikan kepada APH secara powerful, jadi keseimbangan, jadi saling kontrol antara APH itu sendiri," kata dia.
Bentuk kontrol terhadap kewenangan
Sementara itu Anggota Kompolnas, Choirul Anam, mengatakan Pasal 16 dalam draf RUU KUHAP berfungsi sebagai bentuk kontrol dan pengaturan atas kerja-kerja kepolisian. Menurutnya, jika proses penyelidikan tak diatur seperti yang ada saat ini, aparat kepolisian dan penegak hukum lainnya dikhawatirkan semakin menyalahgunakan kekuatan.
"Tapi kalau nggak diatur, malah potensi abuse of power-nya malah semakin besar, karena nggak jelas aturannya. Kalau menurut saya, apapun penyelidikan harus diatur sedemikian rupa, dikontrol sedemikian rupa," kata Anam saat dihubungi Tirto, Rabu (16/7/2025).
Eks Komisioner Komnas HAM ini justru menyoroti ketentuan lain. Dia mengatakan jika ada satu klausul dalam RUU KUHAP terbaru yang jarang mendapat sorotan adalah mengenai kewenangan penyelidikan yang diawasi penyidik.
"Salah satu di RUU KUHAP itu mekanisme kontrolnya adalah sampai level rencana, rencana itu harus dilaporkan dan disetujui oleh penyidik. Yang kedua setelah mereka melakukan penyelidikan itu harus juga dilaporkan hasilnya apa, dan itu menjadi bahan untuk gelar perkara apakah satu kasus bisa dinaikkan, ke proses penyidikan atau proses pro justisia," katanya.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































