tirto.id - Perdana Menteri Malaysia Najib Razak berencana memberikan status bumiputera (pribumi) untuk komunitas muslim India di Malaysia. Rencana ini ditengarai sebagai upaya UMNO, partai Najib, untuk memperluas basis calon pemilih menjelang pemilu pada Juni 2018.
UMNO, partai utama dalam koalisi Barisan Nasional, menghadapi tantangan dari partai baru yang didirikan mantan perdana menteri Mahathir Mohammad, Parti Pribumi Bersatu Malaysia (PPBM), yang tengah menjalin kolaborasi dengan Democratic Action Party (DAP) yang didominasi etnis Cina.
Langkah lain yang diambil oleh UMNO adalah mendekati Parti Islam Se-Malaysia (PAS), rival terberat UMNO selama bertahun-tahun. PAS pernah bergabung dengan Pakatan Rakyat yang terdiri dari para oposisi penentang Barisan Nasional (termasuk UMNO) di dalamnya, seperti DAP dan PKR (Partai Keadilan Rakyat) hingga tahun 2015. Tanpa PAS, dan diiringi oleh beberapa partai baru, partai-partai bekas Pakatan Rakyat kemudian membentuk Pakatan Harapan.
“Kami muslim, PAS juga muslim. Kita bisa jalan bersama,” ucap Sabri Alwi kepada Bloomberg. Sabri Alwi adalah ketua UMNO di negara bagian Kuala Terengganu, basis utama PAS.
Tawaran Najib nampaknya merupakan upaya putus asa yang mencerminkan krisis politik yang melanda kabinetnya sejak 2015 lalu. Saat itu terbongkar skandal aliran dana sebesar $675 juta ke rekening Najib yang diduga berasal dari dana investasi nasional 1Malaysia Development Berhad. Kembalinya Mahathir ke panggung politik—yang disambut oleh mayoritas penduduk di desa-desa—serta turunnya nilai tukar ringgit terhadap dolar secara drastis pada 2015 (terburuk setelah krisis ekonomi 2008) juga mengancam kekuasaan UMNO yang tidak tergoyahkan sejak 1957.
Ras dan Politik di Malaysia
Politik rasial di Malaysia punya sejarah panjang. Pasal 153 dalam konstitusi Malaysia (mulai berlaku 1957) yang turut disusun oleh pemerintah kolonial Inggris tersebut mengatur agar warga Melayu mendapat tempat yang eksklusif dalam kehidupan publik.
Komposisi penduduk Malaysia pada waktu itu diisi sebagian besar orang Melayu (55%), Cina (35%) dan India (10%). Orang Melayu menguasai 1,5 persen dari seluruh kekayaan nasional. Orang India dan Cina sebagian besar bekerja di sektor-sektor perbankan dan industri di kota-kota, sementara mayoritas orang Melayu adalah tuan tanah atau petani di daerah pedesaan.
Menurut sensus 2016, prosentase orang Melayu sebesar 67,4%, Cina 24,6,%, dan India 7,3% pada 2016.
Kerusuhan besar pada 13 Mei 1969 sebagai buntut pemilu yang nyaris memenangkan DAP menjadi titik mula pelaksanaan konstitusi. Dalam kerusuhan rasial tersebut, toko-toko Cina dibakar dan dua ratus nyawa melayang. Versi resmi pemerintah menuduh para aktivis DAP mendalangi kerusuhan. Sementara menurut kajian-kajian independen pasca-kerusuhan, situasinya lebih kompleks. Ada dugaan Tun Abdul Razak mendalangi kerusuhan untuk mengkudeta Tunku Abdul Rahman yang saat itu menjabat perdana menteri.
Setelah kerusuhan, pemerintah menggulirkan NEP (New Economic Policy). Melalui kebijakan ini, pemerintah menetapkan kuota berbasis ras dalam bisnis dan pendidikan, mempermudah akses kredit dan kontrak-kontrak karya di sektor publik untuk orang Melayu.
Sasarannya, pada 1990 orang Melayu harus menguasai setidaknya 30 persen dari perdagangan dan segala sektor industri dalam negeri. Program ini berhasil. Sieh Lee Mei Ling dalam The Transformation of Malaysian Business Groups (1992) mencatat bahwa pada 1985, 69 persen perbankan dan lembaga keuangan serta 32 persen perkebunan dikuasai orang Melayu.
Dampak jangka panjang dari NEP (yang resmi berakhir pada 1990) adalah terciptanya kapitalisme kroni yang melibatkan pengusaha Melayu dan politikus Melayu.
Menulis untuk The Guardian, jurnalis Nazry Bahrawi menyatakan bahwa minoritas Cina dan India pada awalnya sepakat dengan program NEP. Namun lama kelamaan, mereka merasa diperlakukan seperti warga kelas dua. “Banyak orang-orang Cina kaya meninggalkan Malaysia untuk mencari peluang di tempat lain.”
Sementara mayoritas kelas pekerja India, demikian Bahrawi, tak seberuntung warga Cina yang bisa pindah dari Malaysia.
Di sisi lain, sebagian besar kelas menengah dan kelas pekerja Melayu juga mulai memprotes kebijakan-kebijakan serupa NEP yang masuih terus berlangsung, karena hanya menguntungkan segelintir warga yang memiliki koneksi dengan elit.
Dalam Koalisi Barisan Nasional yang telah berkuasa puluhan tahun, selama ini UMNO menggandeng Malaysian Indian Congress (MIC) dan Malaysian Chinese Association (MCA). Namun, hari ini semakin banyak warga Cina dan India yang memilih partai oposisi yang bergabung dalam Pakatan Rakyat (2008-2015) dan Pakatan Harapan (sejak 2015).
Dilema Melayu
Pada dasarnya, definisi Melayu menurut konstitusi Malaysia sejak awal pun sangat problematis. Dalam pasal 160 disebutkan bahwa di antara syarat-syarat menjadi orang Melayu adalah beragama Islam, mengamalkan adat budaya Melayu, menggunakan bahasa Melayu, dan lahir dari orang tua yang lahir di Federasi Malaysia. Walhasil, jika seseorang pindah agama dari Islam, ia akan kehilangan statusnya sebagai Melayu. Sebaliknya, warga non-Melayu bisa menjadi Melayu jika memenuhi syarat-syarat di atas.
Sebagaimana dituturkan presiden Liga Muslim Penang Najmudeen Kader, Muslim India sebenarnya sudah diklasifikasikan sebagai bumiputera, bersama-sama dengan kelompok-kelompok etnis lain seperti Malabari, Pakistan, Arab, Jawa, dan Bugis, “karena memenuhi syarat yang ditetapkan konstitusi.”
Maka tidak sedikit yang menyambut dingin proposal Najib. Malaysian Insight melaporkan, sejumlah kalangan Melayu mengatakan kebijakan ini berpotensi “memecah belah”. Sementara bagi banyak warga keturunan India, manfaat dari status Melayu pun dipertanyakan karena tidak ada jaminan kebijakan tersebut akan mengubah nasib mereka secara ekonomi yang telah terjangkit kroniisme.
Soal-soal teknis menyangkut status mereka sebagai generasi ketiga pendatang India juga menjadi sumber perdebatan. Bagi sebagian warga lain, jika Muslim India bisa mendapat status warga pribumi, mengapa yang lainnya tidak?
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Maulida Sri Handayani