tirto.id - Tim Riset Keamanan Nasional di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Kamnas P2P LIPI) mendapati, rawannya penyalahgunaan intelijen Indonesia mengusik demokrasi. Koordinator tim tersebut, Diandra Megaputri Mengko menegaskan, perlu ada pembenahan yang serius terhadap pengawasan intelijen Indonesia.
“Ditinjau dari implikasinya, Indonesia menghadapi persoalan paling serius pada kontrol terhadap intelijen, akuntabilitas intelijen, serta masalah kepercayaan dan ketersediaan informasi publik,” kata Diandra dalam diskusi daring, Rabu (3/3/2021).
Kamnas P2P LIPI merampungkan kajian bertajuk 'Menguak Kabut Pengawasan Intelijen di Indonesia'. Mereka mengungkap 55 permasalahan pengawasan intelijen yang terdapat pada 7 aktor pengawas intelijen di Indonesia, selama satu dekade terakhir.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi aktor pengawas dengan masalah terbanyak (14), disusul publik (11), presiden (10). Sedangkan lembaga independen negara seperti Komnas HAM, Komisi Pemberantasan Korupsi, Ombudsman, dan Badan Pemeriksa Keuangan hanya 7 masalah. Sementara ranah internasional seperti aktor negara dan non-negara: pengawas internal intelijen (Kepala Badan Intelijen Negara Dewan Kehormatan Intelijen Negara) serta pengadilan negeri memiliki 4 masalah.
“Model pengawasan intelijen pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 belum efektif mendorong intelijen yang profesional dan demokratis. Berbagai kasus dugaan politisasi intelijen, penyalahgunaan intelijen, hingga inefektivitas intelijen masih mendapatkan respons pengawasan yang minim,” ujarnya.
Semua permasalahan itu dibagi 6 kategori utama pengawasan intelijen Indonesia. Mulai dari regulasi, transparansi, konflik kepentingan, kelemahan kapasitas aktor pengawas, hingga.
Berdasarkan analisis Kamnas P2P LIPI, tiga masalah utama pengawasan intelijen adalah konflik kepentingan (20 masalah), kelemahan atau kekosongan regulasi (18 masalah), dan kelemahan kapasitas aktor pengawas (8 masalah). Tiga masalah lainnya ihwal kompleksitas ancaman (4); intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi (3); dan persoalan tranparansi (2).
Lantas 55 permasalahan itu berimplikasi kepada efektivitas intelijen dan demokrasi. Diandra melanjutkan, pengawasan tidak ditujukan untuk pengawasan itu sendiri, melainkan sebagai medium untuk memastikan intelijen yang profesional dan demokratis. Maka tim membagi tiga klaster implikasi.
Klaster I berimplikasi kepada efektivitas intelijen dan demokrasi; Klaster II cenderung kepada implikasi terhadap demokrasi; Klaster III berimplikasi terhadap aktivitas intelijen.
Percepat Pembenahan Perangkat Pengawasan
Busyro Muqoddas, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia berujar, lembaga intelijen adalah bagian dari lembaga negara yang harus diletakkan dalam sistem negara modern. Tentu kinerjanya mengacu terhadap prinsip supremasi hukum dan adab. Lantas perlukah pengawasan intelijen berbasis kerakyatan?
Jawabannya, iya. Namun ada disparitas antara teori dan praktik. Busyro menyatakan, seharusnya badan intelijen itu berbasis prinsip checks and balances. Tetapi dalam realitasnya malah berulang kali menjadi bagian ‘akrobat’ dalam isu politik.
"Perlu evaluasi dari elemen masyarakat sipil terhadap kinerja, paradigma, dan peraturan kelembagaan badan intelijen," kata Busyro dalam diskusi daring, Rabu.
Eks pimpinan KPK itu juga mengingatkan agar segera dilakukan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Dia mengingatkan, perancangan naskah akademik untuk revisinya tak hanya dikuasai oleh DPR. Namun wajib melibatkan masyarakat sipil.
Upaya berikutnya adalah transparansi sumber dana dan akuntabilitas, serta pelibatan lembaga negara yang independen. Hal terpenting lainnya, lanjut Busyro, kualifikasi Kepala BIN idealnya berlatar belakang sipil yang mumpuni di bidangnya.
"Karena pendidikan militer dan polisi itu tidak ada tradisi demokrasi matang, [malah] tradisi jauh dari demokrasi," ujarnya.
Dalam kajian tim Kamnas P2P LIPI, lembaga negara independen dapat turut serta mengawasi badan intelijen, misalnya Komnas HAM. Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga menimpali, perlu ada pendalaman wewenang dari masing-masing lembaga negara independen.
“Yang diungkap dalam kertas kerja, itu bisa jadi titik awal didiskusikan lebih dalam lembaga negara apa saja yang kiranya bisa dilibatkan. Juga pendalaman tugas dan wewenang yang relevan untuk pengawasan,” kata Sandrayati dalam diskusi daring, Rabu.
Diperlukan juga, kata Sandrayati, pengembangan model pengawasan, termasuk memastikan internalisasi prinsip HAM, prinsip antikorupsi, prinsip perbaikan pelayanan publik ke dalam kerja badan intelijen. Eksplorasi kemungkinan memerankan lembaga negara independen untuk menyelesaikan masalah pengawasan yang telah diidentifikasi.
BIN Berdalih, Pengawasan Sudah Maksimal
Deputi VII Bidang Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Negara Wawan Purwanto merespons temuan LIPI. Menurutnya, dalam menjalankan tugas dan kewenangan, BIN telah berpedoman pada peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Dalam penyelenggaraan intelijen, berpedoman pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011.
Berdasar undang-undang tersebut, menunjukkan tidak adanya kekosongan regulasi. Wawan melanjutkan, kajian yang dilakukan LIPI pada dasarnya menyoroti masalah pengawasan yang menginginkan lembaga pengawasan intelijen agar dapat dilakukan lebih optimal.
"Pengawasan lembaga intelijen pada dasarnya telah dilakukan secara paripurna. Hal ini mengingat pengawasan dilakukan dari sisi internal maupun eksternal," jelas Wawan kepada reporter Tirto, Kamis (4/3/2021).
Pengawasan Internal, kata Wawan, dilakukan oleh Dewan Kehormatan Intelijen Negara. Sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi I DPR RI.
Dengan kemajuan teknologi dan terbukanya arus informasi, menurut Wawan, masyarakat dapat turut mengawasi kinerja lembaga intelijen. Kini lembaga Intelijen jauh berbeda dengan periode kepemimpinan di era sebelum ada UU: hanya berdasarkan Keputusan Presiden.
BIN juga telah berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan dan juga lembaga pengawasan independen seperti BPK dan KPK dalam hal penggunaan anggaran. Dengan demikian, terang Wawan, asas transparansi dan akuntabilitas sudah terpenuhi. Adanya reformasi tersebut mencerminkan bahwa BIN telah melakukan terobosan yang diharapkan dapat mewujudkan kontribusi positif pada keselamatan bangsa.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Dieqy Hasbi Widhana