tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia melakukan impor tepung telur sejak awal tahun hingga Mei 2023 sebesar 772,3 ton senilai 5,1 juta dolar AS. Kode komoditas tepung telur yaitu HS 0408.
Kode HS ini memiliki spesifikasi telur unggas, tanpa cangkang, dan kuning telur, segar, dikeringkan, dikukus atau direbus, dibentuk, beku atau diawetkan secara lain, mengandung tambahan gula atau bahan pemanis lainnya maupun tidak.
Impor ini justru masuk ditengah klaim Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi, yang menyebut produksi telur surplus 10 persen. Namun, ia tak menampik adanya impor tepung telur.
"Coba tolong dicek, kok telur itu susah kita [malah] impor. Mungkin tepung telur. Karena kalau telur mindahin dari sini ke Papua saja susah. Ngapain impor dan neraca kita surplus 10 persen kok untuk telur," katanya kepada media beberapa waktu lalu.
Anehnya, produksi telur yang berlimpah tidak diikuti oleh kemampuan untuk memenuhi kebutuhan tepung telur dalam negeri. Lalu, apa yang terjadi?
Pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian mengatakan, Indonesia sebetulnya bisa memproduksi apapun termasuk tepung telur. Akan tetapi produksi tersebut perlu dibantu dengan pendampingan, agar bisa memenuhi standar.
"Hanya saja yang menjadi soal adalah UMKM ini seringkali bingung menjualnya kemana. Mereka bisa saja memproduksinya kalau ada marketnya. Disitulah peranan pemerintah seharusnya bisa mempertemukan antara supply dan demand. Karena tidak ketemu jadinya ya menempuh jalan instan dengan impor," ucap Eliza saat dihubungi Tirto, Jakarta, Senin (19/6/2023).
Eliza pun memberikan contoh seperti tepung singkong. Padahal untuk tepung singkong, Indonesia merupakan produsen kelima terbesar singkong di dunia. Tapi, tetap saja Indonesia masih melakukan impor tepung singkong.
"Ini karena tidak ketemu antara supply demand. Padahal UMKM kita sangat bisa membuatnya," jelasnya
Menurut Eliza, disinilah pentingnya membangun linkage UMKM dengan industri menengah dan besar. UMKM di Indonesia sebetulnya mampu menyediakan bahan baku pendukung industri, dengan demikian impor-impor ini bisa dikurangi.
"Karena sebetulnya UMKM kita mampu, hanya saja mereka kebingungan marketnya," imbuhnya.
Eliza menyebut, jika ingin mengurangi impor perlu dipertemukan dulu antara supply and demand nya dalam negeri. Sebab, hal ini perlu dibangun agar rantai pasok industri bisa melibatkan produk-produk UMKM dalam negeri.
Penulis: Hanif Reyhan Ghifari
Editor: Anggun P Situmorang