Menuju konten utama

Raja Burger yang Tak Lagi Malu Mengkonsumsi Ayam

Pemasaran yang unik dan kreatif merupakan salah satu jalan untuk bisa bertahan menghadapi perubahan dunia bisnis yang sangat cepat. Mereka yang tak adaptif terbukti terseok-seok mempertahankan pangsa pasarnya. Lantas, bagaimana pemasaran yang unik dan kreatif sehingga membuat perusahaan mampu bertahan lama?

Raja Burger yang Tak Lagi Malu Mengkonsumsi Ayam
Gerai Burger King di Jakarta. [Tirto/Andrey Gromico]

tirto.id - "Adaptasi atau mati" Petitih galak ini selalu diucapkan para motivator marketing bisnis dengan berbuih-buih. Hidup mati dunia bisnis tergantung kecepatan adaptasi terhadap kondisi pasar. Hari ini pasar berubah secepat kedipan mata. Siapa yang tak berinovasi, dia akan mati.

Pada perusahaan junkfood multinasional seperti McDonald's, KFC atau Burger King, unsur penting dalam marketing kerap mereka lakukan adalah cultural proximity alias pembauran budaya masyarakat. Kecenderungan ini bisa dilihat dari varian kuliner lokal yang diadaptasi dalam menu makanan.

Dalam konteks strategi penjualan yang menyasar kebutuhan dasar ini, KFC sudah melakukannya sejak lampau. KFC menginvansi Asia Timur dan Asia Tenggara dengan tambahan menu nasi. Semua sepakat bahwa makanan pokok masyarakat di dua wilayah ini adalah nasi. Tak lengkap rasanya jika sehari belum makan nasi.

KFC masuk ke Asia bagian timur sejak 1967, lewat Filipina. Kehadiran mereka di sana untuk menyasar warga dan tentara AS yang sedang getol-getolnya berperang dengan Vietnam. Dekade 70-an, KFC mulai tersebar di Malaysia, Jepang, Singapura, dan Indonesia. Dekade 80-an, ekspansi itu semakin diperluas ke Hong Kong, Korea Selatan, Cina, Taiwan, dan Thailand.

Berkat nasi, KFC sukses diterima oleh masyarakat. Di lain sisi, KFC mengadopsi menu-menu lokal lain untuk menyesuaikan dengan cita rasa setempat. Untuk poin ini, sang rival McDonald’s melakukan hal yang sama. Namun, inovasi yang mereka lakukan tak seekstrem KFC yang mau menyingkirkan ego untuk mempromosikan makanan-makanan barat di Asia.

Sebagai contoh, untuk mempromosikan Burger di Jepang, McDonald’s tetap bersikukuh identitas dan bentuk burger tak boleh diubah. Agar bisa tetap rasa lokal, daging sapi diganti menjadi daging ikan. Jadilah burger teriyaki.

Contoh lain, ketimbang menghidangkan nasi seperti bentuk lazimnya, mereka lebih memilih membentuk nasi itu menyerupai roti burger. Jadilah burger nasi. Antropolog budaya Asia Timur asal Belanda, Manya Koetse menyebut fenomena ini sebagai Glocal – unsur global yang bercampur dengan lokal.

Namun, kebebalan ini pula yang membuat McDonald's kalah bersaing dengan KFC di Asia. Data Euromonitor 2015 mencatat KFC menguasai hampir 6,8 persen bisnis restoran di Cina, McDonald’s hanya 2 persen saja. Dalam lingkup restoran fast food di Jepang, KFC menguasai hampir 70 persen. Pada mayoritas negara Asia Tenggara rata-rata pangsa pasar fast food mereka selalu di atas 55 persen.

Sadar akan hal ini, McDonald’s berubah. Menu nasi mulai banyak beredar awal dekade 2000-an. Di Cina, kabar itu datang sangat telat. Nasi baru mulai masuk gerai-gerai McDonald’s pada tahun 2013. Keputusan beradaptasi McDonald’s ini cukup telat.

Lalu bagaimana dengan Burger King? Jika dibandingkan dengan McDonald's atau KFC, Burger King tentu sudah tertinggal jauh. Ekspansi mereka di Asia cenderung telat. Mereka hanya terfokus di Thailand, Korea Selatan, dan Filipina saja.

Di pasar yang begitu besar seperti, Cina, Jepang, Vietnam, Indonesia (sempat masuk namun keluar lagi tahun 1997), Burger King masuk tahun 2006 ke-atas. Tidak hanya soal urusan nasi, McDonald, Burger King dan KFC pun mengadopsi kuliner lokal Asia lainnya, mulai dari teriyaki, bubur ayam, bulgogi, sinchuan, nasi kebuli hingga rumput laut.

Dominasi KFC di Asia selama beberapa dekade berhasil membentuk citra bahwa menu utama junkfood di Asia adalah nasi dan ayam goreng. Bagi McDonald dan Burger King – yang di mana produk utama mereka bukan ayam, mau tak mau kondisi itu mengubah kebijakan mereka.

Di Indonesia, untuk bisa bersaing melawan KFC, McDonald's sudah melakukan itu sejak dulu. Dalam konteks promosi, McDonald's pun tidak segan menampilkan ikon Ronald McDonald's memakan ayam krispi layaknya Colonel Sanders di KFC.

Kondisi ini berbeda dengan Burger King. Meski sudah beroperasi di Indonesia sejak 2007, mereka baru memperkenalkan menu nasi dan ayam di Indonesia pada 2012. Di sisi lain, mereka pun masih tetap enggan mempromosikan menu baru ini secara total. Identitas burger masih tetap dominan.

Namun, kondisi itu berbalik tahun ini. Pada tanggal 29 September lalu, kali pertama Burger King merilis video iklan di Youtube yang mempromosikan menu ayam goreng. Kamera menyoroti ayam goreng yang terlihat renyah dan empuk saat dicicip sang aktor. Iklan ini mirip seperti iklan KFC atau McDonald. Pada bulan puasa, Burger King pun gencar mempromosikan paket buka puasa dengan menu nasi, ayam, pisang goreng dan teh manis.

Lalu kenapa mereka kini begitu serius mempromosikan nasi dan ayam krispi itu? Di bawah CEO Baru, Daniel Schwartz, Burger King kini tengah serius menggarapi pasar Asia. Di saat KFC dan McDonald banyak menutup ritelnya, Burger King malah bertambah pesat.

Dikutip dari InsideRetail kenaikan penjualan Burger King di Asia tahun lalu mencapai 5,3 persen - lebih baik ketimbang Amerika Latin 4,9 persen atau Amerika Utara 0,8 persen. Dalam jumlah ritel, jika pada 2011 ritel mereka hanya 908 ritel, pada 2016 naik 39 persen jadi 1502 ritel.

RJ Hottovy, analis di Morningstar menilai strategi cerdas Burger King berjaya di Asia disebabkan kebijakan mereka untuk bekerja dengan mitra lokal alias franchise. Proximiti kultur membuat proses marketing semakin mudah. Burger King di Indonesia dikelola oleh PT Mitra Adi Perkasa. Kebijakan MAP dengan mempromosikan ayam krispi sebagai menu utama diganjar “Most Improved Operator” oleh Burger King Pacific. Di Indonesia, ke depannya kita akan Raja Burger itu tidak akan lagi malu-malu mengkonsumsi ayam di depan umum.

Baca juga artikel terkait BURGER KING atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Marketing
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti