Menuju konten utama

Rahasia Di Balik Kenikmatan Perempuan

Pagar tabu yang dipacakkan pada masa yang telah lama berlalu, betapa pun telah lapuk, tetap ada dan menjauhkan manusia dari hak atas tubuhnya sendiri. Salah satunya adalah yang menyangkut kenikmatan tubuh, khususnya dalam hubungan intim.

Rahasia Di Balik Kenikmatan Perempuan
ilustrasi orgasme wanita [Foto/Shutterstock]

tirto.id - "Selama ribuan tahun di seluruh dunia, berkat perpaduan kefanatikan beragama dan adat yang bengah, orang-orang mengidap perasaan bersalah yang menyesatkan dan kebingungan tentang seks," tulis Alain de Botton dalam How to Think More about Sex.

Pemikir populer itu meneruskan: "Mereka mengira tangan mereka bakal copot andai mereka melakukan masturbasi. Mereka pikir mereka akan direbus dalam periuk raksasa penuh minyak apabila mereka melirik betis seseorang. Mereka tak paham sedikit pun tentang ereksi dan klitoris. Mereka menyedihkan."

De Botton mencatat bahwa perubahan besar akhirnya terjadi di antara akhir Perang Dunia Pertama (1918) dan peluncuran satelit Soviet, Sputnik 1 (1957). Pada waktu itu, katanya, orang-orang mulai terbuka dan jadi lebih nyaman membicarakan seks, yang sesungguhnya hal mendasar dalam kehidupan manusia. Itulah ironi. Itulah gajah besar metaforis yang memamahbiak di depan hidung kita namun kita tak melihatnya.

Keterbukaan itu menjadi pijakan untuk menghadapi hubungan seksual dengan kepercayaan diri dan kegembiraan. Seks perlahan mulai diterima sebagai kegiatan pengisi waktu luang yang bermanfaat, menyegarkan, dan menyehatkan (agak mirip tenis, kata de Botton), alih-alih sekadar sebagai cara menggandakan diri alias menghasilkan keturunan.

Tetapi, rupanya, hingga kini sikap luwes itu tak kunjung kaffah. Pagar tabu yang dipacakkan pada masa yang telah lama berlalu, betapa pun telah lapuk, tetap ada dan menjauhkan kita dari hak atas tubuh sendiri. Salah satu upaya menambah pagar tabu terjadi baru-baru ini, saat seks senang-sama-senang diupayakan agar dikategorikan perbuatan kriminal dan patut dikenai sanksi pidana.

Itu baru soal seks saja. Urusan seks bagi perempuan, atau khususnya kenikmatan perempuan dalam berhubungan intim, adalah tabu yang lebih besar lagi.

Itulah sebabnya kita memerlukan penyebarluasan pengetahuan dan pendidikan kesadaran tentang seksualitas. Di Indonesia, salah satu orang yang giat melakukan hal tersebut adalah Firliana Purwanti, seorang perempuan berusia 39 tahun yang mendapat julukan 'Orgasm Lady.'

Firliana adalah seorang aktivis hak asasi manusia dan kedaulatan perempuan. Pada 2010 silam ia menerbitkan buku berjudul The O Project yang menghimpun pengalaman seksual 16 orang perempuan Indonesia dari berbagai latar belakang, mulai dari suku, agama, hingga orientasi seksual. Firliana yakin bahwa seks dapat menjadi jalan pemberdayaan bagi kaumnya.

“Saya ingin menawarkan cara yang segar dan menyenangkan untuk membicarakan hak-hak perempuan,” tulisnya dalam sebuah artikel yang diterbitkan The Guardian pada 4 Maret 2015. Meski bicara tentang perempuan, yang ia ajak bicara lewat buku itu adalah semua orang. Bahkan, menurutnya, sebagian besar pembaca The O Project justru laki-laki.

“Akhirnya, kita melibatkan laki-laki dalam pembicaraan tentang soal-soal perempuan,” lanjutnya.

Sebagaimana terbaca dari judul, pokok utama buku itu ialah orgasme. Orgasme adalah fungsi tubuh, yang dimiliki baik laki-laki maupun perempuan, yang secara spesifik menandai situasi puncak dalam seks. Narasi dasar gagasan Firliana tentu tak sukar diikuti: setiap orang berhak atas tubuhnya sendiri, maka siapa pun berhak mengalami orgasme, selama cara memperolehnya tidak merugikan orang lain (atau ayam atau anjing atau kuda nil atau makhluk hidup lainnya) dalam bentuk apa pun.

Firliana mengaku menemukan dalam penelitiannya bahwa para perempuan yang mengalami orgasme cenderung berdiri sama tinggi dalam hubungan pribadi mereka dengan pasangan masing-masing. Perempuan-perempuan itu juga luwes dalam mengekspresikan diri dan cenderung aman dari kekerasan.

“Saya percaya,” tulisnya, “perempuan yang mencapai orgasme … dapat mengambil keputusan-keputusan yang mandiri atas tubuh mereka ... Orgasme bagi segenap perempuan adalah ambisi saya, sebab itulah penanda utama bahwa mereka berdaulat.”

Tapi, sebentar, mungkinkah ada perempuan yang tidak mengalami orgasme sekalipun ia aktif secara seksual dan hubungannya dengan sang pasangan baik? Apabila ada, bukankah menempatkan orgasme sebagai standar atau “penanda utama” kedaulatan mereka adalah sama tak adilnya dengan moralitas yang mengatur agar para perempuan berlaku pasif dan mengabaikan kenikmatan dalam seks dan hanya berperan sebagai mesin pencipta bayi?

Jawaban kedua pertanyaan itu positif.

Dunia medis mengenal istilah anorgasmia yang berarti ketidaksanggupan mencapai orgasme dan keadaan itu dapat terjadi baik pada perempuan maupun laki-laki. Menurut The Society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada (SOGC), anorgasmia menimpa sekitar 10 persen perempuan. Itu berarti ada lebih dari 341 juta orang perempuan yang mengalaminya di seluruh dunia. Memberlakukan penyamarataan bahwa orang sebanyak itu belum berdaulat tentu keliru.

Anorgasmia dapat berarti si subjek sama sekali tidak pernah mengalami orgasme dengan cara apa pun (anorgasmia primer) atau subjek pernah namun tak lagi bisa mengalami orgasme (sekunder). Anorgasmia dapat berlaku secara keseluruhan, yaitu orgasme muskil dicapai dengan cara apa saja, atau situasional, dapat dialami hanya dalam situasi tertentu—misal: subjek bisa mengalami orgasme apabila klitorisnya dirangsang menggunakan tangan, namun tidak lewat penetrasi.

Menurut Mayo Clinic, penyebab anorgasmia dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu fisik, psikologis, dan masalah dalam hubungan. Dua sebab terakhir barangkali dapat dikikis lewat penyebaran pengetahuan dan kesadaran tentang seksualitas, namun sebab pertama, karena sifatnya yang definitif, cenderung lebih sukar ditangani.

Beberapa contoh sebab fisik yang menyebabkan anorgasmia adalah (i) penyakit-penyakit medis yang mempengaruhi siklus respons seksual, termasuk diabetes dan sclerosis majemuk, (ii) masalah-masalah ginekologis, misalnya trauma peninggalan operasi kanker rahim, (iii) efek samping penggunaan obat-obatan seperti antidepresan dan obat pengatur tekanan darah, (iv) efek samping alkohol dan rokok, dan (v) penuaan.

Selain tidak adil kepada para perempuan yang dilanda anorgasmia, pemberdayaan yang berbahan bakar orgasme perempuan juga menimpakan beban yang tak semestinya di punggung pasangan mereka. Seandainya orang-orang itu telah berusaha secara maksimum namun pasangannya tetap tak sanggup mengalami orgasme, sedangkan “orgasme harga mati” dan “orgasme sama dengan kedaulatan” tetap berlaku, boleh jadi pada satu titik, kedua belah pihak malah mengalami depresi dan penyusutan rasa percaya diri dan macam-macam situasi buruk lain yang menyengsarakan.

Meski perlu diusahakan oleh tiap-tiap pasangan, orgasme perempuan mungkin ada baiknya diperlakukan secara lebih santai. Bukankah inti upaya Firliana, misalnya, adalah pesan bahwa yang utama dalam hubungan romantis yang memberdayakan perempuan ialah kesetaraan dan kepedulian timbal balik.

Tentang tanggung jawab dua arah itu, Firliana punya pernyataan bagus yang dikutip oleh The Star pada 31 Agustus lalu: “Apabila pasanganmu abai pada kebahagiaan atau kenikmatan seksualmu, itu berarti keberadaanmu sebagai manusia sesungguhnya sedang ditampikkan.” Bila penampikan itu dilakukan oleh negara, tentu soalnya menjadi semakin serius.

Baca juga artikel terkait PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Maulida Sri Handayani