tirto.id - Olahraga lari yang popularitasnya kian meningkat seiring waktu, tak hanya jadi pilihan orang Indonesia untuk memenuhi kebutuhan akan aktivitas fisik. Olahraga lari juga jadi lahan basah bagi para pemilik kamera. Mereka memotret pelari secara acak dan "bebas", mengunggahnya di lokapasar, dan mendapat cuan dari sana.
Pasca Pandemi Covid-19, lari tak lagi dipandang sebatas olahraga kardio untuk melatih kebugaran tubuh. Faisal Adam Rahman, dkk., dalam artikel jurnalnya berjudul "Ajang Lari Sebagai Olahraga Rekreasi" (2024), menjelaskan bahwa olahraga tersebut kini memiliki dimensi sosial dan hiburan sekaligus.
Seiring menjamurnya acara serupa maraton, jelas Faisal, lari dapat dimaknai sebagai sarana interaksi sosial. Itu sekaligus menjadi cara para peserta untuk “mengikuti tren agar tidak dianggap ketinggalan dan melewatkan pengalaman sosial.”
Tren mengikuti ajang lari membuat pelari amatir terus bermunculan. Jumlah pelari yang meningkat berbanding lurus peluang bisnis di baliknya. Sebagai bisnis, ajang olahraga lari tak main-main. Dalam acara Borobudur Marathon 2024, misalnya, perputaran ekonominya mencapai Rp73,9 miliar.
Salah satu lini bisnis yang dapat melihat celah dari fenomena lari adalah fotografi. Di tengah kegandrungan orang-orang akan berlari, fotografer mendapat momentum mencari uang dengan menjadi kontributor lokapasar bernama FotoYu.
Kiwari, hampir di setiap acara lari macam maraton—lebih-lebih jika bertaraf nasional—akan selalu ada fotografer yang bersiap memotret dari kejauhan. Mereka sabar menunggu momen para pelari melintas, siapa pun itu, lalu memotretnya sesuai angle yang mereka bayangkan di kepala.
Kendati memotret pelari kini jamak terjadi dan seolah terlihat lumrah, garis batas etika di dalamnya menjadi samar. Proses pemotretan kerap kali dilakukan tanpa persetujuan. Imbasnya, fenomena itu berisiko lebih besar melanggar etika. Di era kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang merajalela, sebuah foto dapat bicara lebih banyak dari yang semula kita kira.
Bukan Hanya Soal Ketidaknyamanan
FotoYu merupakan salah satu platform lokapasar khusus foto yang berkembang pesat seiring meningkatnya tren lari di masyarakat. Kepraktisan merupakan salah satu keunggulan dari lokapasar satu ini. Dalam konteks ajang olahraga berlari, FotoYu menawarkan transaksi jasa foto dengan cara yang baru.
Secara konvensional, ketika kita menginginkan foto dokumentasi saat mengikuti ajang lari, kita perlu mencari dan menyewa fotografer terlebih dahulu. Namun, mekanisme FotoYu memungkinkan kita mendapatkannya tanpa harus menyewa tukang foto.
Sederhananya, hal tersebut mungkin dilakukan karena fotografer yang telah menjadi kontributor FotoYu akan mendatangi sebuah acara lari—meski tak ada acara apa pun, mereka tetap datang di lokasi yang biasanya dijadikan event. Selama ramai para pelari, para fotografer akan terus memotret siapa saja yang mereka anggap berada di momen yang tepat untuk difoto. Kerap kali, proses ini dilakukan secara sporadis.
Nantinya, hasil jepretan para fotografer akan diunggah ke server FotoYu. Pengguna yang ingin mendapatkan hasil foto dirinya, baik di event resmi ataupun sekadar kegiatan lari di lokasi yang sama, dapat mencari foto mereka melalui aplikasi FotoYu dengan sejumlah tarif pembelian.
Lewat bantuan teknologi face recognition yang digunakan AI bernama RoboYu, pencarian foto pengguna dapat dilakukan secara otomatis.
Pengguna “hanya” perlu menyetorkan data biometrik wajah mereka ke aplikasi FotoYu. Seketika, RoboYu akan menampilkan setiap foto yang memuat data biometrik identik dari server.
Dari sudut pandang pengguna, FotoYu membuat pencarian foto menjadi cepat dan praktis. Tak ada penyortiran manual yang menghabiskan banyak waktu. Namun, risiko yang muncul darinya lebih besar dari banyaknya waktu yang dihemat.
Risiko pertama yang muncul dari mekanisme FotoYu, tentu saja, pelanggaran hak privasi. Pola kerja para fotografer yang jadi kontributor FotoYu sering kali sporadis, menjepret sana-sini tanpa mengindahkan subjek yang sedang difoto itu bersedia untuk dipotret atau tidak.
Kendati tak ada aturan baku tentang etika fotografi yang berlaku umum dan global, sikap etis dalam memotret adalah salah satu pembahasan dalam ilmu dasar fotografi.
Photography Ethics Centre, organisasi yang berfokus pada edukasi fotografi beretika, menjelaskan bahwa etika adalah hal penting dalam fotografi. Sebuah foto tak sekadar gambar wajah, tetapi sebuah representasi dari orang yang dipotret. Oleh karenanya, mereka menekankan bahwa pemahaman fotografer terkait etika sama pentingnya dengan keterampilan menjepret momen.
Menurut organisasi yang berpusat di Irlandia tersebut, foto yang baik setidaknya harus didasarkan pada "sikap hormat, berdasar persetujuan, dan menampilkan orang lain secara bermartabat."
Sikap menghormati orang yang difoto juga merupakan bagian penting dalam fotografi di ranah pers. Dalam Buku Saku Wartawan (2024) yang diterbitkan oleh Dewan Pers, kode etik jurnalistik menyebut sikap ini sebagai “menghormati hak privasi”.
Laku memotret tanpa persetujuan orang yang hendak difoto, seperti yang dilakukan sebagian besar fotografer FotoYu, membuat fenomena ini berada di garis batas etika yang abu-abu.
Di tengah samarnya garis batas etika tersebut, ketiadaan consent 'persetujuan' juga menimbulkan risiko turunan yang lain: Bagaimana jadinya jika fotografer memotret orang yang bukan pengguna FotoYu? Apa yang terjadi pada foto non-pengguna FotoYu yang diunggah di server lokapasar itu?
Kita Menyebutnya Foto, Komputer Menyebutnya Data
Agar dapat menghasilkan uang setelah memotret di sebuah acara, para fotografer FotoYu harus terlebih dahulu mengunggah foto-foto yang dihasilkan ke server milik lokapasar itu.
Juru foto akan mendapatkan bayaran jika orang yang ia foto ternyata adalah pengguna FotoYu dan berniat membelinya.
Dari skema tersebut, foto yang berhasil terjual dapat dimaknai bahwa si pemilik wajah tak masalah jika wajahnya tersimpan dalam server—toh, mereka adalah pengguna FotoYu dan membeli fotonya. Akan tetapi, bagaimana dengan orang yang sejak awal tak ingin difoto?
Kalaupun wajah kita “secara tak sengaja” terekam oleh kamera juru foto FotoYu—meskipun sebenarnya sama sekali tak menginginkannya—kemungkinan besar gambar kita tetap akan diunggah di lokapasar itu. Tanpa persetujuan, foto diri kita mungkin telah tersimpan dalam basis data FotoYu.
Bagi beberapa orang, barangkali bukan masalah besar jikapun ia mengetahui bahwa fotonya tersimpan di komputer orang yang tidak pernah ditemuinya selama hidup. Namun, dalam konteks fenomena lari dan fenomena pemotretan liar itu, kita tidak bisa menganggapnya demikian.
Poin utamanya ada pada fakta bahwa FotoYu bekerja dengan teknologi face recognition. Ketika seorang pengguna platform mencari foto dirinya, data biometrik si pengguna (hasil swafoto dengan berbagai angle) akan dicocokkan dengan seluruh foto berwajah yang ada dalam server.
Dengan demikian, jika sialnya foto kita tersimpan dalam server FotoYu, wajah kita akan diubah oleh AI menjadi deretan kode data biometrik. Meskipun pihak FotoYu tidak menjelaskan secara publik rincian kebijakan penyimpanan data biometrik yang mereka punya, ada kemungkinan data itu akan tetap di sana.
Tak berhenti sampai di situ, pesatnya teknologi pengenalan wajah pada masa kini membuat risiko foto liar tersebut makin kompleks.
Seturut Murat Taskiran, dkk. dalam artikel jurnalnya berjudul "Face recognition: Past, present and future (a review)" (2020), perkembangan teknologi pengenalan wajah membuat komputer tak sekadar dapat mengidentifikasi gambar. Kini, “mereka” juga membaca informasi di dalamnya.
Perkembangan teknologi ini, jelas Murat Taskiran, membuat komputer berkemampuan menentukan identitas, gender, ras, ekspresi, dan usia dari orang yang ada di dalam foto. Tak sekadar mengidentifikasi eksistensi manusia, AI juga dapat membaca semua informasi tersebut hanya melalui sebuah foto.
Bahkan, peneliti AI, Kate Crawford, dalam wawancaranya untuk film Connected (2020) menjelaskan, identifikasi pakaian dan memprediksi pendapatan seseorang hanya dari sebuah foto kini menjadi mungkin.
Selain itu, sebagaimana yang dituturkan oleh jurnalis Vox, Kelsey Piper, AI generasi terbaru dapat menentukan geolokasi tempat pemotretan terjadi hanya dari sebuah foto.
Dalam uji coba kecil-kecilan, Piper memberikan sebuah foto yang menampilkan anaknya di pantai kepada AI. Lalu, sistem komputer tersebut ia suruh menebak lokasi pemotretannya. Meskipun tak ada satupun teks dalam foto tersebut, AI dapat menentukan dengan presisi lokasi pantai tempat foto itu dibuat.
Melalui metode pelacakan geolokasi, AI menganalisis pola ombak, langit, dan pasir, di foto milik Piper. Lalu, sistem mencocokkannya dengan deskripsi berbagai pantai yang ada dalam basis datanya.
Dalam kasus seperti itu, kita kerap kali tak sadar bahwa ada begitu banyak informasi yang didapatkan sistem komputer hanya dari sebuah foto. Jika ada foto kita dalam server FotoYu, dengan ataupun tanpa persetujuan, berbagai informasi pribadi kita juga bisa didapat dari sana.
Kendati berisiko melanggar perlindungan data pribadi, FotoYu tak menjelaskan mekanisme penghapusan foto non-pengguna yang sudah terlanjur ada di server mereka.
Dalam halaman cara kerja aplikasi, FotoYu hanya menjelaskan bahwa mekanisme penghapusan foto dari server hanya bisa dilakukan oleh pengguna FotoYu. Jika non-pengguna ingin menghapus foto yang “kebetulan tersimpan” di server, ia harus membuat akun FotoYu—lengkap dengan menyetorkan data biometrik wajah ke platform tersebut.
Privasimu, (Seharusnya) Pilihanmu
Seharusnya, hak privasi membuat kita punya kuasa atas segala informasi pribadi yang hendak kita bagikan kepada pihak lain. Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi mengadopsi hak tersebut.
Namun, dalam realitas yang kita alami bersama, ada begitu banyak celah data pribadi kita yang dapat ter(di)ambil oleh pihak lain tanpa sepengetahuan kita.
Pada 2019 lalu, aplikasi penyimpanan awan khusus foto, Ever, menjadi perhatian publik Amerika Serikat terkait pengembangan AI.
Kala itu, Ever diduga menggunakan seluruh foto pengguna yang tersimpan dalam server sebagai dataset pengembangan fitur pengenalan wajah berbasis AI. Oleh Ever, teknologi face recognition tersebut disewakan kepada instansi dan perusahaan lain, salah satunya adalah militer.
Dataset foto para pengguna Ever diduga digunakan oleh perusahaan tersebut untuk melatih AI yang kemudian menjadi alat pelacak militer.
Berkaca dari sana, “pepatah” untuk bijak membagikan informasi pribadi di internet jadi kian relevan. Jangan sampai, dari sebuah foto diri tengah berlari yang menurutmu keren itu, ada sesuatu yang sedang menggali informasi pribadimu.
Penulis: Rizal Amril Yahya
Editor: Fadli Nasrudin