tirto.id - Lintasan sejauh sembilan kilometer sudah berhasil ia lalui. Namun, tubuh pelari nomor 10K di Maybank Bali Marathon (MBM) 2018 menyerah dan ambruk tepat 100 meter sebelum garis finish. Diwartakan Gatra, Dennny Handoyo (50) akhirnya meninggal setelah sempat diberi penanganan oleh tim PMI dan dilarikan ke RS Kasih Ibu, Desa Saba, Bali. Kisah Denny menambah catatan panjang kematian mendadak yang dialami oleh para pelari di lintasan.
Bulan April 2018, laga London Marathon sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kali itu, suhu udara di London mencapai cuaca terpanas. New York Post melaporkan suhunya mencapai 24 derajat Celcius. Pasokan air dan es terlihat di setiap lintasan, bahkan panitia meminta peserta menggunakan tabir surya dan berlari dalam kecepatan rendah. Namun, ragam antisipasi yang dilakukan nyatanya tak mampu menyelamatkan nyawa Matt Campbell (29).
Kombinasi cuaca panas dan aktivitas yang menguras fisik membuat kontestan Masterchef: The Professionals ini pingsan setelah berlari 22,5 mil dari 26,2 mil jarak yang harus ditempuh. Sama seperti Denny, Campbell juga sempat menerima perawatan di lintasan dan dibawa ke rumah sakit, tapi nyawanya tak tertolong. Kedua kejadian tersebut diduga disebabkan oleh henti jantung, persis seperti yang dialami Romo Ignatius Sumarya, SJ (60) dalam Jakarta Marathon 2013.
“Kasus ini bisa menimpa pelari baru maupun senior karena terlalu push the limit,” ujar Andriyanto, seorang pelatih lari memberi hipotesis.
Pelari, terutama yang belum memiliki pengalaman dan pengetahuan cukup, seringkali mempercepat tempo berlari menjelang garis finish. Pada kasus Denny, ia jatuh 100 meter menjelang finish, sedangkan Campbell hanya kurang menyelesaikan 3,7 mil lintasannya, sedangkan Ignatius hanya perlu menyelesaikan 3 km dari 7 km lintasan. Kasus kematian mendadak pelari di lintasan menarik perhatian peneliti, termasuk Dr. Dan Tunstall Pedoe.
Dalam laporan bertajuk "Marathon Cardiac Deaths: the London Experience" (2007), ia memeriksa 650 ribu catatan kesehatan peserta maraton London dari 1981 hingga 2006. Pedoe kemudian menyimpulkan peluang kematian mendadak dari perhelatan olahraga itu akan terjadi pada 1 dari 80 ribu peserta. Penelitian lain yang dilakukan Hart L. pada 2013 bertajuk :Marathon-Related Cardiac Arrest" menyimpulkan bahwa pelari pria lebih berisiko mendapat kematian mendadak dibanding pelari perempuan.
Ia mengamati data 10,9 juta pelari di Amerika Serikat dari 1 Januari 2001 hingga 31 Mei 2010. Dilihat dari usianya, rata-rata pelari dengan serangan jantung berumur 42 tahun dan 86 persennya adalah pria. Sementara itu, dilihat dari panjang lintasan ditemukan 40 kasus serangan jantung dalam lintasan maraton dan 19 kasus pada lintasan setengah maraton. Insiden per 100 ribu lebih tinggi pada lintasan maraton dibandingkan dengan setengah maraton.
“Lebih banyak pelari meninggal daripada selamat dari serangan jantung,” tulis Hart dalam penelitian tersebut.
Waspadai Keadaan Jantung Anda
Seperti obat, olahraga, jika dilakukan dalam takaran tepat, jelas menyehatkan. Namun, ketika dilakukan secara sembarang, malapetaka bisa terjadi. Menurut Andri, seorang pelari harus punya strategi berlari sesuai kemampuan diri. Kecepatan maupun panjang lintasan dalam berlari harus dilatih secara bertahap, agar tubuh memiliki waktu beradaptasi. Untuk bisa mencapai performa terbaiknya, seorang pelari membutuhkan waktu latihan tanpa putus selama 3-5 tahun.
Ketika berlari, tubuh diibaratkan membawa beban 3-5 kali berat badan normal. Pada aktivitas normal, jantung berdetak sebanyak 70-80 denyut per menit (bpm), lalu saat tubuh berlari ringan (jogging) maka detak jantung naik menjadi 136-144 bpm. Pada perlombaan lari 10k, detak jantung pelari terlatih dapat naik hingga 170-180 bpm.
Sementara pada pelari yang kurang terlatih detak jantungnya dapat meningkat ke angka 200 bpm. Karenanya, Andri menyarankan agar pelari tidak memacu temponya secara tiba-tiba. Selain berisiko pada kesehatan, kecepatan yang dihasilkan dari perubahan tempo lari pun tak memangkas waktu berlari secara signifikan. Hitungannya hanya selisih satuan detik saja.
“Masalahnya pelari seringkali jadi terpacu ketika melihat garis finish atau lawan telah menyelesaikan lintasan,” ujar Andri.
Masih berdasar penelitian Hart, faktor kematian mendadak pada pelari juga dikaitkan pada usia muda dan pengetahuan kurang memadai tentang risiko kardiovaskula. Dalam penelitiannya, ia menyimpulkan kardiomiopati hipertrofik sebagai penyebab terkonfirmasi dan kemungkinan paling umum dari kematian mendadak para pelari, ditemukan pada 15 kasus.
Otot jantung pada individu dengan faktor kardiomiopati akan menebal sehingga berpotensi mengganggu aliran listrik di jantung, menghambat aktivitas pemompaan, menghentikan sirkulasi darah dalam tubuh, dan terjadilah henti jantung. Karena itulah dr. Michael Triangto, spesialis kedokteran olahraga, mengungkapkan pelari perlu mengenali kondisi kesehatannya untuk mengantisipasi risiko kesehatan yang mungkin muncul di lintasan.
“Saat berlari, jantung harus bekerja lebih cepat tapi kondisi itu (riwayat sakit jantung) membuat jantung tak mampu beradaptasi dengan kecepatan yang dilakukan,” paparnya kepada Tirto.
Namun, karena sebagian individu kurang memperhatikan riwayat penyakitnya, Michael menyarankan pelari untuk melakukan tes kesehatan sebelum berlaga di lintasan. Setidaknya melakukan cek elektrolit untuk meminimalkan peluang terjadinya kejang otot dan rekam jantung guna mendeteksi riwayat serangan jantung sebelumnya.
Pelari juga perlu menata kualitas tidur dan asupan nutrisi. Semakin berat latihan yang dilakukan, semakin tinggi pula jumlah istirahat dan nutrisi yang diperlukan guna pemulihan. Pelari harus memberi jarak cukup antar pertandingan agar tubuh memiliki waktu pulih. Di samping diperlukan juga kesiapan panitia menempatkan tim dan fasilitas kesehatan secara tepat.
“Intinya jangan sampai memaksakan kemampuan,” pungkasnya.
Editor: Maulida Sri Handayani