tirto.id - Padatnya kerumunan orang di lokasi tertentu membuat personel kepolisian kewalahan untuk menangkap para pelaku kejahatan bila terjadi aksi teror dan kriminal lainnya. Teknologi pengenalan wajah atau facial recognition kemudian muncul untuk membantu mengatasi kebuntuan proses identifikasi di area publik. Belum lama ini Kepolisian South Wales, Inggris yang memakai teknologi Automatical Facial Recognition (AFR).
Dalam masa uji coba selama 18 bulan terakhir, sejumlah kamera ditempatkan di berbagai sudut kota untuk mengidentifikasi orang-orang yang ada di daftar pemantauan pihak kepolisian, mulai dari para tersangka kejahatan, orang hilang atau orang-orang penting lainnya. Akhir Mei 2017 lalu, kepolisian setempat menguji alat AFR saat berlangsungnya final Liga Champions di Kota Cardiff. Petugas yang sudah dilatih kemudian memantau pergerakan di lokasi tempat kamera tersebut dipasang.
Benar saja, kejelian AFR berbuntut pada tertangkapnya seorang pria meski oleh kepolisian diakui tidak terkait dengan penyelenggaraan Liga Champions. Menurut juru bicara kepolisian South Wales kemungkinan besar wajah pria tersebut ada dalam sistem Manajemen Rekam Kepolisian setempat yang menyimpan setidaknya data 500 ribu foto sejak 2015.
Baca juga:Masa Depan Dunia di Tangan AI
Kepolisian menganggap pertandingan final Liga Champions menjadi momen yang tepat untuk menguji coba teknologi pengenalan wajah AFR. "Dunia sudah berubah dan itu membuat polisi juga harus berubah," kata Asisten Kepala Polisi Richard Lewis.
Penangkapan seorang pria di Cardiff pada Mei lalu menjadi penangkapan pertama yang dihasilkan dari teknologi pengenalan wajah. Sebenarnya bukan kali ini saja teknologi pengenalan wajah dipakai di Inggris. Pada 2015 lalu, polisi Kota Leicestershire pernah mengamati wajah dari 90.000 penonton di acara Download Festival lewat teknologi NeoFace.
Pihak kepolisian memeriksa mereka dengan berbekal daftar penjahat yang tengah dicari di negeri tersebut. Teknologi pengenalan wajah tampaknya akan menjadi standard baru dalam membantu para pihak kepolisian dan negara mencari dan mengidentifikasi seseorang. Terlebih seseorang yang sudah memakai penutup wajah untuk menyembunyikan identitas akan bisa diungkap di masa mendatang.
Identitas wajah yang disamarkan selama ini menjadi masalah yang sangat menantang untuk diungkap. Wajah seseorang yang disamarkan atau diubah secara dramatis dengan berbagai atribut fisik seperti memakai wig, mengubah gaya dan warna rambut, memakai kacamata, menumbuhkan jenggot dan lainnya, membuat kesulitan tersendiri.
Beberapa ilmuwan gabungan dari universitas di Inggris dan India pada akhir Agustus lalu menawarkan kerangka kerja identifikasi wajah yang disamarkan. Teknologi ini dipublikasikan oleh jurnal sains arXiv berjudul Disguised Face Identification(DFI) with Facial Key Points using Spatial Fusion Convolutional Network.
DFI mengidentifikasi sekitar 14 titik kunci di wajah target sasaran, yaitu tersebar di area sudut alis kiri dan kanan, bibir di sudut kiri, kanan dan tengah, kemudian hidung. Proses identifikasi ini tentu dicocokkan dengan data foto-foto para target yang telah dikantongi sebelumnya.
Baca juga:Resah karena Kecerdasan Buatan
Kerangka kerja DFI ini juga mengklasifikasikan data penyamaran wajah dari yang sederhana sampai kompleks. Dalam uji coba, ada 2.000 gambar yang memiliki 10 variasi penyamaran yang berbeda. Mereka terdiri dari para pria dan wanita dengan rentang usia 18-30 tahun. Hasilnya, akurasi deteksi dari titik kunci di wajah sangat tinggi saat orang yang menyamar hanya memakai topi dan syal, masing-masing 90 persen dan 77 persen.
Sementara akurasi identifikasi wajah mulai melemah saat seseorang memakai kombinasi topi syal dan kacamata hingga 55 persen. Ini artinya untuk kondisi dengan latar kompleks, termasuk objek wajah yang tertutup topeng, akan masih jadi tantangan untuk teknologi ini.
Demonstrasidan Anti Pengenal Wajah
Bagi para demonstran, upaya pengungkapan identitas wajah yang disamarkan lewat teknologi tentu menjadi ancaman tambahan setelah mereka sejatinya sudah dijerat dengan peraturan pelarangan menggunakan topeng atau penutup wajah saat berdemonstrasi di publik, terutama di dunia Barat.
Baca juga:Kekuatan Sebuah Aksi Mogok Makan
Di Alabama, Amerika Serikat misalnya, penggunaan topeng dan sejenis sudah menjadi tindakan yang ilegal sejak 1949, kecuali acara seperti Halloween dan kebudayaan lainnya. Aturan ini muncul terutamanya untuk mempersempit ruang gerak ormas Klu Klux Klan yang identik memakai penutup wajah dan hanya menyisakan kedua matanya saja.
Undang-undang yang mengatur penggunaan topeng wajah di depan umum kemudian diikuti oleh beberapa negara bagian di Amerika dan menyebar ke negara-negara lain. Namun, bagaimanapun dalam praktiknya demonstran tetap memakai atribut pelindung wajah guna menyembunyikan identitas mereka yang kerap menjadi sasaran pihak aparat.
Baca juga: Guy Fawkes dan Topeng Simbol Pemberontakan
Sosiolog Zeynep Tufekci yang membagikan temuan kerangka kerja Disguised Face Identification (DFI) di akun Twitternya juga memberi catatan kritis bahwa teknologi semacam itu bisa disalahgunakan untuk menjadi alat penindasan di negara-negara otoriter karena digunakan untuk mengidentifikasi para demonstran anonim.
Amarjot Singh, peneliti utama dari makalahDFI mengatakan bahwa sistem yang dikembangkannya itu netral, terlepas dari apakah efeknya nanti akan berbahaya bagi masyarakat akan tergantung pada dimana sistem itu nantinya ditempatkan.
“Ada lebih banyak manfaat untuk teknologi ini daripada bahaya,” kata Singh dikutip dari The Verge.
“Semuanya bisa digunakan dengan cara yang baik dan cara yang negatif."
Singh dikabarkan tengah menghimpun dana untuk memperbaiki kekurangan dari sistem yang mereka temukan tersebut dengan tujuan akhir bisa mewujudkan dalam sebuah alat teknologi dan dikomersilkan.
Kerangka kerja DFI melengkapi beberapa usaha para ilmuwan yang dilakukan sebelumnya. Ilmuwan Tejasetal dan kawan-kawan dalam jurnalnya berjudul Recognizing disguised faces: Human and machine evaluation pada 2014 lalu, mengajukan usulan untuk mengidentifikasi dari potongan-potongan wajah yang juga dalam rangka melengkapi kinerja pengidentifikasian wajah sebelumnya. Namun, saat teknologi pengenal wajah makin berkembang, teknologi rivalnya juga dikembangkan.
Kini dikenal istilah hyperFace. HyperFace bekerja dengan mengeksplorasi celah algoritma alat pengenal wajah sehingga menghasilkan apa yang disebut sebagai “false faces.” Selain itu, ada juga Anti-Facial Recognition Glases, merupakan sebuah kacamata yang dirancang untuk melindungi penggunanya dari kamera pengawas pengenal wajah dengan memanfaatkan cahaya infra merah.
Baca juga:Hyperface si Pengecoh Kamera Pengenal Wajah
Teknologi di bidang ini memang saling berkejaran, bagi aparat keamanan teknologi pengenal wajah menjadi alat untuk mengawasi. Namun, bagi masyarakat, kehadiran teknologi anti pengenal wajah sebagai cara keluar dari bayang-bayang kamera pengawas dan memiliki kembali kebebasan pribadi.
Penulis: Tony Firman
Editor: Suhendra