Menuju konten utama
Decode

Apa yang Buat Olahraga Jadi Dianggap Mahal?

Laporan Kemenpora menunjukkan bahwa kebugaran fisik generasi muda masih rendah. Apakah olahraga yang dianggap mahal pemicunya?

Apa yang Buat Olahraga Jadi Dianggap Mahal?
Header Periksa Data Badan Segar, Dompet Layu: Populernya Olahraga Eksklusif. tirto.id/Fuad

tirto.id - Olahraga di kalangan masyarakat semakin populer, namun tren saat ini lebih mengarah ke eksklusivitas dengan biaya tinggi, sehingga hanya kalangan tertentu yang dapat mengaksesnya. Di sisi lain, laporan Kemenpora menunjukkan bahwa kebugaran fisik generasi muda masih rendah, sementara banyak yang berolahraga hanya untuk gaya hidup. Para ahli menilai pentingnya olahraga yang inklusif agar lebih banyak orang bisa ikut berpartisipasi tanpa terbebani biaya, dengan tujuan kesehatan, bukan sekadar prestise.

Stephanie (29) telah menjadwalkan untuk menghabiskan 1,5 jam hingga dua jam di tempat kebugaran atau gym, selama 3 - 5 kali dalam satu pekan. Termasuk pada Selasa (29/10/2024) sore itu.

Sepenuturan Stephanie, pergi ke gym bukan hanya soal berolahraga, tapi juga menambah relasi.

“Karena banyak teman-teman gue yang ternyata mereka orang-orang hebat gitu, di balik selain teman gym gitu, dalam pekerjaannya pun ya oke-oke ya. Ada yang dulunya mantan reporter di stasiun TV besar, ada yang di airlines dunia, yang representatif di sini. Maksudnya networking kayak gitu lumayan bagus untuk ke depannya. Jadi bukan hanya sehat tapi gue juga dapat networking,” katanya sewaktu dihubungi Tirto, Selasa (29/10/2024).

Selain mengajak berbincang, Stephanie bilang, ia seringkali bertukar akun Instagram dengan teman-temannya di gym. Meski olahraga itu memberi segudang manfaat, modal finansial yang dikeluarkan Stephanie untuk gym tidaklah sedikit.

Stephanie mengaku, biaya member gym bulanan yang mesti ia bayar mencapai Rp575 ribu. Angka itu belum termasuk ongkos transportasi dari kos ke tempat gym yang jaraknya kurang lebih 3,5 kilometer (km). Dalam sebulan, Stephanie bisa mengeluarkan duit sekira 400 sampai 500 ribu untuk pulang-pergi naik ojek online/ojol.

“Kemudian kalau baju [olahraga] ya paling sebulan sekali beli, kalau sepatu sih nggak begitu sering kayaknya bisa nyampe 6 bulan sekali deh kalau sepatu,” katanya ketika ditanya soal kebutuhan lain untuk menunjang aktivitas olahraganya.

Untuk sepatu sendiri, Stephanie umumnya menggunakan dua jenis, yang mana harga untuk keduanya bisa menyentuh 1 – 1,5 juta. Tapi semua pengeluaran itu dikatakan Stephanie sepadan dengan tujuannya yang tercapai, baik secara kesehatan, penurunan berat badan, dan jejaring.

Tak seperti Stephanie, Ayu (26) justru merasa nyaman dengan jenis olahraga yang minim biaya. Ia bercerita, kalau ia biasa memilih untuk jogging di taman publik seperti Tebet Eco Park, atau melakukan olahraga pilates di kamar kosnya dengan mengandalkan video-video di YouTube.

“Kalau alasan-alasannya, lumayan bervariasi juga, waktu itu yang paling utama sih. Faktor waktu, terus faktor finansial juga. Karena memang waktuku terbatas, makanya aku pengen gak mubazir. Soalnya sempat juga aku nge-gym, tapi karena aku gak ada waktunya, malah jadi gak begitu efektif,” katanya saat ngobrol lewat telepon, Rabu (30/10/2024).

Ayu memang lebih memilih olahraga sendirian di taman atau di kos, lantaran membuatnya tak harus menyesuaikan jadwal dan menjadi lebih fleksibel. Kalaupun ingin olahraga bersama teman-temannya, ia memilih ikut kelas zumba yang diadakan Rocca Space di Gelora Bung Karno (GBK).

“Sebenernya aku juga sempat kepikiran, misalkan Tebet Eco Park kadang bosan, atau misal pas balik terlanjur rame banget. Aku kepikiran juga pagi tapi aku keliling komplek. Maksudnya di jalanan aja. Tapi aku selalu kepikiran soal keamanan sih. Maksudnya di jalan nanti ketemu orang-orang gimana, dari hal-hal itu jadinya mempertimbangkan gak di jalanan,” katanya saat ngobrol lewat telepon, Rabu (30/10/2024).

Masalahnya, ruang terbuka seperti Tebet Eco Park yang bikin Ayu nyaman melakukan olahraga ia nilai masih terbatas. Sementara jika harus beberapa kali pergi ke stadion GBK, jaraknya terlalu jauh dari kos. Di samping itu, Ayu juga beranggapan bahwa GBK terlampau ramai.

Jenis olahraga yang dipilih Ayu membuatnya tak punya pengeluaran rutin dan spesifik untuk pernak-pernik olahraga, seperti pakaian atau sepatu. Ayu cerita, ia paling hanya membeli matras, jaket, dan barbel, itu pun hanya sesekali.

Pengaruh Aktivitas Olahraga pada Pengeluaran Pernak Pernik dan Aksesori

Kegiatan olahraga bisa dibilang tak bisa lepas dari bisnis dalam bentuk produk barang atau jasa. Seperti yang diceritakan Stephanie dan Ayu, mereka pun membeli perlengkapan untuk menunjang aktivitas olahraganya.

Laporan Indeks Pembangunan Olahraga 2023 merekam, sebagian besar barang yang dibeli masyarakat terkait olahraga yakni berupa sepatu (43,1 persen), kemudian menyusul pakaian olahraga (30,4 persen) dan peralatan olahraga (12,1 persen). Di samping itu, ada juga yang mengaku turut membeli suplemen, aksesori, dan cendera mata.

Temuan serupa juga diungkap oleh jajak pendapat lembaga survei Jakpat. Selain untuk aktivitas olahraga sehari-hari, masyarakat tampak menggelontorkan uang saat mereka mengikuti ajang olahraga.

Hasil survei Jakpat selama 16 - 23 Januari 2024 memperlihatkan, meski registrasi ajang olahraga seringkali bebas biaya, sebanyak 1 dari 3 responden mengaku ajang olahraga berdampak pada kebutuhan atau pengeluaran lainnya.

Di antara responden yang ikut ajang olahraga dalam 6 bulan terakhir, sebagian besar menyatakan mereka menyiapkan dana untuk makanan dan minuman. Sebagian lagi mengalokasikan dana untuk transportasi dan akomodasi, terutama jika acaranya diadakan di luar kota. Tak ketinggalan, anggaran untuk baju, aksesori, dan cendera mata dari festival olahraga yang bersangkutan.

Apabila dibedah secara generasi, Millennial terlihat lebih tertarik membeli pernak pernik ketimbang Generasi Z/Gen Z. Laporan Jakpat yang sama mengungkap, sebanyak 43 persen Milenial, dibanding 13 persen Gen Z, mengatakan mereka menyiapkan biaya untuk beli merchandise. Tren senada juga dijumpai dalam hal berbelanja pakaian dan aksesori olahraga.

Persentase Milenial yang menganggarkan biaya untuk pakaian dan aksesori olahraga mencapai 73 persen, sementara Gen Z hanya 51 persen.

Adapun aksesori yang paling banyak digunakan saat berpartisipasi dalam ajang olahraga beragam, mulai dari botol minum, bantalan lutut, topi, earphone, kacamata, hingga smartwatch. Rerata biaya yang telah dikeluarkan untuk masing-masing perlengkapan itu diketahui merentang dari Rp500 ribu sampai Rp1 juta, dan anggaran paling besar digelontorkan untuk smartwatch.

“1 dari 4 orang menghabiskan lebih dari Rp1 juta untuk sebuah jam tangan pintar,” tulis hasil survei Jakpat tersebut.

Olahraga Makin Populer, Tapi Lebih Banyak Eksklusif?

Menyoal tren olahraga di kalangan masyarakat, Julia Nurdin selaku Founder Rocca Space–pusat komunitas yang menggelar beragam jenis olahraga, salah satunya di area GBK, menyatakan kalau semakin ke sini, kegiatan olahraga itu semakin populer.

“Jadi kalau sebagai perbandingan ya, di tahun 2019, awal-awal pertama kali aku buka Rocca Space di GBK. Kelas pound [fit] itu aku gratisin gitu ya. Itu nggak ada yang ikut gitu. Sampai akhirnya ada yang ikut. Tiga orang, lima orang, sepuluh orang. Akhirnya alhamdulillah berkembang. Dan akhirnya waktu itu, pas lagi masa-masa sebelum pandemi ya. Within 30 seconds itu ya 100 slot, 200 slot habis gitu aja,” ujarnya di ujung telepon, Rabu (30/10/2024).

Julia mengatakan, kini peserta kelas-kelas olahraga di Rocca Space didominasi anak muda dalam kisaran usia 25 - 30 tahun. Ia menyebut, pandemi COVID-19 juga jadi momen yang memantik peningkatan minat masyarakat terhadap olahraga.

“Karena during pandemi, orang menyadari banget, bahwa ternyata hidup sehat, atau kesehatan itu adalah, segalanya lah. Kayak ada yang harus dijaga, gitu loh. Mereka akhirnya sekarang menjalankan olahraga, atau gaya hidup sehat, ya karena mereka sadar, bahwa sehat itu jauh lebih menyenangkan, daripada sakit,” katanya.

Meski olahraga kian populer dan makin bejibun jenisnya, laporan Indeks Pembangunan Olahraga atau Sports Development Index/SDI yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) justru menunjukkan masih minimnya persentase pemuda usia 16 - 30 tahun yang punya kebugaran jasmani “baik”.

Hasil pengukuran yang dilakukan terhadap 3.820 anak muda yang tersebar di 34 provinsi menunjukkan, mereka yang memiliki kebugaran jasmani dengan kategori baik/lebih pada 2023 hanya sebesar 5,04 persen. Sisanya, lebih dari 3/4 responden, masuk kategori kurang dan kurang sekali.

Tren kebugaran jasmani yang kurang baik di kalangan pemuda ini juga terus melorot dari tahun ke tahun. Pada 2022 misalnya, jumlah pemuda yang memiliki kebugaran jasmani baik menyentuh 6,17 persen, sementara pada tahun 2023, angkanya padahal mencapai 8,83 persen.

Sejalan dengan temuan tersebut, kecenderungan pemuda Indonesia yang memenuhi prinsip kecukupan gerak juga diketahui masih minim. Menurut SDI 2023, sekira 65 persen anak muda tercatat melakukan olahraga atau aktivitas fisik kurang dari 3 kali selama satu pekan.

Merespons hal ini, Dosen Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Olahraga Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Prof Dr Bambang Purwanto dr. MKes., menyoroti adanya pergeseran tren olahraga di tengah masyarakat saat ini, dari olahraga inklusif menjadi eksklusif.

“Tapi memang olahraga yang mereka lakukan seperti itu artinya ada unsur FOMO (Fear of Missing Out), ada unsur ikutannya. Jadi, bukan olahraga inklusif yang bertujuan untuk meningkatkan kebugaran tapi olahraga yang kaitannya juga dengan prestise, dengan segmental, dengan kelompok tertentu,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (31/10/2024)

Menurutnya, hal inilah yang menyebabkan indeks angka partisipasi olahraga masyarakat dalam SDI masih masuk dalam kategori rendah meski seakan-akan di tengah masyarakat terjadi peningkatan tren dalam berolahraga.

“Tapi kalau kita flashback ke belakang sebelum era COVID-19, olahraga itu menjadi hal yang semuanya melakukan dan itu yang diharapkan oleh SDI. Jadi tidak segmental, karena kalau segmental, akhirnya yang melakukan itu adalah yang punya. Punya apa? Punya kualifikasi, punya duit, punya alat, punya akses. Yang enggak punya, enggak bisa melakukan,” jelas Prof. Bambang.

Lebih lanjut, ia menjelaskan dalam ilmu keolahragaan, kualifikasi seseorang terbagi menjadi empat tingkatan. Tingkatan paling dasar adalah sedenter, yaitu pola hidup seseorang yang jarang berolahraga.

Tingkatan selanjutnya adalah aktif, yaitu seseorang yang banyak bergerak atau hampir sepertiga dari 24 jam waktu hidupnya dalam sehari aktif bergerak, namun gerakannya tidak spesifik. Lebih baik dari aktif, tingkatan selanjutnya adalah terlatih. Terakhir, level tertinggi seseorang dalam berolahraga adalah atlet.

“Olahraga inklusif adalah olahraga basic yang bisa dilakukan dan diakses oleh semua orang mulai dari level sedenter sampai atlet seperti senam, joging dan jalan kaki. Olahraga eksklusif tidak semua orang dapat melakukannya. Syaratnya di antaranya adalah ekonomi dan fisik yang terlatih contohnya seperti gym, tennis, panjat tebing,” kata Prof. Bambang.

Head of Marketing FIT HUB Indonesia, Diza Anindita, pun memaparkan bahwa sejak beroperasi di masa pandemi tahun 2020 lalu, FIT HUB menjumpai adanya antusiasme yang membuncah di kalangan masyarakat.

"Di bulan Maret 2023 lalu, pelanggan FIT HUB tercatat meningkat lima kali lipat hanya dalam satu tahun. Pertumbuhan yang sangat menggembirakan ini sekaligus memperlihatkan meningkatnya peminat gym, terutama yang tengah memulai menjalankan gaya hidup sehat dengan berolahraga," ujarnya, menukil Detik, Minggu (28/5/2023)

Dampak Kurang Olahraga dan Olahraga Berbasis FOMO

Selaras dengan pengamatan Julia dari Rocca Space, Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga dr. Antonius Andi Kurniawan, Sp.KO, pun berpendapat antusiasme masyarakat untuk berolahraga terlihat mengalami tren peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.

“Sekarang lari, setiap minggu itu minimal ada 2 sampai 4 event lari di Jakarta. Kemudian fasilitas-fasilitas olahraga seperti gym, lapangan futsal juga banyak. Ada juga tren tiba-tiba tenis dari influencer. Artinya tren olahraga ini boleh dibilang terus meningkat di Indonesia,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (31/10/2024)

Namun, pria yang akrab disapa Dokter Andi itu tak memungkiri temuan data SDI, yang mengungkap angka partisipasi olahraga masyarakat yang masih dalam kategori rendah. Soal ini, ia menghubungkan dengan data-data terkait yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait angka penyakit degeneratif di Indonesia seperti obesitas dan penyakit jantung yang masih tinggi.

“Obesitas dan penyakit jantung itu faktor risikonya adalah gaya hidup kurang sehat/gaya hidup kurang aktif. Nah ini seperti dilema tren olahraga masyarakat terlihat sudah bagus tapi kok penyakitnya masih banyak? Oke, artinya mungkin data SDI ini benar, memang masyarakat itu masih banyak sedentari sehingga risiko penyakitnya masih cukup tinggi,” ujar dokter Andi.

Ia juga menyoroti akhir-akhir ini banyak yang berolahraga bukan bertujuan untuk sehat melainkan hanya sekedar untuk bergaya dan takut ketinggalan tren/FOMO. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh rendahnya literasi tentang tujuan olahraga dan cara olahraga yang baik.

“Kalau melihat tren-tren dan segala macam memang meningkat cuman apakah tren yang meningkat itu benar-benar olahraga dengan tujuan kesehatan? Atau olahraga hanya sekedar FOMO, mengejar status, dan postingan, dan segala macam. Menurut saya mereka masih sekedar ikut tren terbukti misalnya sebagai contoh paling gampang saja ada joki Strava dan itu cuma ada di Indonesia,” ujarnya.

Sebagai informasi, Strava adalah aplikasi yang memungkinkan penggunanya untuk melacak kebugaran dan aktivitas olahraganya. Ada banyak jenis olahraga yang bisa dilacak dengan Strava, contohnya yaitu berlari, bersepeda, berenang, hiking, gym training, hingga ski.

Kembali, dr. Andi menambahkan, masyarakat yang berolahraga bukan dengan motivasi kesehatan dan kebugaran jasmani, seperti hanya sekedar untuk bergaya dan mengikuti tren, secara medis justru lebih memiliki risiko kesehatan yang besar dibandingkan manfaat kesehatannya.

“Kenapa? Karena ketika kita FOMO, ketika tujuannya adalah untuk mendapatkan validasi, ketika tujuannya hanya untuk mendapatkan sebuah pride yang terjadi adalah kita akan cenderung berolahraga melebihi dari kapasitas dan kemampuan diri kita. Yang terjadi adalah tadi kalau misalnya lari justru malah heat stroke, cardiac arrest, kita bisa meninggal dunia,” tambahnya

Sesuai dengan anjuran World Health Organization (WHO), Dokter Andi merekomendasikan masyarakat untuk berolahraga secara teratur minimal 30 menit setiap hari, 5 kali dalam seminggu, atau 150 menit per minggu. Ia juga menekankan pentingnya konsistensi dan keteraturan dalam berolahraga.

“Jadi, yang jadi general recommendation adalah kita melakukan olahraga secara teratur, terstruktur, dan terus menerus selama 30 menit, 5 kali dalam seminggu. Yang tujuannya akhirnya adalah meningkatkan kesehatan dan kebugaran kita. Penelitian mengatakan bahwa itu akan menurunkan terjadinya risiko penyakit jantung dan risiko penyakit kronis di kemudian hari,” katanya.

Dokter Andi menyebut, seseorang yang jarang beraktivitas fisik atau berolahraga cenderung lebih berisiko terkena penyakit. Hal ini karena pada dasarnya otot dan tubuh manusia didesain untuk bergerak.

“Jadi, kalau misalnya kita tidak bergerak, maka yang terjadi adalah selain obesitas, otot kita menjadi lebih lemah sehingga dengan bertambahnya usia, nanti masa otot kita berkurang. Selain itu, bisa menyebabkan penyakit bermacam-macam obesitas, bisa menyebabkan penyakit jantung atau kolesterol, atau diabetes,” ujarnya.

Sementara itu studi pada tahun 2023 berjudul “The impact of sports participation on mental health and social outcomes in adults: a systematic review and the ‘Mental Health through Sport’ conceptual model” yang dipublikasikan di Jurnal BMC mengungkap bahwa partisipasi dalam olahraga erat kaitannya dengan kesehatan mental yang lebih baik termasuk kesehatan psikologis seperti tingginya kepercayaan diri.

Menariknya, studi itu juga menemukan bahwa orang dewasa yang berpartisipasi dalam olahraga yang elit beresiko mengalami tingkat tekanan psikologis yang lebih tinggi.

Olahraga Tak Harus Mahal & Eksklusif

Dari sisi ekonomi, dr. Andi menilai, aktivitas olahraga yang bisa dilakukan oleh masyarakat tidak harus mahal dan eksklusif. Menurutnya, ini semua tergantung dari motivasi dan tujuan berolahraga dari masyarakat. Ia menekankan, tujuan utama olahraga adalah untuk kesehatan diri sendiri bukan sekedar FOMO atau gaya-gayaan.

“Misal alasan tidak ada public space untuk olahraga, padahal olahraga itu bisa dilakukan di rumah. Ada YouTube, dan kita bisa niruin gerakan-gerakan, itu sudah dinamakan olahraga. Misal, kalo futsal gak harus ikut event futsal, kalo lari gak harus war beli tiket sampe Rp1 juta, beli sepatu mahal atau semacamnya,” ujarnya.

Senada, Prof. Bambang dari UNAIR juga menekankan kepada masyarakat bahwa olahraga itu mudah dan murah. Menurutnya, salah satu faktor yang menyebabkan tren olahraga masyarakat saat ini lebih ke arah eksklusif adalah karena pemerintah tidak memiliki instrumen olahraga inklusif bagi masyarakat.

Dalam hal ini, ia mengimbau Kemenpora harus turun tangan untuk mengembalikan inklusivitas olahraga. Menurutnya, hal ini juga terkait dengan cita-cita besar Indonesia Emas 2045.

“Inklusifnya ini harus ditemukan, sekarang ini jujur kita tidak punya instrumen olahraga inklusif yang bisa untuk semua mulai orang yang mager sampai atlet bisa melakukan olahraga itu. Dulu instrumen itu ada setiap pagi, mulai dari orang kantoran, anak sekolah, yang atlet pun juga melakukan hal yang sama melakukan Senam Kesehatan Jasmani (SKJ) yang inklusif,” ujar Prof. Bambang.

Lebih lanjut, ia juga menilai jika tren eksklusifitas dalam berolahraga terus berlanjut, ia khawatir akan berdampak pada kesenjangan ekonomi masyarakat dalam berolahraga sehingga menimbulkan stigma masyarakat malas berolahraga karena tak mampu.

“Sehingga menurut saya, olahraga itu harus inklusif, jangan eksklusif kayak begini. Nanti ada klub lari, ada klub sepeda akhirnya mereka menerapkan standar-standar ekonomi kok jadi lebih mahal, dan sebagainya. Akhirnya orang yang enggak punya, atau di luar kompetensi, atau di luar kemampuan itu, mereka akhirnya memilih enggak melakukan olahraga,” tambahnya.

Dari sisi kebijakan, ia mengimbau pemerintah harus meninjau ulang sistem keolahragaan nasional. Karena di undang-undang yang sistem keolahragaan nasional yang baru, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 2022, pemerintah sudah menghapuskan olahraga kesehatan sebagai instrumen inklusivitas dan diganti dengan olahraga rekreasional.

“Olahraga itu jelas harus untuk tujuannya kesehatan, kebugaran, prestasi. Jadi bukan

untuk happy, rekreasional. Sehingga tampak sekali bahwa kebijakan ini hanya support untuk olahraga prestasi. Yang lagi-lagi, olahraga prestasi domainnya untuk atlet. Artinya eksklusif. Jadi negara kita ini belum sepenuhnya mendukung inklusivitas olahraga,” katanya.

Ia juga meminta pemerintah untuk membuat kembali instrumen olahraga inklusif yang bisa dilakukan oleh semua kalangan, lapisan dan generasi. Instrumen inilah yang dijadikan tools untuk mengerek angka SDI masyarakat Indonesia.

“Tanpa ada dasar inklusivitas olahraga, kita nggak mungkin ke depan 10-20 tahun lagi kita punya calon-calon bibit yang baik karena mereka hampir keseluruhan dalam kondisi yang sakit karena mereka tidak punya instrumen olahraga yang inklusif,” katanya.

Kemenpora sendiri, dalam Laporan Indeks Pembangunan Olahraga 2023, mengakui, capaian hasil pembangunan olahraga, termasuk angka partisipasi olahraga dan kondisi kebugaran jasmani masyarakat dalam SDI, masih di bawah target.

Soal ini, Kemenpora menyebut perlu ada terobosan kebijakan dan program yang lebih substansial, komprehensif, terintegrasi, dan berkelanjutan guna meningkatkan kebugaran jasmani melalui intervensi keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat.

“Kebutuhan gerak bagi masyarakat, terlebih pada anak dan pemuda, tidak berbatas waktu dan

tempat, bisa kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu, Gerakan Hidup Aktif Sepanjang Hayat ─GerakSehat─perlu dikampanyekan kepada masyarakat disertai dengan rencana aksi yang lebih nyata, termasuk rekayasa lingkungan yang memudahkan akses untuk berolahraga dan melakukan aktivitas fisik,” tulis Kemenpora dalam keterangan resminya.

==

Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.

Baca juga artikel terkait OLAHRAGA atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar & Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Olahraga
Penulis: Alfitra Akbar & Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty