tirto.id - Puasa Ramadhan dan shalat 5 waktu merupakan bagian dari rukun Islam. Keduanya merupakan ibadah yang wajib hukumnya bagi pemeluk agama Islam. Lalu, bagaimana jika seorang muslim berpuasa tapi tidak sholat? Apa hukumnya menurut hadits?
Puasa artinya menahan lapar, dahaga, serta hal-hal lain yang bisa membatalkan, mulai terbit fajar (subuh) hingga tenggelamnya matahari (magrib). Puasa menjadi suatu kewajiban bagi muslim mukalaf yang tidak memiliki uzur syar'i.
Perintah puasa datang langsung dari Allah Swt. melalui firmannya dalam surah Al Baqarah ayat 183:
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al Baqarah [2]: 183).
Sama halnya dengan puasa, salat juga wajib bagi seorang muslim, utamanya yang sudah balig. Lalu, bagaimana jika salah satu di antara keduanya dikerjakan tetapi yang lain ditinggalkan?
Hukum Puasa tetapi Tidak Shalat Lima Waktu
Untuk menjawab apakah puasa Ramadan tergolong batal jika meninggalkan salat 5 waktu, perlu diketahui terlebih dahulu penyebab dan alasannya.
Penyebab inilah yang menentukan hukum apa yang dikenakan. Penyebab satu dan yang lainnya memiliki implikasi hukum yang berbeda-beda.
Hasan Bin Ahmad al-Kaf dalam kitab Taqriratus Sadidah fi Masail Mufidah menjelaskan bahwa ada dua kondisi orang yang meninggalkan salat. Hal itu termuat dalam artikel NU Online berjudul "Hukum Puasa, tapi Tinggalkan salat" yang ditulis oleh Hengki Ferdiansyah.
Pertama, meninggalkan salat karena mengingkari kewajibannya.
Seseorang yang menjalankan ibadah puasa Ramadan tetapi meninggalkan salat lima waktu karena mengingkari kewajiban, maka puasanya batal.
Mengingkari kewajiban berarti menganggap bahwa salat merupakan hal yang tidak wajib dilakukan. Artinya, ia tidak meyakini salat sebagai ibadah wajib.
Oleh karena itu, ia dihukumi sebagai murtad. Dalam Islam, seseorang yang murtad dianggap sudah keluar dari Islam dan secara otomatis ibadahnya batal atau tidak sah.
Sementara itu, seseorang yang menjalankan puasa Ramadan tetapi meninggalkan salat dikarenakan lalai atau malas, ia masih dianggap seorang muslim. Sehingga, secara hukum fikih, puasanya tidak dianggap batal.
Namun demikian, puasanya tidak bernilai apapun. Dengan kata lain, tindakan ini merusak pahala atau mengurangi kesempurnaan ibadah, tetapi tidak membuatnya batal.
Hukum pembatalan puasa ini dapat dipahami melalui dua kategori yang juga dijelaskan dalam Kitab Taqriratus Sadidah fi Masail Mufidah. Di situ disebutkan bahwa pembatalan puasa dapat dibagi menjadi kategori muhbithat (merusak pahala puasa) dan kategori mufthirat (membatalkan puasa).
Kategori muhbithat merupakan pembatalan puasa yang merusak pahala puasa, tetapi tidak membatalkan ibadah puasa. Kategori ini tidak mewajibkan adanya qada (membayar utang puasa di luar Ramadan).
Sedangkan kategori mufthirat merujuk pada suatu tindakan yang dapat membatalkan puasa sekaligus merusak pahalanya. Apabila melakukan ini tanpa uzur syar’i, maka wajib mengqada atau mengganti puasa di hari lain di luar puasa Ramadan.
Penulis: Syaima Sabine Fasawwa
Editor: Fadli Nasrudin