Menuju konten utama

Apa Itu Mokel dan Hukum Sengaja Membatalkan Puasa Ramadhan?

Apa itu mokel dan bagaimana hukum sengaja membatalkan puasa Ramadhan? Berikut ini penjelasan lengkapnya.

Apa Itu Mokel dan Hukum Sengaja Membatalkan Puasa Ramadhan?
Ilustrasi buka puasa di bulan Ramadhan. (FOTO/iStockphoto)

tirto.id - Istilah mokel sering muncul selama bulan Ramadhan. Kata mokel kerap diungkapkan oleh kalangan tertentu sehingga sebagian orang mungkin bertanya mokel itu apa.

Mokel termasuk bahasa gaul di masyarakat pengguna bahasa Jawa, terutama warga asal Jawa Timur. Saat dikaitkan dengan orang yang berpuasa, istilah ini bermakna negatif.

Mokel puasa artinya apa dan bagaimana hukumnya dalam Islam? Penjelasan lengkapnya bisa disimak dalam ulasan berikut

Apa Yang Dimaksud Dengan Mokel Puasa?

Apa itu mokel? Arti mokel adalah membatalkan puasa sebelum waktu berbuka. Misalnya dengan makan atau minum saat pagi, siang, atau sore hari pada bulan Ramadhan ketika waktu maghrib belum tiba.

Mengingat puasa adalah menahan diri dari segala hal membatalkannya (termasuk makan dan minum pada siang hari), mokel artinya membuat puasa batal dengan sengaja. Maka itu, istilah mokel sering berkonotasi negatif karena hal-hal yang membatalkan puasa baru boleh dilakukan pada waktu setelah maghrib hingga jelang subuh.

Arti mokel dalam puasa tadi umum berlaku di kalangan pengguna bahasa Jawa. Bahasa gaul mokel lainnya yang punya arti serupa ialah mokak, mokah, hingga godin.

Apa Hukum Mokel Puasa Ramadhan?

Apa hukum mokel puasa? Mokel adalah membatalkan puasa dengan sengaja. Pada bulan Ramadhan, orang Islam yang telah wajib berpuasa harus menahan diri dari hal-hal yang membatalkan ibadah ini sejak fajar terbit (awal waktu subuh) hingga matahari tenggelam (waktu maghrib).

Lantas, apakah mokel itu dosa? Dalam Islam, kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan berlaku untuk muslim dan muslimah yang sudah baligh, berakal, serta memenuhi syarat wajib puasa lainnya. Namun, dalam hukum Islam (fikih), berlaku ketentuan tertentu yang membolehkan orang tidak berpuasa meski sebenarnya ia wajib menjalankannya.

Maka itu, hukum mokel puasa Ramadhan bisa dibagi menjadi dua. Keduanya ialah hukum mokel puasa dengan uzur syar'i dan tanpa uzur syar'i. Berikut ini penjelasan lengkap soal hukum mokel puasa Ramadhan:

1. Hukum Mokel Puasa dengan Uzur Syar'i

Hukum mokel atau sengaja membatalkan puasa di bulan Ramadan diperbolehkan, apabila ada uzur syar’i. Artinya, mokel puasa Ramadhan tanpa ada uzur syar’i tidak dibenarkan di dalam Islam.

Puasa Ramadan merupakan ibadah wajib bagi umat Islam yang telah mukalaf (ditandai telah balig hingga berakal) serta tidak memiliki uzur syar’i. Kewajiban menjalankan puasa dalam 29 atau 30 hari bulan Ramadan termuat dalam firman Allah Swt. Surah Al-Baqarah ayat 183 sebagai berikut.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Yā ayyuhal-lażīna āmanū kutiba ‘alaikumuṣ-ṣiyāmu kamā kutiba ‘alal-lażīna min qablikum la‘allakum tattaqūn(a).

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Apa saja uzur syar'i yang membuat seorang muslim atau muslimah boleh mokel puasa di bulan Ramadhan? Simak dulu penjelasan hukum mokel puasa tanpa uzur syar'i.

2. Hukum Mokel Puasa Ramadhan Tanpa Uzur Syar'i

Hukum mokel puasa Ramadhan tanpa uzur syar’i bagi kaum muslim yang telah mukalaf (memenuhi syarat wajib puasa) adalah haram. Kendati mereka dapat mengqada puasa Ramadhan (mengganti puasa) di lain waktu, seakan setahun penuh berpuasa tidak bisa menukar siam yang telah ditinggalkan.

Dalam suatu riwayat, Rasulullah Saw. pernah bersabda sebagai berikut, “Barang siapa tidak puasa satu hari di bulan Ramadhan tanpa adanya keringanan yang Allah 'azza wa jalla berikan kepadanya, maka tidak akan bisa menjadi ganti darinya [walaupun ia berpuasa] selama satu tahun,” (H.R. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Khuzaimah).

Meninggalkan ibadah wajib termasuk perbuatan yang mendatangkan dosa besar. Hukum ini juga berlaku untuk mokel puasa Ramadhan tanpa uzur syar’i.

Seturut hadits yang diriwayatkan dari Abu Umamah, Rasulullah SAW menceritakan siksa untuk yang mokel puasa Ramadan tanpa uzur syar'i sebagai berikut:

“Pada saat aku tidur, aku bermimpi didatangi dua orang malaikat membawa pundakku. Kemudian mereka membawaku, saat itu aku mendapati suatu kaum yang bergantungan tubuhnya, dari mulutnya yang pecah keluar darah. Aku bertanya, ‘Siapa mereka?’ Ia menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum diperbolehkan waktunya berbuka puasa’,” (H.R. An-Nasa’i).

Apakah Mokel Puasa Diperbolehkan dalam Islam?

Jika disebabkan adanya udzur syar'i, mokel atau sengaja membatalkan puasa pada bulan Ramadan diperbolehkan dalam Islam. Orang yang punya uzur syar’i justru dianjurkan mokel demi kebaikan dan kesehatan dirinya. Apa saja udzur puasa Ramadhan yang membuat diperbolehkannya mokel?

Uzur syar’i adalah keadaan di luar kemampuan manusia yang menjadi alasan pemberian rukhsah (keringanan) bagi kaum muslim sehingga boleh tidak menunaikan ibadah wajib, seperti puasa Ramadhan.

Adanya rukhsah merupakan wujud prinsip Islam sebagai agama yang mudah serta tidak memberatkan (al-islamu dinu yusrun wus'atun). Hal ini sebagaimana hadis riwayat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda sebagai berikut:

Sesungguhnya agama itu mudah. Dan selamanya agama tidak akan memberatkan seseorang melainkan memudahkannya. Karena itu, luruskanlah, dekatilah, dan berilah kabar gembira! Minta tolonglah kalian di waktu pagi-pagi sekali, siang hari di kala waktu istirahat dan di awal malam,” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bentuk uzur syar’i yang membuat umat Islam boleh meninggalkan puasa Ramadhan, atau bahasa gaulnya mokel, ada beragam. Sebagian di antaranya telah dijelaskan di Surah Al-Baqarah ayat 184 sebagai berikut:

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Ayyāmam ma‘dūdāt(in), faman kāna minkum marīḍan au ‘alā safarin fa ‘iddatum min ayyāmin ukhar(a), wa ‘alal-lażīna yuṭīqūnahū fidyatun ṭa‘āmu miskīn(in), faman taṭawwa‘a khairan fahuwa khairul lah(ū), wa an taṣūmū khairul lakum in kuntum ta‘lamūn(a).

Artinya: (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Syeikh Muhammad Nawawi Al-Bantani melalui kitab Kasyifatu Saja memperjelas golongan orang-orang yang dianggap memiliki uzur syar’i sehingga boleh meninggalkan puasa.

Mereka meliputi musafir, orang sakit, orang jompo, wanita hamil dan ibu menyusui, serta orang yang tercekik haus dan lapar (haus dan lapar dalam kondisi ekstrem).

Kendati demikian, orang yang beruzur syar’i wajib mengqada atau mengganti puasa Ramadan di lain waktu. Waktu pelaksanaan puasa qada Ramadan sebaiknya dilakukan setelah bulan Ramadan tersebut dan sebelum datangnya bulan suci di tahun berikutnya, kecuali pada hari-hari yang diharamkan berpuasa, yaitu Idul Fitri, Idul Adha, dan 3 hari tasyrik.

Buya Yahya dalam buku Fiqih Praktis Puasa menuliskan golongan orang-orang yang boleh meninggalkan puasa Ramadhan (termasuk mokel) dan ketentuan kewajiban mengqada atau tidak secara lengkap sebagai berikut:

  1. Anak Kecil (tidak wajib qada puasa maupun bayar fidyah).
  2. Orang gila yang tidak disengaja (tidak wajib qada puasa maupun bayar fidyah).
  3. Orang gila yang disengaja (wajib qada puasa saat sudah sembuh).
  4. Orang sakit dengan harapan sembuh (wajib qada puasa saat sudah sembuh).
  5. Orang sakit tanpa harapan sembuh (wajib membayar fidyah).
  6. Orang tua yang tidak mampu puasa (wajib membayar fidyah).
  7. Orang bepergian atau musafir (wajib qada puasa).
  8. Perempuan sedang haid (wajib qada puasa).
  9. Perempuan sedang nifas (wajib qada puasa).
  10. Ibu hamil yang khawatir akan kondisi dirinya (wajib qada puasa).
  11. Ibu menyusui yang khawatir akan kondisi dirinya (wajib qada puasa).
  12. Ibu hamil yang khawatir akan kondisi dirinya dan bayi (wajib qada puasa).
  13. Ibu menyusui yang khawatir akan kondisi dirinya dan bayi (wajib qada puasa).
  14. Ibu hamil yang khawatir ke kondisi bayinya saja (wajib qada puasa dan bayar fidyah).
  15. Ibu menyusui yang khawatir ke kondisi bayinya saja (wajib qada puasa dan bayar fidyah).

Baca juga artikel terkait RAMADHAN 2024 atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fitra Firdaus
Penyelaras: Addi M Idhom