tirto.id - (Bagian pertama dapat dibaca pada tautan berikut).
Marcus Mietzner, seorang peneliti asal Australia yang tertarik dengan politik Indonesia sejak 1986, menyatakan bahwa “sistem kepartaian Indonesia kurang representatif.” Singkanya, banyak kelompok masyarakat yang tidak terwakilkan oleh partai-partai yang ada.
“Terlihat stabil, tapi fondasinya terkikis dan menuju kehancuran. Sistem politik Indonesia gagal mewakili banyaknya konstituen yang ada. Sekarang, Indonesia punya sistem kepartaian dengan politisi sentris yang mengaku mewakili realitas politik Indonesia--nyatanya tidak,” tulis Mietzner.
Kata kuncinya adalah “sentris”. Menurutnya partai menjadi tidak akomodatif karena mereka meniru gerak Partai Demokrat yang mengambil posisi jalan tengah. Mereka melihat ada potensi meraup suara dari sana. Hal ini misalnya tampak dalam diri Partai Gerindra. Kelompok Islam, yang biasa berkelindan bersama partai religius macam PKS atau PPP, mulai mengalihkan dukungannya ke partai berhaluan nasionalis ini karena sosok Prabowo Subianto.
Masalahnya juga adalah sulit mencari pilihan baru. Jadi suara yang tidak terakomodasi tadi tetap saja sulit tersalurkan. Partai-partai baru memang bermunculan, tapi tidak serta mereka bisa mengikuti pemilu apalagi berhasil masuk parlemen.
Salah satu penyebabnya adalah syarat untuk lolos. Syarat yang dibuat pada pemilihan 2014 adalah partai politik peserta pemilu harus punya kepengurusan di 34 provinsi, setelah sebelumnya hanya sebanyak 75%.
Masalah lanjutannya, partai yang mencoba peruntungan ini tidak punya modal yang cukup. Lewat wawancara dengan partai yang tak berhasil lolos ke parlemen, Partai Hijau Indonesia, InsideIndonesiamenemukan bahwa kesulitan partai untuk maju karena memang perkara tersebut.
Disertasi analis politik Bonifasius Hargens yang terbit pada 2019 lalu mengemukakan analisis serupa. Menurutnya situasi ini adalah hal yang disengaja: bahwa sistem politik di Indonesia, yang digerakkan oleh partai-partai besar, memang mencegah munculnya partai-partai baru untuk bisa merangsek ke parlemen. Mereka sengaja membatasi persaingan.
UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 adalah alatnya. Peraturan tersebut mengatur tentang ambang batas parlemen 4%, yang dibuat oleh partai-partai yang sudah berhasil mendapatkan suara besar. Selain menyederhanakan partai di Indonesia seperti masa Orde Baru (karena tak banyak partai yang akhirnya bisa menembus parlemen), aturan ini juga memungkinkan hilangnya ruang kritik di parlemen.
“Mereka pada dasarnya adalah oligark, tapi beraksi seperti kartel,” catat Boni. “Data yang peneliti temukan dan kecocokan metode yang diterapkan sampai pada kesimpulan bahwa elite yang sedang berkuasa di Indonesia sekarang adalah kartel oligarki.”
Bagi Boni, gagalnya semua partai baru, termasuk Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dalam pemilu 2019 dan ketidakseimbangan koalisi telah membuktikan adanya kartelisasi oligarki di Indonesia.
Beda?
PSI didirikan setelah pemilu 2014 sehingga pengalaman pertama mereka mengikuti kompetisi secara nasional adalah pada 2019 lalu. Sebagai partai baru, PSI mengedepankan prinsip anti-korupsi dan anti-intoleransi.
Selama ini mereka menampilkan diri sebagai partai baru yang mencoba mendongkrak kekuasaan partai-partai lama. Mereka mendaku diri sebagai pembeda dan akan diisi oleh orang-orang muda. Sekilas, mereka terlihat bukan bagian dari oligarki.
Kendati demikian, bukan berarti PSI jadi “korban” tindakan elite. Beberapa kalangan bahkan mengatakan PSI sama saja dengan partai lain. “Partai baru ini juga tidak ada bedanya dengan partai lama,” tulis Abdil Mughis Mudhoffir, sekarang berstatus postdoctoral research visitor di Asia Institute, University of Melbourne, diNew Mandala.
Salah satu indikasinya adalah keberadaan pengusaha yang membiayai kegiatan mereka. Para pengusaha ini, kata Abdil, terhubung dengan oligark. Oligark secara umum menggunakan partai tidak lain untuk memenangkan kepentingan mereka lewat regulasi. Tapi Tsamara Amany, saat masih menjadi pengurus partai, mengatakan tidak ada intervensi dari mana pun, yang buktinya adalah pemilihan bakal caleg dilakukan tim independen.
Tingkah laku PSI juga dianggap kontradiktif atau setidaknya pragmatis dalam menanggapi kebijakan nasional. Misalnya saja, menurut Abdil, PSI mendukung Basuki Tjahaja Purnama (BTP) dalam kasus penistaan agama, tapi mendukung Perppu Ormas yang justru “mereplikasi UU penodaan agama.”
Soal ini, lewat Facebook, PSI menyatakan bersikap demikian karena “Perppu ini diperlukan untuk mencegah tumbuhnya organisasi-organisasi yang memperjuangkan ideologi atau gagasan yang bertentangan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
PSI yang kerap mengidentifikasi diri sebagai perwakilan kaum muda juga terus mendukung pemerintahan Joko Widodo, padahal survei Indikator Politik Indonesia pada 2021 menunjukkan 61% anak muda di Jakarta tak puas pada kinerja Jokowi. Kritik mereka ke pemerintah pusat sangat jarang, berbanding terbalik dengan apa yang mereka lakukan di DKI Jakarta, provinsi yang dipimpin oleh lawan politik mereka, Anies Baswedan.
Sikap ini sama seperti sebagian besar partai lama di Indonesia yang memilih bergabung sebagai koalisi pendukung pemerintah--yang konsekuensinya adalah pemerintahan minim oposisi. Dan menurut Abdil, sebagai partai baru yang basis sosialnya lemah dan menyasar kelas menengah, tindakan menempel pada kekuasaan adalah sesuatu yang bisa ditebak.
“Tidak heran jika mereka juga menunjukkan kecenderungan turut menempel pada faksi oligark tertentu, ketimbang berusaha melawannya. Maka, saat memasuki gelanggang politik yang lebih riil pada momen pemilu dan sesudahnya kecenderungan itu tampaknya akan semakin kuat, sehingga menghambat berbagai kemungkinan perubahan yang menantang kepentingan-kepentingan oligarki.”
Analisis Abdil empat tahun lalu semakin nyata saat ini. Keputusan PSI mengusung Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebagai calon presiden untuk pemilu 2024 mengharuskan mereka berkoalisi dengan partai lain. Soalnya, PSI tidak punya kekuatan di parlemen. PSI mulai mendekati partai-partai politik lain akhir-akhir ini, mulai dari Partai Golkar dan rencananya berlanjut ke PAN serta PPP.
PSI yang awalnya mengaku reformis dan menyasar generasi milenial pada akhirnya harus tunduk pada sistem politik Indonesia--kendati harus bergabung dengan partai yang selama ini tidak dipercaya masyarakat.
Sebenarnya keputusan PSI mencoba akrab dengan partai-partai lama bukan lagi sesuatu yang mengejutkan. Ketika ada wacana Jokowi tiga periode, meski ditentang banyak orang, tohPSI tetap mendukungnya. Sekretaris Jenderal PSI Dea Tunggaesti mengatakan dasarnya adalah karena mereka “pecinta dan pengagung Pak Jokowi.”
“Partai baru ini (PSI) punya masalah pencitraan. Tidak diragukan lagi. Namun yang paling jadi masalah bagi para pemilih progresif bukan hanya karena partai yang mengaku milenial ini sering bertingkah layaknya baby boomer, tapi mereka punya logika berpikir yang sama seperti predator politik dalam proses demokrasi elektoral sejak keruntuhan Soeharto,” demikian Ary Hermawan dari Jakarta Post dengan tepat menggambarkan wajah PSI sekarang.
Jadi, apakah dengan semakin lama tampak seperti partai lama mampu membuat PSI memenuhi target elektoral mereka di 2024 nanti, 7 persen?
Editor: Rio Apinino