tirto.id - “Jangan pernah ragu ketika ada sekelompok kecil yang bijaksana, warga negara yang berdedikasi, bisa mengubah dunia, justru hanya itulah yang mereka pernah lakukan."
Kalimat yang dipercaya berasal dari Margaret Mead, antropolog asal Amerika Serikat, ini sering dipakai orang atau relawan untuk membakar semangat perjuangan gerakan sipil di berbagai tempat, tidak terkecuali gerakan politik. Mereka yang hanya merupakan warga negara biasa –bukan dari kelompok partai politik, tidak patah arang karena mereka merasa punya pengaruh dalam pilihan masa depannya.
Hurriyah, Wakil Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia menganggap munculnya relawan adalah pertandan gerakan masyarakat madani yang baik dalam iklim politik Indonesia. Kehadirannya bisa mendorong partisipasi masyarakat sipil dalam pemilu.
Kehadiran relawan ini bukan saja bisa dimaknai bahwa masyarakat semakin skeptis dengan partai politik, tetapi juga pertanda masyarakat berusaha keras melawan kelompok oligarki. Pemaknaan ini terjadi pada Pilpres 2014 ketika banyak sekali kelompok relawan Joko Widodo muncul dari masyarakat sipil di luar kendali partai.
Relawan-relawan yang berada di sisi Jokowi menganggap dukungan pada mantan Gubernur DKI Jakarta itu adalah suatu kemajuan demokrasi. Terutama karena Jokowi, saat itu, adalah antitesis dari Prabowo Subianto yang erat dengan pelanggaran HAM.
Namun benarkah hadirnya relawan politik berbanding lurus dengan kemajuan demokrasi?
Hurriyah tak sepakat.
“Mengaitkan peran relawan terhadap pendalaman proses demokrasi di Indonesia bisa jadi terlalu dini dan terlalu menyederhanakan,” catat Hurriyah dalam tulisannya berjudul The Myth of Civil Society’s Democratic Role: Volunteerism and Indonesian Democracy: The Myth of Civil Society’s Democratic Role: Volunteerism and Indonesian Democracy (2022).
Beberapa kelompok relawan, menurut Hurriyah, sebenarnya punya agenda tersendiri. Mereka yang awalnya terkesan memperjuangkan kepentingan demokrasi dengan mendukung Jokowi –yang nyatanya juga produk oligarki, pada akhirnya hanya menjadi bagian partai politik sebagai juru kampanye semata. Hal ini bisa dilihat setelah kemenangan Jokowi.
“Didorong atas dasar objektivitas memilih Jokowi sebagai presiden, relawan menjadi juru kampanye yang signifikan sebagai pengganti fungsi partai politik, tapi mereka jadi tak relevan setelah pemilu. Justru setelah pemilu, relawan yang dikiranya demokratis tidak menunjukan itu. Mereka justru menjadi bajingan yang menunjukan perilaku politik oportunis,” catat Hurriyah lagi.
Sukseskan Ganjar, Ributkan Publik
Apa yang dilihat oleh Hurriyah ada benarnya. Setelah Pilpres 2014, Hurriyah menemukan bahwa kelompok relawan seperti Projo, juga Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) yang dipimpin oleh politikus PDIP Adian Napitupulu banyak yang menempati posisi komisaris di perusahaan asuhan BUMN.
Tidak sulit mencapai kesimpulan bahwa Jokowi melakukan politik balas budi setelah dukungan relawan dalam pemilu presiden. Di Indonesia, posisi komisaris BUMN ini memang sering jadi nilai tukar keringat relawan memperjuangkan calon presiden.
Hal yang nyatanya diulangi Jokowi pada tahun 2019.
Tercatat nama-nama relawan atau tim kampanye Jokowi mendapat jabatan.
Ambil contoh Zuhairi Misrawi yang ditunjuk sebagai Komisaris Independen PT Yodya Karya (Persero) –kemudian jadi Duta Besar RI untuk Tunisia; Kristia "Dede" Budhyarto menjadi Komisaris Independen PT Pelni; juga Dyah Kartika Rini alias Kartika Djoemadi, pendiri Jasmev yang jadi Komisaris Dana Reksa dan Komisaris Independen Jasa Raharja.
Lantas ada Ketua Umum Barisan Relawan Jokowi (Bara JP) Victor S Sirait yang diangkat jadi Komisaris Waskita; Ketua Umum Sedulur Jokowi, Paiman Rahardjo jadi Komisaris Perusahaan Gas Negara; Ketua Umum Jokowi Mania (JoMan) Immanuel Ebenezer jadi Komisaris PT Mega Eltra.
Tak lupa, ada Fadjroel Rahman sebagai Staf Khusus Presiden, Komisaris PT Waskita Karya (Persero), dan terakhir menjadi Duta Besar Indonesia untuk Kazakhstan; serta Ulin Ni'am Yusron yang jadi Komisaris Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) atau PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero).
Nama terakhir bahkan tak segan mengakui bahwa ia meminta jabatan tersebut kepada Jokowi di periode kedua.
Hanya saja masih banyak relawan atau simpatisan Jokowi di media sosial yang tidak mendapat jabatan dari Jokowi. Sebut saja nama-nama seperti Ade Armando, Denny Siregar, Eko Kuntadhi, Pepih Nugraha, atau mantan kader PSI Dedek Prayudi (Uki)
Mereka kini beralih kepada sosok baru untuk kontestasi pilpres 2024: Ganjar Pranowo.
Baik Ade, Denny, dan Eko ketiganya masuk dalam kelompok relawan Ganjarist, sedangkan Uki menjadi bagian dari relawan Teman Ganjar. Ebenezer yang dicopot dari jabatan Komisaris BUMN PT Mega Eltra juga kembali membuat kelompok relawan yang dia beri nama Ganjar Pranowo Mania (GP Mania). Dia bahkan sedang merumuskan Dewan Kopral, tandingan dari Dewan Kolonel yang dibentuk untuk memenangkan Puan Maharani sebagai capres. Tujuan Dewan Kopral adalah mendorong agar Ganjar akhirnya bisa jadi calon presiden di tahun 2024 mendatang.
Kehadiran berbagai macam relawan ini bisa menjadi kelompok penekan bagi Megawati Soekarnoputri yang sampai sekarang belum juga menentukan nama untuk maju dalam kontestasi pilpres 2024. Tidak heran jika simpatisan Puan kemudian juga membuat relawan internal partai tanpa sepengetahuan Megawati sendiri.
Lalu, kenapa Ganjar?
Ganjar dan Jokowi punya sedikit kemiripan. Dari pengalaman sebelumnya, Jokowi yang baru saja jadi Gubernur Jakarta di tahun 2012 juga enggan didukung PDIP sebagai calon presiden pada tahun 2014, tapi karena ramainya gerakan masyarakat sipil, Megawati sampai hati menyingkirkan Prabowo dari posisi calon presiden dan mengusung Jokowi. Elektabilitas Jokowi sebagai capres memang tinggi, bahkan lebih daripada Megawati atau Prabowo. Sekarang pun elektabilitas Ganjar bersanding di tiga teratas bersama Prabowo dan Anies Baswedan.
Popularitas Puan masih tertinggal jauh, tapi banyak orang PDIP yang tidak mau Ganjar maju dan justru mendukung Puan jadi calon presiden berikutnya.
Masalahnya, kehadiran relawan, terutama dari hasil kontestasi masa lalu Jokowi-Prabowo meninggalkan jejak yang tidak bisa dikatakan baik. Denny, Eko, dan simpatisan Jokowi lainnya yang aktif di media sosial seringkali diidentikan dengan kata buzzer alias pendengung. Mereka dianggap sebagian orang yang bukan berusaha mencari pemimpin terbaik –atau sesuai pandangan Hurriyah membela demokrasi, tetapi justru menghalanginya. Segala kritik kepada pemerintah dibengkokan dan pemerintahan Jokowi yang banyak cela –misal dalam pemilihan Ketua KPK Firli Bahuri, buzzer kemudian meramaikan isu ada radikalisme di dalam KPK.
Penggiringan opini oleh buzzer ini sebenarnya tak selalu dilengkapi data-data pendukung yang kuat dan hanya bersifat menyulut baku hantam tanpa menyinggung kebijakan sama sekali. Hal ini terlihat sudah sejak kampanye pilpres 2019.
Saskia Wieringa, akademisi dari Universitas Amsterdam melihat salah satu situs pendukung Jokowi, Seword.com hanya menampilkan puja-puji pada Jokowi dan menyudutkan lawan politik, terutama yang akrab dengan kelompok Islam kanan. Belakangan Anies Baswedan adalah targetnya.
Inilah yang menjadi bahaya dari kampanye atau dukungan relawan dengan tujuan politik tertentu. Tidak semua relawan paham bagaimana melakukan kampanye yang fokus pada program-program kerja. Hasilnya, relawan akhirnya menyerang kepribadian atau karakter dari figur capres lawan yang bertentangan dengan etika kampanye. Ujungnya masyakat justru terbelah dan menimbulkan konflik di akar rumput.
“Ketidakkompetenan relawan dalam mengolah isu bisa menyeret masyarakat ke dalam debat non-substansial yang justru menimbulkan kekacauan dan polarisasi,” tulis Ari Ganjar Herdiansyah dalam studinya Political Participation Convergence in Indonesia: A Study of Partisan Volunteers in the 2019 Election (2019).
Muninggar Sri Saraswati dalam tulisannya berjudul The Political Campaign Industry and The Rise of Disinformation in Indonesia (2021)yang diterbitkan oleh The ISEAS – Yusof Ishak Institute berargumen bahwa tren penggunaan relawan dalam disinformasi ini dimulai pada tahun 2012 ketika media sosial mulai ramai digunakan di Indonesia, utamanya dalam politik. Jika dulu elite politik mempertahankan kuasa dengan kekuatan uang dan kekuasaan, sekarang kehadiran relawan yang menjadi buzzer di media sosial menjadi pilihan lainnya –dan terbukti sukses.
“Di Indonesia, peningkatan secara signifikan buzzer politik dan produksi disinformasi lewat media sosial telah terbukti menjadi unsur penting kemenangan dalam pemilu dan menjaga kebijakan presiden terpilih nantinya,” catat Muninggar.
Dengan tidak adanya petahana yang ikut kontestasi di pilpres 2024, sebenarnya calon-calon presiden macam Prabowo, Ganjar, dan Anies punya persaingan ketat dan relatif seimbang. Namun dengan masalah isu agama yang terus saja disuarakan, tidak heran jika nanti Pilpres 2024 tak jauh dari debat masalah sektarian alih-alih perdebatan soal kebijakan, atau berbicara perkara ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang jauh lebih penting. Sama seperti sebelumnya, perhelatan pilpres 2024 diprediksi akan jalan di tempat saja.
Kembali pada pernyataan Mead “sebuah kelompok kecil yang bijaksana […] bisa mengubah dunia.
Namun bagaimana jika kelompok itu tidaklah bijak? Masihkah perubahan itu patut kita nantikan?
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Nuran Wibisono