tirto.id - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mendeklarasikan Gubernur Jawa Tengah yang juga merupakan anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Ganjar Pranowo, sebagai calon presiden untuk pemilu 2024. Langkah ini mereka umumkan hanya beberapa bulan setelah kadernya sendiri tak lagi berupaya menjadi RI 1, seseorang yang dulu kita kenal sebagai vokalis band Nidji, Giring Ganesha Djumaryo.
Giring mendeklarasikan diri maju sebagai calon presiden pada 2020, kemudian setahun berikutnya mendapat jabatan sebagai ketua umum menggantikan Grace Natalie. Waktu itu Giring mengaku pantas menjadi RI 1 karena punya banyak pengalaman memimpin, dari mulai “memimpin perusahaan, memimpin band, memimpin industri menjadi lebih besar lagi.”
Namun niat Giring disambut dingin oleh publik. Survei Y-Publica tahun 2021 menemukan hanya 2,1% dari 1.200 responden yang menginginkannya sebagai presiden. Menariknya, angka ini masih lebih tinggi ketimbang nama Ketua DPR Puan Maharani--survei yang sama menyebut elektabilitas puan hanya 0,7%.
Giring akhirnya mengurungkan niat untuk bertaruh pada Februari 2022 dengan alasan Presiden Joko Widodo masih dikehendaki masyarakat untuk terus memimpin Indonesia.
Alasan ini rasanya cukup dibuat-buat karena dua alasan: pertama, aturan hukum tidak memperbolehkan siapa pun menjadi presiden lebih dari dua periode; kedua, PSI tak punya perwakilan di DPR untuk mewujudkan mimpi “tiga periode” lewat amandemen konstitusi.
PSI banting setir mendukung Ganjar setelah Jokowi menegaskan menolak menjabat tiga periode. Nama Ganjar memang kerap berada di urutan atas dalam setiap survei; selalu di sekitar tiga besar. Selain dia, menurut survei berbagai lembaga, masyarakat masih lebih percaya pada sosok seperti Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.
PSI menyatakan bahwa sikap ini diambil karena Ganjar adalah “calon terbaik karena memiliki visi kebangsaan dan kebhinekaan yang sama,” juga “sosok yang paling pas untuk melanjutkan kerja-kerja yang selama ini telah dilakukan Pak Jokowi.” Namun PSI, lewat situs resmi, juga menekankan bahwa Ganjar bukan dipilih oleh elite partai, melainkan “pilihan rakyat lewat Rembuk Rakyat” yang “sesuai dengan hati nurani kami di PSI.”
Masalahnya, betapa pun besar dukungan kepada Ganjar, semua akan sia-sia jika PDIP atau partai politik di DPR tidak ada yang mau mengusungnya. PSI tak punya secuil pun kesempatan mengusung Ganjar karena tak satu pun kader mereka ada di parlemen pusat, sementara Indonesia masih menganut sistem ambang batas pencalonan presiden sebesar 20%.
Lantas, mengapa mereka berstrategi demikian?
Berharap Coattail Effect?
Ini bukan kali pertama PSI mencalonkan politikus berbendera lain. Pada tahun 2018, mereka adalah salah satu yang paling awal mendukung Jokowi untuk maju lagi sebagai capres pemilu 2019.
Meski Jokowi akhirnya mengalahkan Prabowo (lagi), PSI sendiri gagal di tingkat nasional. Mereka hanya berhasil meraih kursi legislatif tingkat daerah (DPRD). PSI hanya dipilih 1,89% konstituen atau setara 2,6 juta suara. Angka ini masih di bawah ambang batas parlemen sebesar 4% dan sangat jauh dari target yang mereka tetapkan sendiri, 20 persen suara.
Kegagalan tampaknya semakin menyesakkan karena mereka mengeluarkan banyak dana untuk kampanye. Laporan resmi mencatat PSI menggelontorkan dana sebesar Rp84,65 miliar. Angka ini bahkan ada di atas PPP yang mampu merebut 4,52% suara dan lolos ke parlemen--kendati menurun dibandingkan 5 tahun sebelumnya. Pengeluaran PPP sebanyak Rp76,55 miliar. Keduanya sama-sama mendukung paslon Jokowi-Ma’ruf Amin.
Dalam literatur ilmu politik terdapat sebuah konsep tentang dukung mendukung seperti ini, namanya coattail effect atau efek ekor jas. Ringkasnya ini adalah pengaruh figur atau tokoh dalam meningkatkan suara partai. Dan dalam konteks ini figur yang dimaksud tak lain adalah Jokowi. Pada pilpres 2019, 76% pemilih partai yang bergabung dalam koalisi Indonesia Maju juga merupakan pendukung dari pasangan Jokowi-Ma’ruf, sedangkan pemilih koalisi Indonesia Adil Makmur, sekitar 78% memilih Prabowo-Sandiaga Uno.
Masalahnya adalah, menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan, tidak semua partai mendapatkan coattail effect. Djayadi menemukan bahwa pendukung capres-cawapres itu banyak yang mengalihkan dukungannya ke partai pengusung (utama). Jokowi, misalnya, dengan PDIP. Dari sekian banyak pendukung Jokowi-Ma’ruf, sebanyak 33% memberikan suaranya kepada PDIP. Sedangkan di kubu Prabowo-Sandiaga, sebesar 25% pemilih memberikan dukungan pada Partai Gerindra.
“Kita bisa melihat bahwa di koalisi pemenang pilpres, pengaruh positif capres hanya terlihat terhadap PDI-P, PKB, dan Nasdem. PPP dan PBB malah memperoleh pengaruh negatif. Partai-partai lain cenderung tak mendapat pengaruh apa pun dari capres yang diusungnya,” tulis Djayadi dalam artikel di Rumahpemilu.org.
Kalimat terakhir berlaku bagi PSI. Djayadi beranggapan, hubungan PSI dan pemilih Jokowi-Ma’ruf masuk dalam kategori “hubungan yang tak signifikan alias tak terlihat jelas pengaruhnya.”
Ada tiga faktor yang membuat mengapa coattail effect berlaku pada satu partai tapi tidak untuk partai lain. Pertama, kedekatan dengan kandidat. PDIP dan Nasdem dianggap dengan Jokowi; sedangkan PKB dengan Ma’ruf. Kedua, terkait ideologi partai. Faktor kedua ini berlaku bagi PPP dan PBB. Ma’ruf memang dekat dengan kelompok Islam, tapi anggapan bahwa Jokowi adalah anti-Islam justru membuat rugi mereka.
Ketiga, soal kapasitas untuk mengarahkan koalisi. Ini menjangkiti partai-partai kecil. Perindo, PSI, dan Partai Berkarya jadi contohnya. Bagi Djayadi dalam artikel yang lain, peran mereka lebih sebagai pengikut saja karena tak punya modal kader parlemen dan juga pengaruh ekonomi (alias tak cukup banyak dana).
Kembali ke PSI. Sebagai partai yang berambisi lolos ke parlemen dengan target suara sampai 7 persen (alias jauh di bawah target sebelumnya), sulit menyangkal bahwa dukungan untuk Ganjar adalah salah satu strategi untuk meraup lebih banyak suara, atau dengan kata lain berharap pada coattail effect.
Sayangnya di masa lalu efek ini tidak berlaku bagi mereka, terlebih dalam beberapa waktu terakhir malah terjebak hubungan panas-dingin dengan partai nasionalis sejenis lain semacam PDIP. Bahkan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto secara terbuka menyatakan bahwa langkah PSI mendukung mendukung Ganjar adalah “manuver yang merugikan PDIP.”
Pernyataan tersebut dapat dipahami mengingat basis pemilih keduanya amat mirip. Dalam perhelatan pemilu 2019, beberapa kali PSI juga dianggap berusaha mengambil basis suara PDIP. Tentu saja apakah berhasil atau tidak adalah perkara lain. PSI nyatanya gagal dan hasil survei Charta Politika yang dilakukan September 2022 menunjukkan bahwa kepopuleran PDIP di basis tradisionalnya, Jawa Tengah, masih belum tergoyahkan. Dari 1.200 responden, 42,6% memilih PDIP. Hanya 0,3% yang preferensi politiknya setuju dengan PSI.
Tapi mungkin ceritanya akan lain kali ini. Ganjar bisa jadi jalan pembuka agar di kemudian hari PSI bisa benar-benar punya hak mencalonkan presiden, bukan hanya bicara tanpa kuasa.
(bersambung)
Editor: Rio Apinino