tirto.id - Gagasan tiga periode jabatan presiden kembali muncul usai Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono menyatakan bahwa presiden yang telah menjabat selama dua periode bisa menjadi calon wakil presiden untuk periode berikutnya.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Muhammad Nur Ramadhan merespons hal tersebut. “Selain melampaui mandat jabatannya sebagai Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, pernyataan itu berpeluang membuka keran otoritarianisme dan menciderai nilai-nilai demokrasi,” ucap dia dalam keterangan tertulis, Rabu (14/9/2022).
Pasal 7 UUD 1945 berbunyi "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan." Secara normatif, harus diakui bahwa materi muatan pasal tersebut yang membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden bisa mengundang perdebatan.
Ramadhan melanjutkan sejarah dan semangat perumusan pasal ini adalah untuk membatasi masa jabatan agar sirkulasi kepemimpinan nasional berjalan dengan baik. Sejarah Indonesia, pada masa Orde Lama dan Orde Baru, telah menunjukkan bahwa bermain-main dengan masa jabatan presiden telah melahirkan pemerintahan otoritarianisme yang menyangkal pemenuhan hak-hak dasar, baik kesejahteraan maupun hak-hak sipil.
Dalam hal ini, pernyataan yang dikeluarkan Fajar Laksono seolah bertindak sebagai penafsir konstitusi, padahal hal itu merupakan kewenangan mahkamah melalui persidangan yang terbuka untuk umum. Memberi pernyataan soal tiga periode masa jabatan Presiden bukanlah kewenangan Juru Bicara Mahkamah Agung.
“Pernyataan tersebut sudah keluar dari koridor fungsi dan kewenangan MK yang seharusnya dapat menjaga muruah konstitusi dengan bertindak sesuai koridor regulasi, menjunjung etika, melandaskan segala tindakannya pada prinsip dan nilai demokrasi serta menjunjung HAM,” terang Ramadhan.
Presiden Joko Widodo harus menegaskan bahwa masa jabatan dua periode itu sudah final dan tidak ada lagi tafsir lain. Ketidaktegasan presiden menolak wacana tiga periode ini berkontribusi pada dinamika timbul tenggelamnya wacana masa jabatan presiden ini di publik.
“Pernyataan bahwa wacana tiga periode merupakan bagian dari hak kebebasan berpendapat amat patut dikritisi oleh berbagai pihak. Begitu banyak hal lain yang merupakan bagian dari hak kebebasan berpendapat namun mendapat tindakan keras dari aparat,” sambung Ramadhan.
Pernyataan Fajar yang melahirkan perdebatan yakni “Mengenai hal itu, UUD 1945 tidak mengatur secara eksplisit. Saya tidak dalam konteks mengatakan boleh atau tidak boleh. Saya hanya menyampaikan bahwa yang diatur secara eksplisit dalam UUD 1945 itu soal Presiden atau Wakil Presiden menjabat 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali selama 1 periode dalam jabatan yang sama,” kata dia dalam rilis tertulis, Senin (14/9/2022).
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri