Menuju konten utama

Produksi Gula Stagnan Hanya Akal-akalan Pemerintah untuk Impor?

Petani banyak yang tidak lagi tertarik menanam tebu karena pendapatan tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan.

Produksi Gula Stagnan Hanya Akal-akalan Pemerintah untuk Impor?
Petani memanen tebu untuk kemudian disetor ke pabrik gula di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Kamis (7/9/2017). ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra

tirto.id - Kebijakan impor gula jumlahnya terus meroket hingga Indonesia menjadi importir gula terbesar di dunia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Januari-November 2018, impor gula telah mencapai 4,6 juta ton, meningkat dibandingkan periode yang sama tahun 2017, yaitu 4,48 juta ton.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Oke Nurwan mengatakan tingginya impor gula disebabkan produksi nasional yang belum mencukupi kebutuhan konsumsi.

Nurwan mencatat saat ini konsumsi gula di Indonesia mencapai 6 juta ton per tahun, sementara kapasitas produksi gula nasional hanya sepertiganya.

Berdasarkan paparan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang mengutip data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) mencatat produksi gula nasional mengalami stagnasi sejak 2015 hingga 2018 di angka 2 juta metrik ton per tahun.

Menurut Nurwan, impor gula yang terus menanjak volumenya tidak lain disebabkan karena produksi nasional yang tidak membaik.

“Kalau memang produksi gula nasional mencukupi, kenapa harus impor? Kenyataannya produksi nasional tidak mencukupi. Apakah konsumsi gula [harus] berhenti? Enggak, kan,” kata Nurwan saat dihubungi reporter Tirto.

“Satu-satunya cara untuk mengurangi ketergantungan impor, produksi harus ditingkatkan. Tapi itu bukan ranah kami,” kata Nurwan.

Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen mengatakan peningkatan produksi gula nasional merupakan hal yang sulit dilakukan. Sebab, selain lahan pertanian tebu yang menyusut, petani juga banyak yang tidak tertarik menamannya.

Petani, kata Soemitro, banyak yang tidak lagi tertarik menanam tebu karena pendapatan tidak sebanding biaya yang harus dikeluarkan. Hal ini ia temukan saat petani harus menjual gula di tingkat konsumen dengan harga yang lebih rendah dari biaya produksi.

“Biaya pokok produksi kami saja Rp10.500-10.800, tapi dijual ke Bulog masa Rp9.700. Pemerintah terlalu berorientasi pada harga murah,” kata Soemitro.

Soemitro juga menuturkan beban biaya yang tinggi itu tidak lain disebabkan karena tidak efisiennya pabrik pengolahan gula.

Ia mencontohkan jika produksi tebu petani mencapai 100 ton, maka gula yang dihasilkan hanya mencapai 7 ton, padahal di Thailand bisa 2 kali lipat. Hal itu, kata dia, masih diperburuk 34 persen biaya penggilingan yang harus ditanggung petani di Indonesia, sementara Thailand hanya 30 persen.

Kondisi ini, kata Soemitro, mencerminkan permasalahan pabrik gula yang tidak efisien lantaran sebagian besar sudah tua dan perlu diperbaharui.

Dari 62 pabrik yang ada, 52 di antaranya tercatat sebagai milik pemerintah yang notabene menjadi sasaran utama petani untuk menjual tebunya. Karena itu, ia menuntut agar pemerintah segera merestrukurisasi pabrik gula yang ada.

“Dari dulu pemerintah itu enggak niat memperbaiki produksi gula. Biaya produksi jadi tetap tinggi. Padahal petani bergantung pada pabrik milik pemerintah,” ucap Soemitro.

Karena itu, peneliti cum dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso mengatakan pemerintah perlu memastikan harga gula di pasaran tetap memikat petani. Kalau pun ada operasi pasar, Dwi menilai tujuannya tidak boleh untuk menurunkan harga, tetapi menjaga harga pada level tertentu yang notabene masih menguntungkan petani.

Pemerintah, kata Dwi, juga tidak dapat terus-menerus menekan harga gula. Sebab, hal itu dapat menyebabkan petani tidak tertarik lagi menanam tebu, sehingga lahan tebu pun turut menyusut.

“Kunci utama itu harga. Kalau gula tidak menguntungkan petani, ya jelas dia malas tanam tebu dan beralih ke komoditas lain,” kata Dwi kepada reporter Tirto.

Untuk menjaga harga, Dwi juga meminta agar pemerintah menerapkan bea masuk bagi gula impor. Terutama yang diperuntukkan bagi pabrikan tanpa kebun tebu yang sangat bergantung pada impor untuk produksi gula rafinasi.

Harga impor gula mentah yang lebih murah dibanding harga domestik, kata Dwi, dapat memperburuk situasi.

Sebab, kata dia, kondisi itu membuka pintu masuk “merembesnya” gula rafinasi di pasaran gula konsumsi yang dipasok petani. Akibatnya, harga gula domestik dapat semakin tertekan dan memperparah kerugian petani.

Infografik Impor gula indonesia

Infografik Impor gula indonesia

Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Bambang Sugiharto membenarkan bila saat ini petani kurang berminat menanam tebu. Baik karena masalah harga maupun pabrik gula.

Bambang menjelaskan pemerintah saat ini sedang membenahi pabrik-pabrik gula yang memang tidak efisien. Pabrik itu, kata dia, juga diminta untuk tidak membebani biaya penggilingan yang terlampau tinggi.

"Ketidakefisienan ini mengurangi minat petani menanam tebu. Kami akan dorong Kementerian BUMN untuk membenahi pabriknya,” kata Bambang saat dikonfirmasi reporter Tirto.

Terkait harga, kata Bambang, Kementan tengah berupaya untuk menyatukan harga gula rafinasi dan gula konsumsi. Menurut Bambang, hal itu perlu dilakukan dengan mencari titik temu antara gula industri yang realtif lebih murah dibanding gula konsumsi.

Kementan, kata Bambang, akan mengupayakan agar kenaikan harga tidak menghambat laju industri. Penurunan harga yang terjadi bagi petani pun akan dikompensasi melalui bantuan berupa pupuk, irigasi, dan peralatan tani sehingga dapat menekan biaya produksi di saat harga tidak setinggi dulu.

“Dalam kondisi ini petani akan tetap berminat menanam tebu walaupun harga tidak terlalu tinggi. Industri juga tidak terbebani,” kata Bambang.

Baca juga artikel terkait IMPOR GULA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz