Menuju konten utama

PRAKARSA: Sektor Pertanian & Perikanan ASEAN Belum Berkeadilan

The PRAKARSA dan TAFJA merilis hasil riset tentang rantai nilai global atau global value chain (GVC) terhadap petani dan nelayan kecil di ASEAN.

PRAKARSA: Sektor Pertanian & Perikanan ASEAN Belum Berkeadilan
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat permintaan produk sawit dunia mulai bergerak naik, ditandai naiknya harga Crude Palm Oil (CPO) pada Juli 2020 dibandingkan bulan sebelumnya. (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/pras)

tirto.id - The PRAKARSA dan Tax and Fiscal Justice Asia (TAFJA) merilis hasil riset tentang rantai nilai global atau global value chain (GVC) terhadap petani dan nelayan kecil di ASEAN. Indonesia dengan komoditas sawit dan perikanan, Vietnam dengan komoditas kopi dan beras, serta Filipina dan Thailand dengan komoditas beras.

Dari empat komoditas yang diteliti, secara umum memperlihatkan kondisi petani dan nelayan kecil di empat negara tersebut berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.

Peneliti Kebijakan Ekonomi dan Fiskal The PRAKARSA, Panji TN Putra menjelaskan, dari empat negara tersebut, Vietnam memiliki index backward dan forward linkage yang lebih besar dibandingkan dengan negara lain di hampir seluruh komoditas.

"Pertanian dan perikanan Vietnam memiliki index yang lebih tinggi, nilai forward linkage Vietnam sebesar 2,82 yang berarti ketika terjadi peningkatan input dari komoditas pertanian dan perikanan maka diproyeksikan akan mampu meningkatkan perekonomian Vietnam sebesar 2,82 juta dolar AS," terangnya dalam pernyataannya, Kamis (29/9/2022).

Hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa sektor pertanian dan perikanan menjadi sektor utama dalam menggerakkan perekonomian Thailand dan Vietnam. Sehingga dari hasil GVC Participation Index, dari seluruh sektor di empat negara tersebut, Thailand dan Vietnam memiliki index partisipasi GVC yang lebih besar dibanding Indonesia dan Filipina.

"Artinya produk pertanian dan perikanan Thailand dan Vietnam mampu masuk ke dalam rantai nilai global," kata Panji.

Sedangkan posisi Indonesia masih mendominasi sebagai negara produsen Kelapa Sawit terbesar di dunia kemudian disusul Malaysia. Meski demikian, kondisi petani Sawit di Indonesia masih mengalami berbagai masalah seperti kemiskinan multidimensi, pelanggaran ketenagakerjaan, kontrak kerja yang bermasalah dan minimnya akses kesehatan.

"Selain itu ada persoalan lain yang mungkin juga menjadi temuan di sektor lainnya bahwa petani dan masyarakat kecil ini hanya berkontribusi di level bawah, dan secara nilai tidak mendapatkan keuntungan yang besar," kata Panji.

Sementara dalam aspek gender, Panji menjelaskan, para pekerja sawit perempuan berada dalam posisi yang hanya menjadi pekerja pembantu untuk para pekerja laki-laki. "Hal ini membuat posisi perempuan lemah jika dibandingkan dengan pekerja laki-laki," jelasnya.

Lebih lanjut riset ini menyebutkan, Indonesia juga menjadi produsen sektor perikanan terbesar di kawasan ASEAN dengan produksi rata-rata tahunan mencapai 6,42 juta metrik ton pada 2019. "Jadi ini memang suplai yang cukup besar untuk kawasan ASEAN," papar Manajer penelitian dan Pengetahuan The PRAKARSA, Eka Afrina Djamhari.

Dari sisi rantai nilai, para nelayan mulai dari yang kecil, menengah dan besar memasok ikannya ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI), melalui TPI inilah terjadi proses pelelangan ikan secara terbuka kepada pembeli atau pengepul yang selanjutnya disalurkan ke perusahaan pengolahan ikan dan barulah didistribusikan kepada konsumen baik yang bersekala besar seperti restoran maupun konsumen rumah tangga. Selain untuk konsumsi dalam negeri, hasil tangkapan juga di ekspor ke beberapa negara salah satunya Cina dengan nilai yang cukup besar.

Eka menjelaskan, dari seluruh aktor yang ada di sektor perikanan, nelayan kecil merupakan aktor yang menerima nilai paling kecil dari rantai nilai yang ada. Hal ini terjadi karena nelayan kecil umumnya memiliki keterbatasan modal, upah rendah dan alat tangkap yang masih tradisional sehingga hal ini mempengaruhi tingkat kesejahteraan mereka.

Bukan hanya terjadi pada nelayan kecil, nelayan menengah dan besar juga menemui hambatan tersendiri. Misalnya, yang memiliki kemampuan menangkap ikan sampai 30 ribu metrik ton ternyata tidak mampu berlayar terlalu lama dan memaksimalkan hasil tangkapannya. Hal itu karena tidak memiliki teknologi yang tinggi, biaya yang harus dikeluarkan untuk melaut yang cukup tinggi, tidak adanya mesin pendingin untuk menyimpan hasil tangkapan sampai mendarat dan siap untuk dijual.

"Sedangkan untuk para nelayan besar, mereka memiliki hambatan berupa perizinan yang rumit dan juga masalah-masalah lain yang hampir sama dengan nelayan menengah," ucap Eka.

Permasalahan lain yang juga diungkap dalam penelitian ini adalah, pekerja kapal yang berlayar menggunakan kapal menengah maupun besar masih saja mendapatkan pelanggaran berupa tidak adanya jaminan keselamatan, jaminan atas kesehatan, upah rendah, dan tidak ada kontrak kerja.

Sedangkan disisi lain justru para pemilik perusahaan pengolahan ikan merupakan aktor yang mendapatkan nilai paling tinggi dibandingkan aktor lainnya di sektor perikanan. "Karena apa yang sudah mereka produksi itu pasarnya jauh lebih luas," kata Eka.

Sedangkan dari sisi gender, kata Eka, para pekerja perempuan sektor perikanan berada dalam posisi yang jauh lebih rendah dan lemah. "Perempuan jauh lebih rentan dari pada laki-laki, perempuan di sektor perikanan menempati pekerjaan yang sangat kecil upahnya dan jam kerja yang tinggi, bahkan terkadang mereka bisa bekerja sampai 17 jam dalam sehari dan tidak mendapatkan upah dalam bentuk uang tetapi dalam bentuk ikan," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PERTANIAN INDONESIA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang