Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Potensi PKB dan PKS Berkoalisi Usung Cak Imin, Siapa yang Untung?

Koalisi PKS-PKB dinilai tidak sepenuhnya menguntungkan karena kedua partai belum memiliki kandidat yang punya elektabilitas memadai.

Potensi PKB dan PKS Berkoalisi Usung Cak Imin, Siapa yang Untung?
Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (kiri) berbincang dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu (kanan) saat silaturahmi kebangsaan di Kantor DPP PKB di Jakarta, Rabu (28/4/2021). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

tirto.id - Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjajaki kerja sama dalam gelaran Pemilu 2024. Pada dua pemilu sebelumnya, dua parpol ini berseberangan: PKB di koalisi parpol pendukung Joko Widodo, sementara PKS berada di kubu Prabowo Subianto. Terakhir kali PKB dan PKS berkoalisi di pilpres saat sama-sama mengusung SBY pada Pemilu 2009.

Kini kedua parpol berpotensi koalisi pada Pilpres 2024. Wacana ini muncul setelah rombongan pengurus pusat PKS di bawah kepemimpinan Sekjen PKS, Aboe Bakar Alhabsy bersama petinggi PKS lainnya menemui Wakil Ketua Umum DPP PKB, Jazilul Fawaid bersama jajaran PKB di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (9/6/2022).

Aboe Bakar mengatakan, rencana PKS berkoalisi dengan PKB adalah upaya membentuk poros ketiga. Sebab, kata dia, pembentukan koalisi ketiga dinilai akan memecah kebuntuan pada pemilu serentak mendatang.

“Saya berharap poros ketiga, kenapa? Karena yang satu sudah jelas porosnya, kedua sudah jelas, yang ketiga ini membongkar kebuntuan, tembok 'berlin" kita pecahkan," kata Aboe Bakar di Kompleks Parlemen usai bertemu petinggi PKB.

Aboe Bakar pun menilai aksi koalisi PKS-PKB akan memicu magnet partai lainnya. Ia beralasan, PKB dan PKS belum bisa mengajukan calon presiden maupun calon wakil presiden sendiri karena kekurangan 7 kursi.

“Artinya tinggal satu partai politik (untuk bergabung dalam koalisi). Ya kita lihat semoga berjalan, panjang umur dan bisa bertahan," ujar Aboe Bakar.

PKS, kata Aboe Bakar, memilih berkoalisi dengan PKB untuk menghapus gesekan publik, polarisasi hingga politik identitas di 2024. PKS pun menyatakan tidak masalah dengan kontrak PKB yang ingin Muhaimin jadi bakal calon presiden.

“Kami inginnya 3 bulan sebelum sudah oke, misalkan, Muhaimin Iskandar mau jadi presiden, silakan bismillah tidak masalah. Bagi PKS tidak penting presiden atau wapres," tuturnya.

Sementara itu, Jazilul menilai bila PKS dan PKB bersatu akan membawa dampak positif demi suasana publik yang baik di 20024. Ia bersyukur PKS punya pandangan sama untuk mencegah politik identitas demi mencegah perpecahan publik.

“Hari ini menurut saya bukan sosok, namun sistem dan cara pikir yang mempertemukan yang saya sebut dengan satu kalimat yang mempertemukan, mengutuhkan, mendamaikan. Tidak ada lagi pembelahan, tidak ada lagi saling curiga, tidak ada lagi saling menjatuhkan, tidak ada lagi politik yang saling menghina," tutur Jazilul di lokasi yang sama.

Saat Politik Elektoral Satukan PKB-PKS

Dosen Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno menilai pembentukan koalisi PKB-PKS sangat hebat. Pria yang merupakan ahli politik Islam ini menilai dua kutub berbeda ideologi, tapi bisa bersalaman karena faktor elektoral.

“Kalau koalisi ini terbentuk, hebat ini. Akan mewujudkan koalisi Islam Nusantara dan Wahabi, artinya hanya politik elektorallah yang bisa menyatukan mereka. Di luar itu mereka gak ketemu,” kata Adi saat dihubungi reporter Tirto.

Adi menambahkan, “Kita, kan, tahu basis pemilih PKS dan PKB selama ini suka saling serang dan saling menegasi. Kalau mereka bertemu, ya selesai urusan pembelahan, tidak akan kelihatan lagi.”

Langkah kerja sama PKB-PKS menguntungkan bagi PKB karena bisa mengusung Cak Imin jadi bakal capres. PKB tinggal mencari partai satu lagi untuk menggenapkan tiket maju pada Pilpres 2024.

Akan tetapi, kata Adi, koalisi PKS-PKB tidak sepenuhnya menguntungkan karena kedua partai belum memiliki kandidat yang punya elektabilitas memadai. Dalam survei yang dirilis sejumlah lembaga, elektabilitas Muhaimin maupun Salim Segaf Al-Jufri jauh dari harapan.

Di sisi lain, hasil koalisi mereka belum teruji apakah akan meningkatkan elektabilitas atau tidak. Selain itu, kata Adi, kerugian besar malah ada di PKS karena akan sulit bermanuver setelah berkoalisi dengan PKB.

“PKS sulit bermanuver ke poros-poros lain karena kalau dalam partai, PKS akan berkoalisi dengan kemungkinan menang, bukan dengan kemungkinan kalah," kata Adi.

Belum Cukup Syarat Ambang Batas 20 Persen

Sementara itu, Direktur Eksekutif Poltracking, Hanta Yudha menilai, koalisi PKB-PKS masih belum bisa mengusung capres karena belum memenuhi syarat minimal ambang batas 20 persen pengusungan capres/cawapres.

Di sisi lain, kata Hanta, PKB-PKS memiliki nasib yang sama seperti Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang diinisiasi tiga parpol, yaitu Golkar-PAN-PPP. Kedua koalisi ini belum memiliki figur kuat untuk menjadi bakal calon presiden.

“Kalau nanti tidak ada tokoh dari partai, maka seperti KIB yang calonnya bukan Airlangga, Zulhas atau Suharso," tutur Hanta dalam rilis survei nasional 'Proyeksi Kandidat Kuat Kandidasi Pilpres 2024' di Jakarta, Kamis (6/9/2022).

Hanta mengingatkan bila PKS dan PKB memaksakan tokoh dari partai mereka, baik Salim Segaf Al Jufri atau Muhaimin Iskandar, maka besar kemungkinan akan sulit untuk terpilih.

“Hal itulah yang terjadi pada Jusuf Kalla dan Wiranto yang dulu elektabilitasnya rendah. Kalau kita jujur dan objektif Cak Imin tidak terlalu tinggi. Pak Salim Segaf juga tidak tinggi," ungkap Hanta.

Meski kedua partai ini tidak punya calon yang mumpuni untuk menjadi capres, namun Hanta memuji keduanya memiliki kekuatan akar rumput yang kuat. Sehingga bisa dikerahkan untuk memenangkan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden.

“Mereka punya mesin partai yang saya akui PKB dan PKS mesin potensial untuk memenangkan. PKB memiliki mesin politik yang kuat dari NU. PKS juga militansi kadernya yang menjadi positif untuk didukung," jelas Hanta.

Sedangkan founder lembaga survei KedaiKOPI, Hendri Satrio memandang, koalisi PKB-PKS akan membawa efek positif meski bisa dipersepsikan koalisi buru-buru. Ia menilai, publik akan bisa melihat manuver PKB-PKS dalam perpolitikan Indonesia.

“Justru bagus ada koalisi di awal sehingga masyarakat bisa menilai juga dari awal langkah-langkah politik partai-partai politik ini," kata Hendri kepada reporter Tirto.

Hendri pun tidak memungkiri bahwa kebersamaan PKB-PKS akan membuka peluang Cak Imin sebagai capres karena jumlah suara mereka lebih besar. Akan tetapi, ia yakin akan ada negosiasi ulang dalam upaya koalisi. Ia menduga, PKS dan PKB telah berkalkulasi lebih jauh untuk memenangkan pemilu.

"Ini kan langkah-langkah awal dan saya yakin sebetulnya koalisi ini dibentuk semata-mata untuk strategi politik yang lebih besar. Apa itu? Ya pencapresan 2024 dan pileg 2024 karena kampanye dimulai dari sekarang,” kata Hendri.

“Mungkin dengan koalisi ini justru daya jual PKB dan PKS meningkat di kalangan partai politik lain, terutama PKB. Pasti, kan begitu sudah berkoalisi seperti sekarang, daya tawar mereka akan meningkat tuh apalagi kalau ada strategi-masing yang membuat keinginan-keinginan misalnya untuk membeli semua partai," kata Hendri.

Hendri memandang, koalisi PKB-PKS tidak mempersoalkan ideologi. Keuntungan koalisi hanya fokus pada kenaikan daya tawar PKB sebagai partai karena sudah punya mitra koalisi. Dengan demikian, mereka cukup butuh satu partai lagi untuk memegang tiket 2024.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz