tirto.id - 25 September 2017 adalah kali terakhir Jonru mengunggah di fanpage Facebooknya sejak ditetapkan tersangka pada Jumat pekan lalu. Itu di luar kebiasaan Jonru. Ia biasanya rajin menyapa hampir 1,5 juta pengikutnya dengan membagi konten yang sesuai minat dan kepentingannya.
Pada Kamis pekan lalu itu, Jonru menulis, “Banyak berita hoax di luar sana. Ini yang valid,” seraya membagikan berita Detik.com, “Bantah Mangkir, Jonru: Saya Minta Pemeriksaan diundur Jadi Kamis.”
Jonru membantah panggilan polisi. Ia meminta izin untuk diundur pemeriksaannya pada 28 September, sehari sebelum ditetapkan tersangka lalu ditahan pada Sabtu pekan lalu. Ia beralasan ada acara keluarga yang tidak bisa ditinggalkan.
Penulis buku Saya Tobat! (2015) ini dipanggil pihak berwajib atas tiga aduan. Pelapor pertama adalah Muannas Al Aidid, salah satu anggota Advokat Kotak Badja (Basuki Tjahaja Purnama). Jonru diduga menyebarkan ujaran kebencian terhadap Presiden Joko Widodo dengan rentang waktu Maret-Agustus 2017 sebagaimana tercatat dalam laporan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya pada 31 Agustus 2017.
Kedua, Jonru kembali dilaporkan oleh Muhamad Zakir Rasyidin atas postingan yang dinilai memicukan konflik SARA dengan tak segan menyudutkan Presiden Joko Widodo. Laporan ini tercatat dalam dokumen reskrim Polda Metro Jaya pada 4 September 2017.
Belum selesai, Jonru kembali jadi target pelaporan oleh Muannas Al Aidid lewat kuasa hukumnya Ridwan Syaidi Tarigan pada 19 September 2017. Alasan pelapor, Jonru telah memelintir nama Muanas Al Aidid menjadi Muanas Si Aidit.
Nama “Aidit” seringkali diasosiasikan dengan Dipa Nusantara Aidit, ketua komite pusat Partai Komunis Indonesia, sebuah partai yang telah lama mati pada setengah abad lalu tetapi seringkali dihidup-hidupkan oleh para politikus Indonesia.
Jonru diusut oleh bagian reserse kriminal Polda Metro Jaya dengan pidana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena dinilai “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan” terhadap individu atau kelompok tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Ia diancam pidana maksimal 6 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Namun, bukan Jonru namanya jika tidak pandai berkelit dan lihai memainkan sentimen warganet. Sembari menyematkan foto dirinya sedang berdakwah di depan jemaah perempuan, dengan kopiah putih dan memegang mikropon, Jonru menulis dalam satu postingan di Facebook bahwa ada “banyak dukungan” dari individu maupun lembaga terhadap dirinya.
“Kami merasa sangat terhormat jika bisa membantu Bang Jonru.”
“Siapa yang berani mengganggu Bang Jonru, hadapi gue dulu!!!”
“Itu ucapan-ucapan mereka yang membuat saya sungguh terharu,” tulis Jonru pada 4 September lalu.
Toh, sepandai-pandainya Jonru melompat akhirnya terciduk juga. Pada Kamis (28/9) sore, ia akhirnya memenuhi panggilan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya.
Djuju Purwanto, pengacara Jonru Ginting dari LBH Kebangkitan Jawara dan Pengacara (Bang Japar), mengungkapkan klienya diperiksa dari pukul 4 sore hingga pukul 02.00 Jumat dini hari.
“Jonru sempat dibawa pulang terus kembali lagi,” kata Djuju.
Minggu, 30 September, pukul 14.45, akun Twitter Divisi Humas Mabes Polri mencuit: Mulai hari ini Jonru ditahan, terkait ujaran kebencian #StopHoax.
Cuitan @DivHumasPolri itu—dengan 793 ribu pengikut—mendapat lebih dari seribu retweet dan puluhan komentar. Bahkan, sekalipun dalam tahanan, apa pun yang menyangkut Jonru selalu mengundang respons warganet.
Dari Menjerat Aktivis Menjadi Mainan Sentimen Politik
Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), sebuah organisasi nirlaba yang mendorong kebebasan berekpresi dan berpendapat, mencatat ada 155 laporan dengan memakai pasal UU ITE ke kepolisian sejak pemerintahan Joko Widodo. Dalam sebulan, ada saja satu hingga 15 laporan terkait pidana UU ITE. Sementara pada periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sejak 20 Oktober 2009, ada 61 laporan kepolisian.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis indeks demokrasi Indonesia juga menurun pada 2016 dengan indikator melemahnya kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi.
Sejak 28 Agustus 2008 hingga kini, Safenet mencatat ada 219 laporan kepolisian menggunakan pasal UU ITE. Setidaknya ada 35 aktivis yang dijerat pasal karet, 28 di antaranya terjadi pada 2014. Kelompok aktivis yang paling rentan dipidanakan adalah para penggiat anti-korupsi, aktivis lingkungan, dan jurnalis.
Safenet menilai, persoalan para aktivis bukanlah mereka menyebarkan berita bohong yang dapat menimbulkan kebencian, tetapi mereka menjadi korban upaya pemelintiran hukum yang dipakai para pelapor. Tujuannya untuk membunuh fakta dan data.
Namun tren membungkam aktivis itu, seiring gejala post-truth di era media sosial, menyentuh pula warga biasa, yang secara sengaja maupun tidak menyebarkan tudingan fitnah dan pencemaran nama baik.
Sepanjang 2016 ada 15 orang yang tersandung pasal karet UU ITE. Pada 2017, ada 18 warga, salah satunya Jonru Ginting yang diduga melakukan ujaran kebencian.
Nama lain adalah Guntur Romli, dulu dikenal aktivis Jaringan Islam Liberal dan kini politisi Partai Solidaritas Indonesia, dan Muannas Al Aidid yang melakukan pencemaran baik atas nama Buni Yani.
Buni Yani, melalui kuasa hukumnya Aldwin Rahadian, melaporkan Guntur Romli karena dituduh menyebar isu SARA di akun Facebooknya; sedangkan Muannas dilaporkan karena telah melaporkan Buni Yani ke Polda Metro Jaya.
Ketiga orang ini, meski terlihat mbulet kasusnya, mudah dikenali dari polarisasi politik: Pro-Ahok dan Anti-Ahok.
Dalam laporannya, Buni Yani yang didampingi 20 anggota Himpunan Advokat Muda Indonesia melaporkan tuduhan kedua pembela Ahok itu kepada Polda Metro Jaya pada 10 Oktober 2016. Buni menjerat kedua pelaku dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE dan pasal 310-311 KUHP tentang fitnah.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono menilai pasal 27 dan 28 UU ITE sering disalahgunakan oleh pihak tertentu. Dengan pasal itu, semua orang yang menggunakan media sosial bisa terjerat.
Pasal-pasal karet ini mengakomodasi pengaduan dengan tuduhan pencemaran nama baik alias penghinaan, ujaran kebencian, dan konten yang memuat ancaman kekerasan.
Dalam Catatan ICJR, kasus pencemaran nama baik terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2015, ada 485 kasus; tahun 2016 menjadi 708 kasus. Di sisi lain, kasus-kasus ini pun menggantung di kepolisian: kurang dari 30 persen bisa diselesaikan lewat jalur pengadilan.
“Pasal-pasal itu memang punya masalah. Terlalu banyak perbuatan dalam sosial media yang bisa terkena pasal itu,” kata Supriyadi, Sabtu akhir pekan lalu.
Pasal Karet UU ITE Menjerat Siapa Saja
Koordinator Safenet, Damar Juniarto, tak sepakat bahwa pasal 28 ayat 2 UU ITE menjerat Jonru Ginting. Sebab, baik pasal 27 maupun 28 adalah pasal karet yang bisa menciduk siapa saja. Ia menilai, pasal yang tepat dikenakan untuk Jonru Ginting adalah pasal 16 UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis atau KUHP.
Dalam aturan UU ITE, pembatasan hak kebebasan berekspresi harus memiliki acuan yang jelas. Muaranya, banyak kasus pelaporan dengan tuduhan pasal 27 dan 28 UU ITE menggunakan acuan sendiri alias kabur. Catatan Safenet, sepanjang 2016, ada 78 kasus yang dijerat dua pasal itu dan pasal 29.
“Kalau acuannya sendiri, semuanya sendiri, ya ini konsekuensinya,” kata Damar menilai ada banyak sekali individu yang terjerat pasal karet UU ITE. “Apa yang terjadi sekarang adalah cara kita membatasi kebebasan berekspresi.”
Pembatasan kebebasan berekspresi saat ini menyebabkan banyak orang mudah dipidanakan, ujar Damar.
Damar menilai, sebelum polisi menerima pengaduan, harus ada bukti-bukti yang mengarah pada niat jahat (mens rea) dan perbuatan jahat (actus reus) dari pelaku secara berulang-ulang. Kelemahan UU ITE adalah ia tidak mengakomodasi unsur niat jahat tersebut. Dan orang mudah memakai UU ITE demi memangkas sarana kontrol publik.
“Bahkan UU ITE cenderung digunakan sebagai ajang balas dendam,” tambah Damar.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam