tirto.id - Polri menyebut pihak yang terbukti menyembunyikan eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi bisa dijerat hukum pidana.
"Ada pasalnya yaitu Pasal 221 KUHP yang mengatur keikutsertaan menyembunyikan pelaku pidana," ucap Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra di Mabes Polri, Rabu (19/2/2020).
Siapapun, lanjut dia, dapat membantu Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberitahukan keberadaan Nurhadi yang termasuk dalam daftar pencarian orang (DPO). "Semua pihak dapat membantu menghadirkan Nurhadi, termasuk pendamping hukum dan keluarga," kata Asep.
Nurhadi merupakan tersangka suap dan gratifikasi terkait penanganan perkara di MA pada 2011-2016. Dia bersama dua tersangka lainnya yakni Rezky Herbiyono selaku menantunya dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto, jadi buronan sejak 11 Februari 2020. Pihak KPK pun mengancam bakal memidanakan orang yang menyembunyikan Nurhadi
"Kami ingatkan ke semua pihak, sembunyikan orang yang kami cari dengan sengaja tentunya itu dilarang oleh ketentuan UU bahwa yang merintangi penyidikan diancam UU dengan pasal 21 UU Tipikor," kata Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri di Kantor KPK, Jakarta, Senin (17/2/2020) malam.
KPK juga meminta pengacara Maqdir Ismail untuk melaporkan keberadaan Nurhadi. Saat sidang praperadilan, Maqdir menyebut kliennya berada di Jakarta. Nurhadi diduga menerima suap Rp33,1 miliar dari Hiendra Soenjoto melalui Rezky Herbiyono, untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata kepemilikan saham PT MIT yang berperkara di MA.
Nurhadi melalui Rezky juga diduga menerima janji sembilan lembar cek dari Hiendra terkait Peninjauan Kembali di MA, namun ditarik kembali oleh Hiendra karena perkaranya kalah dalam persidangan.
Sementara dalam kasus gratifikasi, Nurhadi diduga menerima Rp12,9 miliar selama kurun waktu Oktober 2014- Agustus 2016. Uang itu untuk pengurusan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali di MA, serta Permohonan Perwalian.
Nurhadi dan dua orang lainnya juga pernah menggugat KPK melalui praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka mempersoalkan status tersangka yang disematkan KPK. Hasilnya, hakim menolak praperadilan tersebut dan menyatakan penetapan tersangka oleh KPK adalah sah.
Ketiganya tak menyerah, mereka kembali mengajukan praperadilan. Petitumnya sama tapi lebih mendetil lagi, yakni mempermasalahkan penetapan tersangka pada penerbitan SPDP dari KPK
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri