tirto.id - Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Setyo Wasisto menegaskan bahwa kepolisian tidak memiliki senjata militer seperti Rocket-Propelled Grenade (RPG) di satuan manapun. Menurut Setyo, senjata paling canggih yang dimiliki kepolisian adalah senjata otomatis dengan peluru 7,62mm.
Hal ini diterangkan Setyo pada Selasa (26/9/2017) kepada Tirto. Menurut Setyo, peluru seperti itu tidak bisa digunakan untuk menembak jatuh secara langsung helikopter, apalagi kapal dan pesawat. “Kita nggak punya kemampuan untuk itu,” katanya.
Ia melanjutkan, apabila memang polisi bisa menembak kendaraan semacam helikopter, tank, atau kapal dan pesawat, senjata yang bisa menembak tentunya sudah masuk ke dalam museum. Untuk diketahui, peluru 7,62mm pun sudah tidak masuk ke dalam standar TNI. Peluru ini biasanya digunakan untuk senjata otomatis atau semi-otomatis seperti misalnya AK-47 buatan Soviet.
“Senjata yang kaliber besar saja 12,57(mm, untuk menembus kendaraan lapis baja) saja kita nggak punya, kita hanya paling besar 7,62(mm) ya, itu senjata lama. Senjata baru 5,56(mm) semua,” tegasnya.
Pernyataan ini sekaligus menjawab ucapan Gatot Nurmantyo yang sebelumnya sempat mengancam akan menyerbu Polri apabila memiliki senjata yang dapat menembak tank, atau menembak jatuh pesawat dan kapal.
“Bahkan polisi pun tidak boleh memiliki senjata untuk menembak tank, dan bisa menembak pesawat, dan bisa menembak kapal, saya serbu kalau ada,” tegas Gatot pada Jumat (22/9.2017) lalu.
Tidak hanya di kepolisian, taruna ataupun calon polisi di Akademi Kepolisian (Akpol) bahkan tidak memiliki sumber daya yang cukup seperti kendaraan lapis baja atau alat penembak pesawat dan kapal. Penggunaan senjata RPG tidak diajarkan di Akpol yang berada di Semarang. Dalam pengajarannya, Akpol hanya mengenalkan alat serangan frontal tersebut kepada taruna yang sedang mengenyam pendidikan.
Hal ini diterangkan oleh Humas Akpol Semarang, Kombes Pol Aloysius Liliek Darmanto kepada Tirto pada Senin (25/9/2017) kemarin. Liliek menjelaskan bahwa senjata RPG tentu menjadi bagian dari kurikulum pengajaran, tetapi hal itu tidak melulu diajarkan secara spesifik seperti menggunakan alat tersebut secara langsung di lapangan.
“Pengenalan semua senjata yang kita miliki perlu dikenalkan kepada taruna. Pengenalan aja,” katanya menjelaskan.
Liliek menuturkan, untuk pengoperasian senjata seperti mengisi peluru dan menembakannya tidak diajarkan secara rinci. Hal ini karena Akpol tidak memiliki sumber daya amunisi yang cukup untuk melatih hal tersebut. “Kan kadang-kadang ada senjata yang kita belum dapat pelurunya,” imbuhnya.
RPG diklaim tidak memiliki peluru. Alat tersebut tidak pernah digunakan secara praktik dalam Akpol. Namun, RPG memang perlu dipelajari karena senjata itu digunakan untuk mengatasi serbuan kendaraan lapis baja atau tank, dan serbuan secara masif dari berbagai pihak.
“Kalau untuk taruna hanya untuk pengenalan, tidak mungkin untuk dilakukan uji coba,” tegasnya.
Liliek menjelaskan, tidak mungkin semua taruna menembakan satu-satu peluru RPG yang bahkan tidak ada. Hal ini berbeda dengan pasukan Brimob. Dalam kurikulum Brimob, ia menuturkan, bisa saja ada latihan tentang penggunaan RPG. Sebab, Brimob mungkin mempunyai peluru RPG dan memang perlu untuk belajar menembakan senjata tersebut untuk mencegah kerusuhan massa.
“Kalau dia udah masuk Brimob ya mungkin ada latihan. Latihan saat di Brimob gitu. Kalau di taruna sementara ini kok belum pernah ya saya denger itu ya,” tandasnya.
Sementara ini, Akpol juga belum memutuskan untuk memasok peluru ataupun memesannys kepada Pindad. Bagi Liliek, hal itu merupakan urusan pimpinan Akpol dan dosen yang melatih taruna hanya menerima kebijakan pimpinan. Dia pun merasa pelatihan taruna untuk menggunakan RPG belum menjadi prioritas utama.
“Itu kan untuk Brimob untuk serbu-serbu kalau ada teroris di Aceh atau di Poso kemarin itu. Brimob harus tahu itu untuk menghalau gerombolan pengacau rakyat Indonesia,” tuturnya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Yuliana Ratnasari