tirto.id - Belakangan ini, mengemuka istilah politik sandera. Ia digunakan untuk menjelaskan penggunaan instrumen hukum (juga perkara hukum) untuk menekan pihak yang berseberangan atau lawan politik. Praktiknya terkadang bisa begitu banal, bisa pula secara klandestin lewat lobi-lobi para elite memanfaatkan ruang gelap politik.
Politik sandera dengan memanfaatkan instrumen hukum sebagai “alat tawar” sudah pasti menggerus kinerja institusi penegak hukum. Alih-alih memenuhi prinsip keadilan dan kesetaraan tanpa pandang bulu, politik sandera justru merupakan praktik yang mengangkangi supremasi hukum.
Kesan adanya praktik politik sandera, misalnya, pernah disinggung oleh Ganjar Pranowo pada awal tahun ini. Semula, Ganjar menyoroti angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) Indonesia yang berada di angka 34 pada 2023.
IPK di angka 34 membuat peringkat atau rangking Indonesia merosot menjadi 115 dari 180 negara di 2023. Sementara 2022, peringkat Indonesia berada pada angka 110 dari 180 negara.
Merespons hal itu, Ganjar menegaskan dirinya akan serius memberantas korupsi bila terpilih menjadi presiden. Dia akan memperkuat lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mempertegas kewajiban pelaporan LHKPN, memiskinkan koruptor, dan "membuangnya" ke Lapas Nusakambangan.
Kendati demikian, dia menilai tidak boleh ada istilah “sandera politik” dalam penegakan hukum atas kasus korupsi.
"Hari ini, orang bercerita sandera-sandera politik dan kemudian itu berangkat dari kasus-kasus. Yang seperti ini memang menteri enggak tahu? Kan, semua menteri tahu," kata Ganjar dikutip dari rilis tertulis, Rabu (31/1/2023).
"Maka ketika kita membiarkan seperti ini, karena politik di depan posisinya, hukum menjadi terkalahkan dan panglimanya tidak lagi hukum, tetapi politik. Maka cerita-cerita ini pasti akan terjadi dan rating kita menurun," tambah dia.
Beberapa ahli politik dan hukum menilai bahwa kesan politik sandra kembali menguar dari peristiwa politik termutakhir.
Analis politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, memandang peristiwa mundurnya Airlangga Hartarto sebagai salah satu contoh teranyar pengejawantahan politik sandera. Mundurnya Airlangga dari kursi Ketua Umum Partai Golkar diduga kuat berkaitan dengan perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunan yang tengah diusut Kejaksaan Agung.
Meski bukan satu-satunya faktor mundurnya Airlangga, menurut Dedi, narasi kasus hukum tersebut mengemuka setidaknya sebagai bentuk tekanan politik.
Pasalnya, Airlangga sejauh ini cukup berani dan terbuka dengan isu hukum tersebut. Itu dibuktikannya dengan memenuhi panggilan Kejagung tahun lalu. Dia sempat diperiksa selama 12 jam sebagai saksi dalam perkara ini.
“Secara personal dan dukungan internal Golkar, dia siap hadapi persoalan hukum. Bisa saja, ada tekanan politik lain yang membuat Airlangga lunglai,” kata Dedi kepada reporter Tirto, Selasa (13/8/2024).
Simpang siur soal kasus hukum sebagai alasan mundurnya Airlangga secara tiba-tiba lantas ditepis Partai Golkar. DPP Golkar menyebut keputusan itu merupakan kehendak pribadi Airlangga untuk menjaga soliditas partai dan berfokus pada tugasnya sebagai Menko Perekonomian.
Namun, sejumlah sinyal bahwa mundurnya Airlangga berkaitan dengan kasus hukum justru menguat. Kejagung sendiri tidak membantah atau membenarkan bahwa Airlangga bakal dipanggil lagi untuk diperiksa. Mereka justru menegaskan tidak akan pandang bulu dalam perkara CPO.
“Saya kira semua pemeriksaan sama. semua sama di depan mata hukum,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, di Kantor Kejagung, Jakarta, Senin (12/8/2024).
Sinyal lainnya lebih gamblang diutarakan oleh Jusuf Hamka. Anggota Dewan Penasihat Partai Golkar ini ikut memutuskan mundur dari partai berlambang pohon beringin itu pada hari yang sama ketika Airlangga mundur.
Jusuf Hamka alias Babah Alun merasa takut ikut terzalimi laiknya Airlangga. Dia memandang kursi Ketum Golkar memang direbut dari Airlangga oleh pihak yang powerful. Meski begitu, Babah Alun tak menyebut siapa pihak luar yang ia maksud.
Kasak-kusuk untuk mendongkel kepemimpinan Airlangga di Golkar memang sudah muncul sejak dirinya diperiksa Kejagung tahun lalu. Sejumlah figur penting digadang-gadang bakal menggantikannya, di antaranya Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia; Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang; Wakil Ketua Umum Golkar, Bambang Soesatyo; hingga bahkan muncul nama Presiden Joko Widodo.
Dedi Kurnia memandang situasi yang dihadapi Airlangga saat ini sebagai politik sandera dan itu akan membawa dampak buruk bagi banyak pihak, termasuk masyarakat. Sebab, hukum tengah dijadikan alat kekuasaan semata dan bukan sebagai pedoman pembangunan bangsa dan negara.
“Ini potensial merusak tata kelola hukum dan juga merusak demokrasi kita,” ucap Dedi.
Semakin Marak Terjadi
Gelagat penggunaan kasus hukum sebagai politik sandera dinilai semakin marak digunakan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Tak bisa dipungkiri bahwa Istana terkesan semakin getol cawe-cawe dalam percaturan politik.
“Sejauh ini, cara semacam ini kian memburuk. Di era SBY, sedikit mengemuka utamanya kasus Hambalang. Di era Jokowi, situasinya lebih besar dan menyasar bahkan ke urusan personal,” ujar Dedi.
Dedi lantas menyebut sejumlah kasus yang bisa menjadi contoh penggunaan hukum sebagai alat menekan lawan politik atau pihak yang berseberangan dengan Jokowi. Misalnya, terkait dugaan penjegalan Anies Baswedan melaju dalam Pilpres 2024 maupun Pilkada Jakarta 2024.
Selain itu, politik sandera oleh penguasa juga diduga menyasar Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar alias Cak Imin. Hal tersebut terlihat pada tahun lalu, saat Cak Imin sempat dipanggil KPK sebagai saksi terkait kasus korupsi di Kementerian Tenaga Kerja pada 2012. Saat itu, dia menjadi calon wakil presiden yang mendampingi Anies Baswedan.
Dalam arena Pilpres 2024, gestur Presiden Jokowi memperlihatkan kecenderungan mendukung Prabowo Subianto dan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka. Di pilkada mendatang, Presiden Jokowi juga diduga bakal sejalan dengan calon-calon kepala daerah yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) alias koalisi parpol pendukung Prabowo-Gibran.
Presiden diduga condong merestui Ridwan Kamil yang diusung KIM di Pilkada Jakarta. PKB yang sebelumnya memberi sinyal mendukung Anies Baswedan, kini semakin buram setelah persamuhan antara Cak Imin dan Prabowo di Jalan Widya Chandra 08, Jakarta Selatan, Kamis (8/8/2024) lalu.
PKB beralasan mengikuti jejak Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sudah menunjukkan sinyal hengkang mendukung Anies dan mempertimbangkan merapat ke kubu KIM. Petinggi PKS sendiri mengaku sudah rutin berkomunikasi dengan Prabowo dan KIM.
“Kalau PKS tidak ke Anies, otomatis ya PKB enggak bisa. Karena PKS pemenang [Pileg Jakarta] kan,” kata Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi Teknologi DPP PKB, Ahmad Iman Sukri, di Kantor DPP PKB, Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, Senin (12/8/2024).
Upaya merontokan dukungan parpol terhadap Anies diduga sebagai upaya menjegal langkah Anies yang elektabilitasnya mentereng di Jakarta. Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, menyebut bahwa KIM memang berencana menggaet parpol nonpendukung Prabowo-Gibran untuk membentuk KIM Plus di Pilkada Jakarta, Jabar, dan Jateng.
Tawaran untuk bergabung ke KIM Plus juga datang menghampiri Partai Nasdem. Seperti halnya PKS dan PKB, Nasdem semula juga mendeklarasikan dukungan kepada Anies di Pilkada Jakarta. Belakangan, Nasdem terlihat mempertimbangkan ulang untuk memberikan surat rekomendasi kepada Anies.
Perubahan sikap itu diduga berkaitan dengan kasus hukum yang bakal menyasar Ketua Umum Nasdem, Surya Paloh. Saat ini pun, sudah ada dua kader Nasdem yang menjadi terdakwa kasus korupsi, yakni Johnny G Plate dan Syahrul Yasin Limpo.
Ketua DPP Partai Nasdem, Effendy Choirie atau akrab disapa Gus Choi, membenarkan adanya lobi-lobi untuk melepas dukungan kepada Anies. Nasdem memang ditawari masuk ke KIM yang didukung oleh Presiden Jokowi, yakni KIM.
“Baunya ada. Baunya sudah itu saja. Tapi, yang jelas saya tidak melihat, cuma tentu saja saya dengar ya,” kata Gus Choi di Kantor PBNU, Rabu (7/8/2024).
Penggunaan politik sandera juga diduga menyasar PDIP, parpol yang sikap politiknya cenderung berseberangan dengan pemerintahan Jokowi. Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, sempat menyatakan bahwa penguasa memang mengincar orang-orang terdekatnya lewat jeratan kasus hukum.
Misalnya, kasus Harun Masiku serta dugaan korupsi di DJKA yang menyeret Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto. Selain itu, KPK juga sempat memeriksa kader PDIP lain sekaligus Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu alias Mbak Ita, terkait dugaan korupsi di lingkup Pemkot Semarang.
“Mau ngambil saya pada enggak berani. Lho iyalah, jadi sasarannya [orang-orang] sekeliling saya, gitu loh," kata Megawati saat menyampaikan pidato kebangsaan di Mukernas Perindo di Inews Tower, Jakarta, Selasa (30/7/2024).
Merusak Demokrasi
Politik sandera lewat kasus hukum untuk menekan dan mengontrol lawan politik adalah aib bagi demokrasi. Ia jelas-jelas mereduksi supremasi hukum hanya sebagai alat untuk mengamankan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Pragmatisme dan sikap tak tahu malu semacam itu pun rawan membuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum terkikis.
Ahli hukum pidana dari Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, menyatakan bahwa penggunaan hukum sebagai “alat gebuk” kekuasaan akan merontokan nilai-nilai demokrasi. Seakan, kata dia, demokrasi Indonesia hari ini sebatas di atas kertas saja karena sikap culas para elite dan penguasa.
“Judulnya saja demokrasi, tapi semuanya dikondisikan dengan sandera politik. Lembaga penegak hukum jadi alat kekuasaan untuk mengondisikan iklim dan situasi politik. Ini melanggengkan kekuasaan yang diduduki oligarki,” kata Orin kepada reporter Tirto, Selasa (13/8/2024).
Penguasa yang menggunakan politik sandera dinilai memang bertujuan memelihara kekuasaan. Selain itu, membuat negara hanya dikuasai oleh segelintir kelompok saja yang membuat kartelisasi politik semakin menguat.
Pihak Istana sendiri berkali-kali menepis anggapan bahwa Presiden Jokowi ikut campur dalam percaturan politik praktis. Teranyar, misalnya, Istana membantah keterlibatan Jokowi terkait mundurnya Airlangga Hartarto dari kursi Ketua Umum Golkar.
“Tidak ada kaitannya sama sekali dengan Presiden [Jokowi],” kata Koordinator Staf Khusus Kepresidenan, Ari Dwipayana, lewat keteranganya, Senin (12/8/2024).
Orin menegaskan bahwa politik sandera membuat institusi hukum menjadi tidak berfungsi sebagaimana tujuan dan hakikatnya untuk menegakkan hukum keadilan dan kemanfaatan. Fungsi itu seharusnya untuk seluruh masyarakat bukan hanya segelintir elite penguasa.
Penegakan hukum dikerdilkan menjadi alat politik untuk melanggengkan kekuasaan. Padahal, yang semestinya dijunjung adalah prinsip politiae legius non leges politii adoptandae—politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya.
“Itulah mengapa kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan institusi hukum semakin buruk,” ucap Orin.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi